32.1 C
Jakarta
spot_img

Menjaga Nyala Islam Moderat: Pendidikan sebagai Penangkal Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenjaga Nyala Islam Moderat: Pendidikan sebagai Penangkal Radikalisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mari kita mulai dari hal yang sederhana, yang sering kita lupakan di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin bising: radikalisme ibarat kompor gas yang rusak. Nyala apinya bisa tiba-tiba membesar, membakar rumah, atau bahkan meledak dan menghancurkan dapur. Di tengah kekacauan itu, semua orang kebingungan, saling menyalahkan, dan lebih sibuk mencari kambing hitam daripada memadamkan api.

Hal serupa terjadi pada radikalisme agama. Ini bukan karena agama itu sendiri buruk, melainkan karena pemahaman yang tidak lengkap dan sikap yang asal-asalan. Ironisnya, radikalisme sering berhasil mengelabui masyarakat dengan jargon-jargon suci, seolah-olah kekerasan dan intoleransi bisa dibenarkan atas nama agama.

Faktanya, jika kita mau sedikit menundukkan kepala, mengesampingkan ego, dan membuka hati, kita akan melihat bahwa Islam adalah agama yang damai dan lembut, yang mengajak kita pada sikap moderat, bukan ekstremisme.

Pendidikan: Bukan Sekadar Menghafal Ayat

Jujur saja, selama ini banyak dari kita yang beranggapan bahwa pendidikan agama hanya sekadar menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, memahami fikih, dan mengetahui tata cara menjalankan ritual ibadah. Tentu saja itu penting – siapa bilang tidak? Tapi apakah itu cukup? Bisakah kita mencegah radikalisme hanya dengan hafalan dan ritual saja? Tentu tidak. Radikalisme tidak lahir dari orang-orang yang sekadar hafal ayat-ayat tersebut, melainkan dari mereka yang tidak memahami hakikat ayat-ayat itu.

Pendidikan Islam moderat harus mengajarkan lebih dari sekadar hafalan. Ia harus mengajak kita berpikir, berefleksi, berdialog, bahkan berdebat dengan sopan. Pendidikan perlu menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang sempit, tetapi agama yang luas, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam bukan hanya tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga tentang bagaimana manusia hidup berdampingan secara damai dan toleran.

Ketika kita memahami agama dengan cara seperti itu, radikalisme akan kehilangan celah untuk berkembang. Orang yang memahami hakikat Islam moderat tidak akan mudah terpengaruh oleh seruan kebencian dan penghakiman. Mereka tahu bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan, dan Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk memaksakan kebenaran melalui kekerasan.

Moderasi dalam Sejarah Islam

Sejarah menunjukkan bahwa moderasi bukanlah konsep baru. Para ulama besar masa lalu, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, adalah contoh ulama moderat. Mereka selalu mencari jalan tengah dalam perbedaan pendapat, tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan, dan selalu menekankan pentingnya toleransi dalam beragama.

Para ulama tersebut tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga dalam ilmu-ilmu lain, seperti filsafat, ilmu sosial, bahkan sains. Bagi mereka, agama dan ilmu pengetahuan bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Pendidikan Islam moderat seharusnya mampu mencontoh semangat itu. Generasi baru harus dididik tidak hanya untuk memahami agama, tetapi juga untuk menguasai ilmu pengetahuan modern. Mereka harus mampu berpikir kritis, terbuka, dan memberikan solusi terhadap berbagai tantangan zaman.

BACA JUGA  Pluralisme dan Humanisme: Meneruskan Spirit Gus Dur untuk Indonesia

Radikalisme: Produk Ketidakadilan

Radikalisme tidak muncul begitu saja. Ia adalah akibat dari rasa ketidakadilan, frustrasi, dan kebingungan. Banyak orang yang tertindas secara sosial dan ekonomi merasa tidak mendapat tempat dalam sistem dunia yang korup. Ketika mereka menemukan bahwa ajaran agama yang mereka pahami memberikan pembenaran terhadap kekerasan, mereka terjebak di sana.

Pendidikan Islam moderat harus mengajarkan bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui ketidakadilan. Kekerasan bukanlah solusi atas ketidakadilan. Islam memperjuangkan keadilan sosial dengan cara yang damai dan toleran. Perjuangan untuk mengubah dunia harus dilakukan dengan ketenangan dan keterbukaan pikiran, bukan dengan kemarahan yang membabi buta.

Selain itu, pendidikan Islam moderat juga harus mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi. Generasi muda harus dibekali dengan keterampilan yang memungkinkan mereka hidup mandiri, berpartisipasi dalam masyarakat, dan tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang mengeksploitasi agama atau emosi sosial.

Pendidikan yang Membumi

Pendidikan Islam tidak hanya dilakukan di ruang kelas atau masjid. Jika kita ingin sukses melindungi masyarakat dari ekstremisme, pendidikan harus menjangkau jalan-jalan, desa-desa, dan komunitas kecil. Kita perlu mengedukasi mereka yang belum pernah mengenyam pendidikan formal dengan cara yang sejuk dan menenteramkan.

Ilmu harus bisa diakses oleh semua kalangan, dari petani di sawah hingga pengelola kantor besar. Radikalisme tidak membeda-bedakan, dan pendidikan Islam moderat harus menjangkau semua lapisan masyarakat, memberi mereka bekal untuk menghadapi godaan radikalisme.

Tugas Kita Bersama

Tanggung jawab tersebut tidak hanya milik pihak berwenang atau lembaga pendidikan. Kita semua memiliki peran. Orang tua, misalnya, berperan dalam menanamkan nilai-nilai kerendahan hati pada anak sejak dini. Para ulama dan tokoh agama perlu memberikan contoh moderasi dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta kasih, bukan alat untuk membenarkan kekerasan.

Kembalikan ke Warung Kopi

Akhirnya, pendidikan Islam harus sesederhana perbincangan di warung kopi. Tidak terlalu berat, tetapi tetap bermakna. Kita harus mendengarkan satu sama lain, bukan saling menghakimi. Di warung kopi, kita bisa membicarakan berbagai hal – politik, agama, ekonomi – dengan tenang dan bersahabat. Itulah semangat yang harus kita bawa dalam pendidikan Islam: sejuk, hangat, dan menyadarkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan sederhana.

Radikalisme ibarat kompor gas yang rusak. Jagalah kompor kita agar tetap menyala, menghangatkan rumah tanpa membakarnya. Islam yang sederhana adalah kuncinya, dan pengetahuan adalah cara untuk melindunginya.

Iman Wahyudi
Iman Wahyudi
Peneliti dan Pengajar di MIN 3 Bantul Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru