29.7 C
Jakarta

Menjadi Umat yang Shaleh (Anti-Radikal) selepas Ramadhan

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenjadi Umat yang Shaleh (Anti-Radikal) selepas Ramadhan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sudah tiga hari umat Islam meninggalkan Ramadhan. Pertanyaannya, hal apa saja yang membekas dalam diri mereka? Sudahkah mereka menjadi shaleh dengan berpikir yang benar (tidak ekstrem) dan berbuat yang baik (tidak radikal)?

Ekstremisme dan radikalisme merupakan hawa nafsu yang dapat mengancam kehidupan seseorang. Makanya, semua agama, terlebih Islam melarang keras paham-paham tersebut. Larangan Islam dibuktikan dengan anjuran untuk menegakkan moderatisme (lawan dari ekstremisme-radikalisme).

Puasa yang selama sebulan umat Islam lakukan bukanlah sebatas aktivitas mencegah makan dan minum, tetapi ada hal lebih yang diperjuangkan, yaitu melawan nafsu ekstremisme-radikalisme yang menguasai hati manusia. Umat Islam yang menang melawan nafsu picik tersebut akan mendapatkan kemenangan pada hari raya Idul Fitri kemarin, meski kemenangan itu tidak harus dipertontonkan di hadapan manusia.

Kemenangan pada hari raya itu akan terus membekas dalam benak umat Islam. Sehingga, mereka menjadi pribadi yang shaleh pasca Ramadhan. Pribadi yang shaleh pasti tidak bakal terjebak dalam paham ekstrem-radikal. Karena, mereka tahu bahwa paham semacam itu bertentangan dengan kata hati manusia.

Hal yang paling penting adalah pasca Ramadhan. Apakah keshalehan benar-benar terlihat dalam diri manusia atau tidak? Jika umat Islam selepas Ramadhan masih berpikir tertutup dan gemar melakukan aksi-aksi kekerasan, maka puasa yang mereka jalani selama sebulan tidak berarti sedikit pun.

Penting ini dijadikan refleksi dalam diri umat Islam. Pribadi yang shaleh akan selalu melakukan: Pertama, hal-hal yang dianggap baik oleh agama. Baik di sini tentu relatif. Maksudnya, tidak dapat dipersamakan stigma baik di suatu tempat dengan di tempat lain. Karena, baik berkaitan erat dengan perkembangan budaya.

BACA JUGA  Shalat Tarawih dan Hikmah yang Tersirat di Dalamnya

“Baik” itu biasanya diterjemahkan dengan “ma’ruf” dalam Islam. Baik dengan pandangan semacam ini merupakan sesuatu yang dikenal dan disepakati di suatu tempat. Di sini perlu memahami wilayah di mana seseorang menyampaikan sesuatu.

Kekeliruan memahami kebaikan akan berakibat fatal, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Mereka akan cenderung memaksakan budaya tertentu untuk dapat diterima oleh budaya lain yang jelas berbeda. Lihat saja, banyak kelompok radikal yang memaksakan budaya Arab berlaku di Indonesia sementara antara Arab dan Indonesia berbeda.

Kedua, meninggalkan sesuatu yang dianggap munkar. Munkar adalah sesuatu yang negatif. Sebagaimana ma’ruf, terma munkar penting mendapatkan pemahaman yang benar. Sebab, kekeliruan memahami munkar akan berakibat fatal.

Perhatikan saja, banyak orang, termasuk umat sendiri sedikit-sedikit nahi munkar dengan tujuan menyerang orang yang tidak sepemikiran terlebih yang tidak seiman. Hal semacam ini jelas bukan sesuatu yang diajarkan Islam. Kanjeng Nabi sendiri tidak pernah menyerang orang non-Islam kecuali diserang terlebih dahulu.

Perang yang digemakan di era sekarang jelas bukan perang yang diajarkan Kanjeng Nabi. Perang sekarang jelas berawal dari kesalahan memahami munkar. Maka dari itu, perlu paham makna munkar yang sebenarnya.

Sebagai penutup, menjadi shaleh pasca Ramadhan adalah sesuatu yang didambakan. Karena dengan itu, umat Islam tidak bakal sembarang mengimplementasikan ma’ruf dan munkar.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru