33 C
Jakarta
Array

Menjual Imam Syafi’i

Artikel Trending

Menjual Imam Syafi'i
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menjual Imam Syafi’i

Oleh: Abdi Kurnia Djohan*

Telah diketahui bersama bahwa dakwah salafiyyah yang dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996, mengajak umat Islam untuk meninggalkan mazhab fikih. Ajakan itu disebarluaskan untuk menarik umat kembali kepada dua sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah.

Ajakan untuk meninggalkan mazhab itu sendiri sebenarnya berbeda dengan seruan meninggalkan ta’asshub (fanatisme) terhadap mazhab. Sikap fanatisme terhadap mazhab mengarah kepada sikap membuat runcing perbedaan dan mengolahnya menjadi permusuhan. Seruan untuk meninggalkan fanatisme terhadap mazhab, tidak serta merta mendorong seseorang harus meninggalkan mazhab. Akan tetapi, seruan itu sesungguhnya mengajak orang untuk mau memahami pemikiran mazhab lain sambil memperkuat pemahamannya terhadap mazhabnya sendiri. Demikianlah yang bisa dibaca dari tulisan-tulisan Syeikh Khudhori Beik, seorang pakar fiqih dan Syeikh Hasan al-Banna, di dalam pengantarnya terhadap Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq.

Namun demikian, ketika muncul dakwah salaf di Indonesia, seruan meninggalkan fanatisme itu kemudian dimanipulasi menjadi ajakan meninggalkan mazhab. Argumentasi yang disampaikan pun sangat sederhana bahwa sebagai umat, kita hanya diperintahkan mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah, bukan mengikuti pendapat ulama.

Sepintas lalu, argumen itu seperti tidak ada masalah. Terlihat benar karena memang materi ajaran Islam tersimpan di dalam kedua sumber suci itu. Namun di dalam praktek, argumen itu menjadi petaka, ketika kalangan awam yang menyambut seruan itu bertingkah bak sahabat Nabi sambil mengumandangkan seruan untuk meninggalkan ulama.

Jargon ” Berislam itu ikut Nabi, bukan ikut ulama” pun dikumandangkan. Namun yang terlihat aneh ketika jargon ini direproduksi ke mana-mana sebutan ulama pun disematkan kepada para ustadz yang ikut menginisiasi jargon tersebut.

Kurang puas dengan lemparan isu “tinggalkan mazhab” dan “tinggalkan ulama”, tiba-tiba permainan isu pun digeser ke topik “Imam Syafi’i”. Pemakaian nama Imam Syafi’i sebagai komoditas isu ini tampaknya sangat diperlukan mengingat secara faktual, Mazhab Imam Syafi’i merupakan mazhab mayoritas umat Islam Indonesia.

Akan tetapi, penggunaan isu Imam Syafi’i itu bukan dimaksudkan untuk mengokohkan eksistensi mazhab Syafi’i yang sudah berjalan sejak ratusan tahun. Penggunaan isu itu agaknya lebih dimaksudkan untuk mendekonstruksi (meruntuhkan) bangunan pengetahuan dan juga kepercayaan kalangan awam terhadap para pengajar fikih Syafi’i yang kebanyakan berafiliasi kepada gerakan Islam tradisional, baik itu NU, NW ataupun Mathla’ul Anwar.

Kecurigaan di atas sulit dihindari karena motif awal kemunculan gerakan dakwah ini adalah menjauhkan umat dari mazhab. Oleh karena itu, amat aneh jika gerakan yang sudah mendeklarasikan diri sebagai arus anti mazhab, lalu secara tiba-tiba berbicara tentang mazhab. Ada gerangan apakah?

*Penulis adalah pengkaji Kitab Safiinatun Najaa

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru