33.2 C
Jakarta

Menjadi Netizen Santun

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenjadi Netizen Santun
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

 

Arus deras hoaks, dan propaganda telah membuat warga netizen defisit santun dan moral. Media sosial yang harusnya mencerdaskan kehidupan bermedia, sebaliknya malah muncul reaksi dan komentar-komentar yang tidak bermuatan positif. Baik itu, di kanal facebook, twitter, youtube, whatsapp, instagram, line, tiktok, dan media sosial lainnya.

Tak jarang kita jumpai di jagat media sosial, ragam isu ditafsirkan secara negatif, dan cenderung liar. Kadang-kala tidak peduli atas berita bohong yang disebar, informasi yang dilempar ke media sosial tidak kita sadari bahwa tindakan tersebut keluar dari esensi akhlak itu sendiri. Sebab itu, seakan-akan lumrah bagi warga netizen yang hanya mementingkan emosi.

Bahkan, dalam isu tertentu (agama) direspons dengan cara menjatuhkan lawan. Pun, ghibah dan fitnah sangat masif kita temukan di dunia maya. Tingkat kreatifitas dan kerajinan menebar hoaks (fake news) terjadi sepanjang tahun 2017 di pentas Pilgub DKI Jakarta hingga Pilpres 2019. Di mana sistem politik terkesan diwarnai wahana identitas (simbolik).

Defisit akhlak netizen dapat dibuktikan dalam cara berbagi informasi melalui dunia maya maupun dunia nyata. Oleh karena itu, selain kita mesti berakhlak mulia di dunia nyata. Kita juga perlu berakhlak baik di dunia maya. Jangan sampai kita ikut menyebarkan sampah di sana, bahkan ikut memproduksinya.[hal. 3]

Legitimasi main hakim sendiri tampak muncul di kolom komentar, terkadang netizen hanya melihat tema besarnya tanpa dibaca dulu langsung men-share, dan menyimpulkan. Sehingga, dampak baik atau buruknya terhadap masyarakat amat abai. Apabila timbul komentar yang sifatnya menjatuhkan (tidak sopan santun) tidak mampu bertanggung jawab secara objektif.

Menurut Irfan Nur Hakim, di sisi kemudahan, ada juga akibat buruknya. Misalnya saja, dengan media sosial yang kita miliki, memang membantu kita dekat dengan mereka yang jauh. Namun sebaliknya, menjauhkan orang-orang yang dekat. Kita menjadi lebih sering fokus dengan orang di dunia maya dan ngacangin orang di hadapan. Bahaya. Bisa merusak hubungan kita.[hal. 8]

Problematika Netizen Muslim

Dalam riwayat hadits, “Kelak akan ada banyak kekacauan di mana di dalamnya orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berusaha (dalam fitnah). Siapa yang menghadapi kekacauan tersebut maka hendaknya dia menghindarinya dan siapa yang mendapati tempat kembali atau tempat berlindung darinya maka hendaknya dia berlindung.” (HR. Al-Bukhari no. 3601 dan Muslim no. 2886) [hal. 49]

Negeri ini tiap hari semakin kacau akibat ulah kelompok transnasional yang menyebar hoaks, dan membangun propaganda di dunia maya. Netizen muslim yang terpapar radikalisme kerap berlindung di balik penistaan ayat-ayat, dan hadits-hadits. Terutama yang pro khilafah, komentar-komentarnya di media sosial cenderung menjatuhkan, dan menyulut permusuhan.

Hoaks mudah sekali dikonsumsi oleh para netizen yang suka memilintir fakta sejarah, informasi di situs-situs Islam radikal menjadi bukti fitnah tentang perselisihan di kalangan umat Islam di Indonesia. Perpecahan mulai memuncak akibat kelompok transnasional menabur berita bohong, dan dakwah Islam identik dengan jihad, qital atau angkat senjata.

Fitnah tidak hanya soal kabar-kabar palsu, tetapi, memanipulasi umat Islam dengan memakai teks-teks atau dalil-dalil Islam. Adalah ghibah yang belum kita sadari, kegagalan netizen muslim dalam memahami agama terlihat bagaimana ia tidak memiliki pikiran jernih. Dampaknya, setiap informasi yang diakses tanpa dipahami langsung ditelan mentah-mentah.

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Apa lagi di saat sedang ramai Pemilu. Berita yang abu-abu mengenai para calon pemimpin bertebaran. Ada kalanya, oknum calon pemimpin yang menggunakan konten fitnah sebagai senjatanya. Kalau kita mendukung dalam penyebarannya, maka kalau tidak ngefitnah, pasti ngeghibah. Daripada begitu mending mendukung calon pemimpin dengan menunjukkan prestasinya, bukan malah menyebarkan berita buruk calon lawan.[hal. 54]

Dalam konteks ini, perdebatan fiktif hanya melahirkan kesimpulan bohong yang tidak jauh beda dengan berita manipulatif. Hizbut Tahrir (eks HTI) adalah salah satu organisasi atau kelompok transnasional yang giat menyebar hoaks, dan propaganda khilafah di dunia nyata dan dunia maya (social media).

Intropeksi

Akhir-akhir ini, kaum radikal abai terhadap hoaks yang masif di situs-situs on-line hingga di media sosial. Narasi intoleran yang mereka viralkan di lingkungan masyarakat telah memperlihatkan netizen yang tidak bijaksana dalam menyaring mana yang sifatnya manipulatif, argumentatif, dan konstruktif. Dalam pikiran mereka, hanya aktualisasi hoaks.

Hal yang remeh sekalipun, jika berdebat panjang berpotensi mendatangkan konflik dan perselisihan keras, perilaku tidak terpuji ini harus dihindari guna menata situasi dan kondisi yang terpercaya. Keadaan sosial akan menjadi kacau jika terlalu banyak hal negatif. Karena itu, tugas setiap kita adalah menghindari sejauh mungkin hal-hal yang sifatnya negatif.[hal. 65]

Sebagai muslim yang baik dan umat Rasulullah Saw, harus pandai-pandai menyaring berita dan melakukan cek dan ricek atau riset/investigatif. Paling tidak, sebagai muslim yang berakhlak tercermin dari bagaimana dia berucap dengan bijak, dan toleran. Juga mengamalkan prinsip-prinsip Nabi: Pertama, siddiq. Kedua, amanah. Ketiga, tabligh. Keempat, fathanah.

Dan menghindar dari prasangka buruk yang berlebihan, tidak berucap kasar/sopan santun dalam bertutur, dan menghargai pendapat orang lain. Pedoman bermedia sosial ini sangat penting agar tidak termakan hoaks, sebab itu sama dengan fitnah yang dosannya lebih kejam daripada pembunuhan.

Jujur dan bijak dalam berucap maupun menyebar informasi dengan benar adalah akhlak yang harus dijunjung tinggi, menjauh dari hal-hal yang bersifat kontroversi, dan ekstrem. Hadits Nabi Saw berkata, “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).[hal. 83]

Tidak ada salahnya bagi umat muslim di negeri ini berniat dengan baik dan menyampaikan kebenaran informasi di media sosial, Islam sendiri menempatkan kebenaran itu di atas segala-galanya. Jadi, jejak digitalnya perlu dibangun atas dasar tingkah laku yang sopan dan santun (akhlak), dan berpegang teguh terhadap prinsip jujur, serta bertanggung jawab.

Terakhir, mengingat pesan Irfan Nur Hakim, kita juga mesti bijak dalam merespon konten yang muncul. Ketika ada konten yang kurang sesuai, tegurlah dengan cara yang baik. Bisa dengan menegur melalu pesan pribadi, bahasa yang halus. Karena dengan caci maki tak akan mendatangkan ketenangan dalam hati.[hal. 101]

Judul Buku       : Akhlak Nge-Medsos

Penulis             : Irfan Nur Hakim

Penerbit           : Yayasan Islam Cinta Indonesia

Tahun Terbit    : 2018

ISBN               : 978-602-53014-4-5

Tebal               : 146 Halaman

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru