26.1 C
Jakarta
Array

Menjamak Shalat Saat Sibuk, Bolehkah?

Artikel Trending

Menjamak Shalat Saat Sibuk, Bolehkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saat melakukan pejalanan jauh, agar tidak terlalu sering berhenti untuk melakukan salat dan biar lebih meringankan, maka lebih baik salatnya dijamak. Hal ini sudah biasa dilakukan oleh umat Islam. Tapi bagaimana kalau kita salat dengan alasan sibuk, bisa tidak ya?

Ada ungkapan yang sering kita dengar, ‘pertumbuhan dan persaingan di masa sekarang ini sangat cepat. Kalau kita tenang-tenang saja maka kita akan tergilas’. Ungkapan ini menggambarkan bagaimana etos kerja setiap orang harus baik. Karena hanya dengan hal itulah bisa menjalani kehidupan sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu, berarti manusia dituntut untuk beraktivitas secara baik agar kehidupan yang dicita-citakan tercapai.

Akan tetapi, bukan lantas kesibukan keduniaan akan melupakan kita akan kewajiban yang harus kita penuhi, yaitu berupa tuntutan untuk terus menjaga hubungan dengan sang pencipta, Allah Swt. Kita tidak boleh lupa untuk terus beribadah kepada-Nya. Ibadah inilah yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan yang abadi di sisi-Nya. Kebahagiaan yang seandainya semua orang menyadarinya, pasti tidak akan terlena dengan fatamorgana gemerlapnya dunia. Sayangnya, kita terkadang sampai pada suatu keadaan di mana tuntutan dunia dan akhirat berbarengan. Dalam bahasa lain, satu sisi kita harus melakukan aktivitas keduniaan dan di sisi lain harus beribadah.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata: ”Nabi Muhammad Saw menjamak dzhuhur dan ashar serta menjamak maghrib dan isya’ saat di Madinah tanpa disebabkan adanya rasa khawatir dan tanpa adanya hujan”. Lalu Ibnu Abbas ditanya, “Apa yang diinginkan Nabi dari apa yang beliau lakukan?”, beliau menjawab, ”Agar tidak mempersulit pada umatnya. [Sunan Abi Daud, 387zl]

Dalam redaksi lain tidak menggunakan kata la mathoro tapi dengan redaksi la safaro Sehingga kesimpulannya, Nabi pernah menjamak saat tidak takut, hujan, dan tidak sedang melakukan perjalanan. Hadis ini tentu berbeda dengan hadis sebelumnya. Pada hadis sebelumnya, dijelaskan kebolehan jamak saat melakukan perjalanan. Sedangkan dalam hadis ini, tidak disebutkan alasan apapun yang menjadi penyebab Nabi melakukan jamak. Dengan begini, seakan-akan Nabi melakukan salat jamak di rumah (fi al-hadlar) tanpa alasan apapun. Dan berarti kalau mau mengambil dhahirnya hadis tersebut, maka umat Islam bisa melakukan shalat jamak kapanpun saja, saat tidak melakukan perjalanan.

Namun, walau ada hadis tersebut, jumhur tetap tidak sembarangan dalam menentukan sesuatu yang memperbolehkan salat jamak fi al-hadlar. Mereka tidak memperbolehkan salat jamak secara mutlak. Mereka masih menentukan dan membatasi hal-hal yang menyebabkan kebolehan salat jamak bagi orang yang tidak melakukan perjalanan.

Dalam pandangan Malikiyyah, salat jamak fi al-hadlar bisa dilakukan ketika adanya sakit, takut, atau hujan. Ada juga di kalangan Malikiyyah yang memberikan syarat tambahan bagi kebolehan jamak saat hujan, yaitu bahwa hujan harus pada malam hari, sehingga yang boleh dijamak hanya maghrib dan isya’, bukan dhuhur dan ashar, Karena dalam pandangan mereka, orang tidak terpengaruh saat terjadi hujan pada malam hari, dalam arti mereka masih bisa melanjutkan pekerjaan dunia, semisal mencari berdagang. Sehingga hal yang lebih penting, dalam hal ini shalat, juga tidak boleh terpengaruh karena hanya terjadi hujan pada siang hari. [al-Muntaqa fi Syarh al-Muwaththa’. 3421; Fatawa al-Azhar, 551lX]

Pandangan Malikiyyah ini berbeda dengan pandangan mayoritas Syafi’iyyah yang hanya memperbolehkan jamak al-hadlar saat hujan. Sedangkan saat sakit dan takut tidak diperbolehkan jamak. Pendapat ini dilandaskan bahwa tidak adanya dalil hadis yang menjelaskan bahwa Nabi pernah melakukan shalat jamak saat sakit. Padahal Nabi juga pernah sakit. Namun menurut sebagian Syafi’iyah (diantaranya Qadhi Husain, Qadhi Mutawalli, dan aI-Ruyani) orang yang takut dan sakit boleh menjamak salat, baik jamak taqdim atau jamak ta’khir. [al-Majmu’. 321le]

Pendapat lebih longgar disampaikan oleh ulama Hanabilah. Menurut mereka jamak fi al-hadlar boleh dilakukan oleh; 1) orang sakit. 2) perempuan yang menyusui, bagi mereka yang merasa kesulitan untuk bersesuci di setiap waktu. 3) orang yang tidak mampu bersesuci di setiap waktu. 4) orang yang tidak mampu mengetahui masuknya waktu salat, seperti orang buta. 5) perempuan yang istihadhah. 6) orang yang sibuk atau udzur yang diperbolehkan untuk tidak salat Jumat. Misalnya, orang yang terancam kehilangan hartanya atau yang akan terganggu penghasilannya. Berdasarkan yang terakhir ini, dalam pandangan Hanabilah, petani yang benar-benar disibukkan dengan pekerjaannya boleh menjamak salat. [Kasysyafu al-Qinna’ ‘An Matni al-lqna’, 74-78:lV, aI-Inshaf, 440:ll|, aI-Fiqhu al-lslamy wa Adillatuhu, 508-509:ll]

Selain pendapat-pendapat yang disebutkan di atas, ada juga pendapat yang paling longgar, yaitu pendapatnya lbnu Mundzir dari kalangan Syafi’iyyah serta lbnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Malikiyyah. Menurut mereka boleh menjamak salat ketika ada hajat (kebutuhan), asalkan tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini didasarkan pada dhahir hadis yang tidak memberikan penjelasan faktor apa yang menjadi penyebab Nabi menjamak salatnya. [Tuhfatu al-Ahwadziy, 215zl, Syarh al-Muslim ala an-Nawawiy, 317:||l]

Pendapat ini sesungguhnya cukup beralasan. Mengingat bahwa hadis tersebut termasuk hadis fi’liy yang lebih memiliki banyak kemungkinan dari pada hadis qouliy. Penjelasan kenapa Nabi ketika itu melakukan jamak fi al hadlar. Yang dijelaskan hanya bahwa Nabi melakukanjamak dalam keadaan tidak melakukan perjalanan, takut, dan tidak sedang hujan. Dijelaskan pula bahwa Nabi melakukan itu agar mempermudah kepada hambanya. [Bidayatu al-Mujtahid, 162]

Setelah mengikuti paparan di atas, ada hal yang perlu dipahami bahwa shalat adalah tiang agama (Imadu al-Din ) dan jamak disyari’atkan untuk memberikan kemudahan. Oleh karenanya, senyogyanya kita bisa melakukan salat di setiap waktunya, maka lebih baik tidak melakukan jamak. namun apabila hal itu memberatkan, atau bisa melalaikan salat kita maka lebih baik mengikuti pendapat yang terakhir ini. Seperti orang yang betul-betul tidak bisa meninggalkan pekerjaannya atau bagi yang terjebak kemacetan. Tapi dengan catatan tidak dijadikan kebiasaan. Catatan ini menunjukkan bahwa salat jamak ketika keadaan seperti itu sangat dibutuhkan, karena untuk memudahkan bagi kita. Dan bukankah Islam memang agama yang memberikan kemudahan.

 

Sumber: Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru