27.9 C
Jakarta

Menjernihkan Polemik Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenjernihkan Polemik Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI (25/1/22) menyebutkan ada 198 Pondok Pesantren yang terindikasi terafiliasi dengan jaringan terorisme. Merespons hal tersebut, sebagian kecil kalangan menanggapi data tersebut dengan menggeneralisasi seolah BNPT anti-pesantren atau ada pula narasi tuduhan islamofobia.

Tentu hal ini perlu dijernihkan agar masyarakat tidak terbawa narasi yang selalu mem-framing berbagai kebijakan untuk meningkatkan deteksi dini dan kewaspadaan dalam pengertian yang negatif. Sejatinya, data yang disampaikan Kepala BNPT tersebut harus dibaca sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja sebuah institusi di depan anggota dewan yang mempunyai tugas pencegahan radikal terorisme.

Data tersebut merupakan hasil kerja pemetaan dan monitoring dalam rangka pencegahan radikal terorisme untuk memberikan warning dan meningkatkan kewaspadaan bagi semua stakeholder.

Sebagai lembaga koordinator, BNPT telah menerapkan kebijakan dan strategi “Pentahelix” atau multi-pihak dengan merangkul dan melibatkan lima elemen bangsa, yakni : 1) pemerintah melalui kementerian/lembaga, 2) komunitas melalui organisasi kemasyarakatan termasuk pondok pesantren, 3) akademisi melalui pelibatan dosen, mahasiswa dan pelajar, 4) dunia usaha melalui pelibatan perusahaan baik BUMN maupun swasta, dan 5) media melalui pelibatan insan media baik cetak, elektronik dan digital.

Dengan pendekatan multi pihak tersebut, kebijakan dan program pencegahan yang dilakukan oleh BNPT dibangun atas prinsip simpatik, silaturahmi, komunikatif dan partisipatif dengan seluruh elemen bangsa. Hal ini semakin diperkuat dengan landasan kerja BNPT yang dilandasi nilai dasar (core value) yang menjadi pegangan, yaitu akronim dari BNPT (Berintegritas, Nasionalisme, Profesionalisme, Terpuji).

Karena itulah, sangat tidak benar dan tidak beralasan adanya narasi tuduhan terhadap BNPT yang seolah menggeneralisir dan menstigma negatif terhadap pondok pesantren yang ada di Indonesia, apalagi menuduh data tersebut bagian dari bentuk islamofobia.

Dalam pelaksanaan programnya, BNPT telah melibatkan para tokoh agama melalui pembentukan Forum Gugus Tugas Pemuka Agama BNPT. Dalam konteks pelibatan pesantren, BNPT telah melakukan silaturrahmi kebangsaan dengan mengunjungi pesantren di berbagai wilayah di Indonesia secara berkala.

Agar tidak keluar dari substansi dan tujuan data itu disampaikan, saya ingin menegaskan bahwa data tersebut harus dibaca sebagai upaya peningkatan deteksi dini dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang telah melakukan infiltrasi dan kamuflase di tengah masyarakat dalam beragam bentuk dan kanal.

Berdasarkan data di Kementerian Agama (Kemenag), jumlah Pondok pesantren di seluruh Indonesia sekitar 27.722. Artinya, 198 pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme tersebut hanya sekitar 0,007 persen. Itu pun harus dipertanyakan apakah pesantren yang terindikasi itu sudah terdaftar di Kemenag atau tidak.

Karena itulah, kasus ini harus mendapatkan perhatian semua pihak agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Keberadaan pesantren  yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme justru akan mencoreng citra pesantren sebagai lembaga khas Nusantara yang setia membangun narasi Islam rahmatan lil alamin dan wawasan kebangsaan.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Indikasi Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Teror

Tentu masyarakat perlu diberikan informasi dan pemahaman terhadap keberadaan pesantren yang terindikasi memiliki afiliasi dengan jaringan terorisme tersebut. Pengetahuan ini penting disampaikan di samping sebagai bentuk pembangunan deteksi dini dan kewaspadaan, juga sebagai landasan masyarakat dalam memilih lembaga Pendidikan yang kredibel.

Ada beberapa indikator pesantren yang disebut terafiliasi dengan jaringan terorisme. Pertama, pesantren yang secara ideologis terafiliasi dengan ideologi jaringan terorisme, dan atau melakukan kegiatan atau pun aktivitas bersama di bidang politik maupun sosial keagamaan.

Kedua, pesantren yang secara ideologis maupun organisasi terafiliasi dengan jaringan terorisme sebagai strategi kamuflase atau siasat menyembunyikan diri dan agendanya (taqiyah) dan atau strategi tamkin, yaitu strategi penguasaan wilayah atau pun pengaruh dengan mengembangkan jaringan atau pun menginfiltrasi ke organisasi maupun institusi lain.

Ketiga, pesantren di mana oknum pengurus dan atau para santri dari lembaga tersebut terkoneksi atau terafiliasi dengan jaringan terorisme.

Keempat, pesantren yang terkoneksi atau terafiliasi dalam pendanaan maupun distribusi logistik dengan jaringan terorisme.

Di samping kategori pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme, hal yang tidak kalah bahayanya dan penting untuk diketahui masyarakat adalah keberadaan pesantren yang memiliki corak pengajaran dan pendidikan yang mengarah pada pemikiran radikalisme.

Setidaknya ada lima indikator yang mencirikan pesantren masuk dalam kategori ini yakni;

1). Mengajarkan paham takfiri dengan mengkafirkan pihak lain yang berbeda pandangan maupun berbeda agama.

2). Memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan serta intoleran terhadap perbedaan dan keragaman (pluralitas).

3). Mengajarkan doktrin dan ajaran anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.

4). Memiliki sikap politik anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, sebaran hoaks dan konten lainnya yang mengarahkan pada perpecahan bangsa.

5). Pesantren yang pada umumnya memiliki pemahaman anti budaya atau pun anti-kearifan lokal masyarakat.

Kembali pada data yang sempat mengundang polemik tersebut, cara pandang yang harus kita bangun bukan tujuan menstigmatisasi, tetapi mensterilisasi citra baik pesantren dari keberadaan oknum pesantren yang memiliki keterkaitan dengan jaringan teror dan atau mengajarkan pemahaman yang radikal.

Pesantren bukan hanya pilar peradaban Islam di Nusantara, tetapi juga fondasi bagi kemajuan negara dan bangsa ini.  Khittah pesantren adalah lembaga yang menjaga harmoni antara Islam dan kebangsaan.

Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, M.M
Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, M.M
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru