29 C
Jakarta

Menjadi Pembaca (Tak) Lahap

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenjadi Pembaca (Tak) Lahap
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Karena dengan buku aku bebas” seloroh Mohammad Hatta, wakil presdien pertama, yang rela dipenjara asal dengan buku. Potongan kata-kata bijak tentang membaca tidak akan pernah habis dari muka bumi. Itu akan terus tumbuh subur dan makin subur.

Bahkan, seorang yang tidak bisa membaca satu lembar buku sehari juga bisa saja dengan bangga mengunggah keagungan membaca di media sosial. Itu bukan persoalan, terlepas apakah ia membaca atau tidak, buku tetaplah agung(atau diagung-agungkan). Tidak semua orang juga harus membaca.

Sebagian membaca sementara sebagian yang lain tidak. Kemudian, apakah semua yang ada di hadapan kita harus dibaca, bagi saya jawabannya tidak harus. Namun, mau tidak mau harus iya.

Seseorang bisa memilah dan memilih hendak bercengkerama dengan buku apa dan bagaimana. Tetapi, jika bisa melahap habis semua buku yang ada di hadapan, tentu punya nilai plus. Seorang muslim moderat—sebagai tamsil—sedikit banyak akan memberi gap dengan buku hasil buah tangan orang-orang Islam kanan.

Seorang yang pemahaman Islamnya cukup konservatif akan berlaku demikian pula. Tak jarang para pelaku moderat mendapat semprotan sebagai antek Barat yang sesat. Persoalan hendak bercengkerama dengan buku apa memang akan terbangun dengan sendirinya. Seolah-olah ada tembok besar yang menghalangi untuk membaca buku yang tidak sesuai dengan kehendak nuraninya.

Pembaca Ernest Hemingway yang pongah kemungkinan besar akan menertawakan pembaca Tere Liye. Hal demikian bisa berlaku sebaliknya bagi penyembah penulis yang belakang ini. Bagi orang yang tidak rakus pada bacaan(seperti saya) hal demikian barangkali memang menguntungkan.

Artinya, saya hanya perlu untuk membaca berapa buku yang memang sesuai dengan karakter dan kemauan saya. Pada akhirnya juga Anda akan menganggap bahwa itu “selera”. Ya, itu selera, Anda tidak salah. Namun, penolakan demi penolakan justru hadir hanya karena ketidaksukaan personal, tidak bersifat argumentatif.

Contoh yang awal, seorang penganut Islam konservatif akan dengan mentah menolak baca-bacaan Islam di seberangnya dengan tanpa alasan. Di sini, menurut saya, bentuk persoalan mengapa menjadi pembaca yang tak lahap harus teratasi. Rasa enggan untuk menyentuh bacaan yang asing atau di luar dirinya perlu dikoreksi ulang.

BACA JUGA  Mungkinkah Skill Menulis Seseorang Menghilang?

Mengapa hal demikian terjadi dan serasa berlarut-larut. Membahas ini saya jadi teringat seseorang yang ngotot membaca buku penulis yang banyak digandrungi anak muda sejawatnya sambil menolak mentah-mentah usulan saya. Saya katakan, bahwa mahasiswa semester pertama harus beranjak dari bacaan-bacaan khas anak menginjak masa puber.

Anda bisa mengatakan, bahwa saya menyuruh demikian karena selera saya tidak sama dengan mereka. Tetapi, sisi yang lebih penting dari selera adalah bahwa menjadi pembaca yang lahap adalah sebuah keharusan. Kalau pun hendak menjadi pembaca yang tak lahap, siapa pun harus punya argumen yang mendasarinya.

Saya adalah orang yang sangat memberi gap dengan novel dengan alur percintaan khas anak sekolah. Ada banyak argumen yang mendasari itu, salah satunya bahwa saya tidak bisa mengambil banyak hal di situ. Meski tidak seimbang, saya juga tak sungkan akan membandingkan novel bertema percintaan ala anak menginjak masa puber dengan  novel Teh dan Pengkhianat miliknya Iksaka Banu, semisal.

Secara terbuka, saya mengakui sebagai pembaca yang tak lahap, meski saya menyarankan siapa pun harus menjadi pembaca yang lahap.  Semoga posisi ini tidak dihajar dengan sebuah hadis; mulailah dari diri sendiri. Pembaca yang lahap tidak akan memilih mana yang harus dibaca, apalagi memilih berdasar latar belakang gerakan politik dan pemikiran.

alau pun memilih tidak membaca buku-buku yang ditulis dengan buruk, paling tidak paham di mana letak buruknya. Jalan untuk memahami itu tidak lain adalah membaca buku-buku buruk sekalipun, meski hanya sekadar ulasannya. Intinya, buku yang seperti apa pun memang harus mendapat tempat, sekalipun akhirnya bakal tersingkir dari medan.

Begitu pula dengan pembaca—baik yang lahap atau tidak—mereka adalah orang-orang yang menumpang pada keagungan membaca. Dengan itu pula saya bisa berteriak sekencang-kencangnya di hadapan teman-teman “membaca adalah jendela dunia.” Utamanya dunia yang rabun seperti dunia kita hari ini.

Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh
Pegiat literasi dan berdomisili di Yogyakarta. Tercatat sebagai mahasiswa Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekaligus bergiat di Garawiksa Institute. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel [email protected] atau Twitter rofqil@bazikh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru