32.1 C
Jakarta
spot_img

Menjawab Tuduhan Aktivis Khilafah Bahwa Humanitarian Islam Itu Agenda Sekularisme

Artikel Trending

Milenial IslamMenjawab Tuduhan Aktivis Khilafah Bahwa Humanitarian Islam Itu Agenda Sekularisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tatkala Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan International Conference on Humanitarian Islam atau Muktamar al-Dawli al-Islam lil Insaniyah di Kampus UI Depok, Jawa Barat pada 5-6 November 2024, para pegiat khilafah mencibir bahkan bisa dibilang memfitnah.

Konferensi yang dihadiri sejumlah kiai, cendekiawan, dan akademisi internasional dari Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Australia, Afrika, Asia Tenggara, serta Indonesia itu dikatakan hanya menjalankan ide Barat. Ini karena konsep konferensi internasional Humanitarian Islam didukung oleh akademisi Barat, seperti Robert W. Hefner, profesor antropologi dari Boston University.

Tuduhan Menjalankan Sekularisme

Bagi para aktivis khilafah, Humanitarian Islam didukung Barat karena Barat dianggap berupaya mendorong umat Islam untuk mengadopsi sekularisme. Menurut mereka, tanpa sekularisme, umat Islam tidak akan menerima demokrasi karena demokrasi berarti memberikan wewenang untuk membuat hukum kepada wakil rakyat, bukan agama.

Mereka juga menuduh bahwa Humanitarian Islam sama dengan moderasi beragama. Humanitarian Islam dianggap hanya “baju baru” dari moderasi beragama. Karena itu, mereka menganggap bahwa keduanya hanya menjadikan agama sebagai ide, sementara mencampakkan syariat Islam yang terkait dengan pengaturan kehidupan dan negara.

Mereka mengatakan bahwa ide Humanitarian Islam hanya merupakan konsep tanpa komitmen. Karena itu, menurut mereka, ia tidak memiliki kekuatan untuk memaksa individu atau institusi, apalagi negara, untuk menerapkannya selama ia sekadar nilai. Aktivis khilafah menyebut bahwa agar suatu aturan atau nilai dapat berjalan, dibutuhkan sistem yang menerapkannya dalam kehidupan.

Karena dianggap tidak bisa memaksa penerapannya dalam kehidupan, aktivis khilafah menduga bahwa Humanitarian Islam tidak dapat diharapkan untuk menyelesaikan persoalan agama dan dunia, bahkan persoalan Israel-Palestina sekalipun.

Bagi aktivis khilafah, konsep Humanitarian Islam adalah bentuk sekularisme baru yang bermisi memisahkan antara nilai-nilai agama dan penerapannya dalam kehidupan. Oleh karenanya, bagi mereka, sekalipun ide ini didukung oleh banyak pihak, bahkan kalangan akademisi dan intelektual, semestinya kita tidak menerimanya begitu saja karena yang menjadi tolok ukur bagi umat Islam adalah syariat, bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan (Muslimah News, 2024).

Mengembalikan Tuduhan Aktivis Khilafah

International Conference on Humanitarian Islam tidak hanya didukung oleh pemikir Barat tetapi juga pemikir dari negara-negara mayoritas Muslim. Karena itu, tuduhan bahwa Humanitarian Islam sekadar menjalankan misi Barat atau sekularisme sangatlah tidak benar. Apalagi yang datang adalah Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, yang selama ini dikenal dengan kedalaman agama dan tasawufnya.

BACA JUGA  Penanggulangan Terorisme 2025: Memperkuat Multisektoral untuk Menjaga Zero Attack Terrorism di Indonesia

Menag Nasaruddin Umar, yang mewakili Presiden Prabowo, bahkan menegaskan bahwa Humanitarian Islam adalah pilihan strategis dalam upaya menuju visi perdamaian dunia. Menurutnya, jika Humanitarian Islam terus diwujudkan, ia akan berperan penting dalam memajukan Indonesia dan dunia (NU Online, 2024).

Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf menambahkan bahwa konsep Humanitarian Islam berasal dari bahasa Arab, al-Islam lil insaniyyah yang berarti “Islam untuk kemanusiaan.” Artinya, Islam yang mengabdi dan melayani seluruh umat manusia, bukan umat Islam saja. Frasa bahasa Inggris “Humanitarian Islam” dipilih, bukan “Islam for Humanity,” karena istilah tersebut bisa disalahpahami bahwa seluruh umat manusia diharuskan masuk Islam. Akhirnya, dipilih istilah “Humanitarian Islam” (NU Online, 2024).

Menurut Gus Yahya, gerakan global Humanitarian Islam bertujuan memperjuangkan terciptanya tatanan internasional yang adil dan harmonis, yang dibangun di atas prinsip penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat setiap manusia. Dengan cara ini, kita dapat keluar dari jebakan “dusta besar” mengenai moderasi beragama dan terus memperjuangkan keadilan serta keharmonisan dalam tatanan dunia (Gus Yahya, 2024).

Jadi, berbeda dengan pandangan aktivis khilafah, justru Humanitarian Islam dapat dikatakan sebagai konsep yang menekankan aspek kemanusiaan dalam ajaran Islam. Konsep ini menggambarkan bahwa Islam hadir untuk melayani seluruh umat manusia, bukan umat Islam semata.

Lebih jauh, Humanitarian Islam adalah pendekatan berbasis nilai-nilai universal dalam ajaran Islam, yaitu nilai-nilai yang menekankan aspek kemanusiaan seperti keadilan (al-‘adl), kesejahteraan (al-rafahiyyah), kebaikan (al-mashlahah), dan kasih sayang (al-rahmah) yang menjadi landasan dalam merespons berbagai krisis yang dihadapi dunia (NU Online, 2024). Karena itu, Humanitarian Islam adalah implementasi dalam skala global dari ajaran Islam.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru