27.1 C
Jakarta
Array

Menjaga Keharmonisan Antar Kelompok Umat Beragama

Artikel Trending

Menjaga Keharmonisan Antar Kelompok Umat Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya; lautan, pegunungan dan hutan yang terhampar luas dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada yang harus dikhawatirkan ketika warga negaranya harus lahir, tumbuh dan hidup di negeri yang dijuluki kepulauan ini. Karena, kekayaan alam inilah yang menjadi surga dunia bagi warga negaranya, jika mampu mengolah dan mengelolanya. Namun, yang perlu dikhawatirkan dan perlu menjadi perhatian bangsa saat ini justru ada pada kekayaan pemikiran yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Kekayaan itulah yang kemudian menumbuhkan banyak kelompok dengan pemikirannya yang berbeda-beda dengan merawat keharmonisan sosial.

Sebut saja, Islam, agama mayoritas ini berdasarkan database Sistem Informasi Manajemen Penerangan Agama Islam (Simpenais) Kemenag RI di tahun 2019 ini, jumlah ormas Islam seluruh Indonesia sudah mencapai 2771 ormas Islam (sumber: Kemenag.go.id). Jumlah tersebut bukanlah  jumlah yang sedikit, semuanya berkembang dan tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika setengah dari jumlah warga negara yang beragama Islam adalah bagian dari dua ormas terbesar (baca: NU dan Muhammadiyah) tentunya setengahnya lagi menjadi bagian dari ormas-ormas lainnya, baik  yang terlahir sejak lama maupun terhitung masih baru. Semuanya memiliki pemikiran; ideologi keormasan yang khas.

Perbedaan Pemikiran di Antara Warga Indonesia

Kerap kali, perang pemikiran berkecamuk di kalangan mereka, yang berbuntut pada perang lisan maupun tulisan di media online maupun di  forum-forum kecil seperti ruang kampus ataupun warung kopi. Diskusi-diskusi tanpa referensi dan kedalaman maknapun sangat masif dilakukan. Perbedaan kecil dalam tataran praktik ibadah, misalkan, semakin runcing karena diperdebatkan, yang justru semakin menenggelamkan dan mengaburkan persamaan sebagai suatu bangsa yang satu.

Masing-masing kelompok mengusung pemikirannya dengan landasan agama maupun dalil-dalil yang mereka pahami. Semuanya, merupakan kekakayaan pemikiran -yang dalam satu sisi bangsa ini harus berbangga diri, karena kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat masih terbungkus dengan baik melalui ideologi pancasila yang masih tertancap teguh.

Tapi, tentunya, kebebasan dalam berpikir dan berkelompok tersebut harus dijaga jangan sampai terjadi gesekan yang menimbulkan gangguan terhadap keharmonisan  kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih-lebih, Islam sebagai agama yang dianut oleh umat terbesar, telah mewanti-wanti umatnya untuk menjaga keharmonisan ini. Salah satunya, Allah Ta’ala melarang hambanya untuk saling mengolok-olok.

Dalam surat Al-Hujurat ayat 11 Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan janganlah pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan-perempuan yang lain, (karena) boleh jadi perempuan-perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan-perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itu orang-orang yang zalim.”

Menjada Keharmonisan denganTidak Bersifat Gegabah

Melihat tekstual ayat ini, rasanya sudah jelas, bahwa larangan ini berkaitan dengan lisan manusia yang senantiasa gegabah ketika berinteraksi dengan sesamanya; baik sebagai invidu maupun sebagai suatu kelompok. Mengkafirkan dan membid’ahkan suatu kelompok Islam tertentu tanpa penelusuran dan pengkajian yang mendalam terhadapnya, misalkan, hal ini menjadi contoh nyata betapa kerasnya gesekan sebagian kelompok dengan kelompok yang lainnya.

Tidak hanya itu, dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar (memerintah kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran) sering disalahartikan sebagai legalisasi dakwah dengan cara apapun, termasuk dengan olokan; celaan atau hinaan yang berujung pada ketidakharmonisan antar kelompok umat beragama. Termasuk pelabelan secara personel kepada individu yang dianggapnya tidak sesuai dengan paham ideologi yang dianutnya. Seperti perkataan: Si Ahli Subhat; Si Ahli Bid’ah; Si Kafir; dan label-label lainnya, tentu ini bukanlah cara elegan dalam berdakwah.

Prinsip masih merasa “fakir akan ilmu” atau prinsip merasa ‘tidak tahu” seyogianya dikedepankan agar merasa -selalu- perlu untuk belajar dari siapapun, termasuk dari kelompok yang lain. Sehingga, tercipta saling menghormati dan menghargai pendapat yang lain.

Di Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Oktober 2019 nanti, semoga ini menjadi wacana tersendiri, mengingat santri tidaklah terlahir dari satu atau dua kelompok umat Islam saja, namun hampir semua kelompok umat Islam memiliki pesantren yang di dalamnya para santri belajar dan memperoleh pemahaman tentang prinsip agamanya. Santri sebagai bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak hanya harus paham toleransi antar umat beragama, tapi juga harus paham tentang makna toleransi antar kelompok umat beragama. Sehingga, santri sebagai kader umat Islam mampu menciptakan keharmonisan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.**

Muhammad Rofy Nurfadhilah. Lulusan S1 Kependidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

Hp/WA: 085224523293

IG: @rofy_muhammad

FB: muhammad rofy nurfadhilah

Email: [email protected]

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru