29.7 C
Jakarta
Array

Menjadi Ayah Sholih Sesuai Tuntunan al-Quran

Artikel Trending

Menjadi Ayah Sholih Sesuai Tuntunan al-Quran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah menjadi tabiat dan sunatullah bahwa setiap laki-laki akan menjadi seorang ayah bagi anak-anaknya, baik disadari atau tidak ketika laki-laki sudah memasuki usia baligh sifat ke-bapak-an akan segera muncul, yaitu berupa sifat keberanian, tanggung jawab, dan kedewasaan. Baik laki-laki itu belajar atau tidak untuk menjadi seorang ayah yang sholih akan tetapi hal yang pasti adalah jiwa ke-bapak-an yang sudah terinstal dalam dirinya akan tumbuh dengan sendirinya. 

Walaupum sifat ke-bapak-an ini akan muncul secara otomatis pada diri setiap laki-laki ketika telah menjadi seorang ayah, akan tetapi alangkah lebih baik jika seorang laki-laki belajar mempersiapkan diri dan belajar untuk menjadi ayah yang sholih sesuai yang didakwahkan oleh al-Quran. 

Emang menjadi seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar ketika telah menjadi seorang ayah, hal ini dikarenakan ia harus melindungi dan menafkahi keluarganya secara lahir dan batin. Dengan kata lain seorang laki-laki harus mencukupi segala kebutuhan keluarganya.

Nah agar bisa menjadi seorang ayah yang sholih sesuai yang didakwahkan oleh al-Quran, penulis sajikan kisah apik nabi Musa dan nabi Khidir yang terekam baik dalam al-Quran yaitu surat al-Kahfi ayat 82.

Ayat ini mengkisahkan sebuah misi pembelajaran Khidir kepada Musa, ketika keduanya sampai pada penduduk suatu negeri. Mereka merasakan penat, keringat bercucuran, dan lapar yang amat sangat akibat bekal makanan yang telah habis.  Lalu keduanya dengan sopan meminta kepada penduduk negeri untuk dijamu, tapi mereka enggan memberinya makan. Tidak diketahui secara persis mengenai alasan penolakan tersebut, sehingga kedua nabi agung itu dicuekkan begitu saja.

Dalam suasana lapar itu, sambil terus berjalan, keduanya mendapati sebuah rumah milik penduduk yang dinding rumahnya hampir roboh, lalu dirobohkanlah semuanya oleh Khidir, untuk kemudian dibangun kembali dengan lebih baik. Musa kaget dan ta’jub, namun rasa ta’jubnya itu tidak bisa mengalahkan rasa laparnya.

“Kenapa, Engkau, wahai nabi Khidhr, tidak mau mengambil upah darinya?”, tanya Musa penuh heran, sehingga, pikir Musa, dari upah itu diharapkan mereka bisa membeli makanan.

Lalu kemudian dengarkanlah penjelasan Khidir berikut ini kepada Musa:

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada kanzun bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kaemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” 

Nah penjelasan nabi Khidir kepada nabi Musa ini diabadikan oleh Allah dalam al-Quran surat al-Kahfi ayat 82.

Dari kisah kedua nabi ini yang diabadikan oleh Allah dalam al-Quran ada sebuah perkataan yang perlu mendapatkan perhatian dan kajian yaitu perkataan “Ayahnya adalah seorang yang sholih”, karena perkataan inilah yang akan menjadi pembahasan untuk mencari kharakterisktik ayah sholih sesuai yang didakwahkan oleh al-Quran.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa ayah dari kedua anak yatim pada kisah diatas disifati oleh Allah sebagai ayah yang sholih, alasan yang diterangkan dalam kisah tersebut adalah karena ayah dari kedua anak yatim tersebut menyimpan kanzun. Sehingga walau sang ayah sudah tiada, namun tugasya sebagai seorang ayah tidak lekang hanya karena sang ayah berada di alam barzkah, dan anak-anaknya berada di alam dunia.

Para ulama tafsir, menyodorkan tiga makna terkait kanzun yang dimaksud dalam ayat tersebut, yang dengannya sang ayah tergolong ayah yang shalih:

Pertama: Harta benda, ini adalah pendapat Ikrimah dan Qatadah, sesuai dengan makna lafazh zhahir dari kata kanzun itu sendiri.  Seperti disulap, jangankan sudah mempunyai punya anak, baru punya istri saja semangat kerja mencari nafkah itu luar biasa, apalagi kalau sudah mempunyai anak, mungkin kosakata sakit sudah tidak ada diotak seorang ayah demi anak dan istrinya. Pengorbanan mencari nafkah bahkan sampai berdarah-darah. Sampai disini harta bagi anak sangat penting, dalam konsep waris, maka warisan harta bagi anak-anak juga bisa membuat mereka berwibawa, dengan tidak meminta-minta lantaran sang ayah sudah tidak ada. Untuk poin pertama ini, semua sepakat, bahkan semua ayah sudah menyadarinya dan lebih dari itu, semua ayah sudah melakukannya dengan baik.

Kedua: Ilmu pengetahuan yang terpendam dalam lembaran-lembaran kertas. Ini adalah salah satu pendapat sahabat Ibnu Abbas. Selain urusan makan dan minum, maka seorang ayah juga dituntut untuk memberikan ilmu pengetahuan yang baik kepada anak-anak. Kedepan mereka akan hidup pada masa yang berbeda, tuntutan zaman menghendaki ilmu pengetahuan yang beragam. Ayah yang shalih adalah dia yang bertanggung jawb atas pendidkan anaknya bahkan kalaupun dia sudah tiada. Untuk yang kedua ini tidak semua ayah bisa melakukannya.

Ketiga: Sebongkah emas yang bertuliskan diatasnya pesan kehidupan, buah dari keimanan yang kuat kepada Allah swt,  dan ini juga pendapat lainnya dari sahabat Ibnu Abbas ra. Pesan kehidupan yang didapat dari sekolah kehidupan sang ayah, berbekal ruh spiritual yang tinggi, pesan yang hanya muncul buah dari ketaqwaan seorang ayah kepada Allah swt.

Sang ayah yang shalih tersebut didalam ayat, memberikan pesannya untuk kedua belah hatinya:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ كَيْفَ يَحْزَنُ

Saya heran dengan seseorang yang beriman kepada taqdir Allah, bagaimana mungkin dia bisa sedih (dalam kehidupannya).

عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالرِّزْقِ كَيْفَ يَتْعَبُ

Saya heran dengan seorang manusia yang beriman perihal rezki Tuhan, bagaimana mungkin dia bisa gelisah dan capek memikirkanya.

عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالْمَوْتِ كَيْفَ يَفْرَحُ

Saya heran dengan seseorang yang beriman dengan kematian, bagaimana mungkin dia bisa gembira (yang berlebihan) di dunia ini.

عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالْحِسَابِ كَيْفَ يَغْفُلُ

Saya heran dengan seseorang yang beriman kepada hari pembalasan, bagaimana mungkin dia bisa menjadi manusia yang lalai.

عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالدُّنْيَا وَتَقَلُّبِهَا بِأَهْلِهَا كَيْفَ يَطْمَئِنُّ لَهَا

Saya heran dengan seseorang yang beriman perihal dunia yang fana ini, bagaimana mungkin dia bisa tenang bersamanya.

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ.

Tiada Tuhan selain Allah swt, dan Muhammad adalah utusan Allah.

Dengan memahami penjelasan ini, dapatlah diambil suatu kesimpalan mengenai karakteristik ayah sholih sesuai tuntunan al-Quran, yaitu bahwa ayah yang sholih akan selalu memberikan harta benda kepada keluarganya secara cukup, akan tetapi disamping memberikan harta benda, seorang ayah juga harus bertanggung jawab terhadap pengetahuan dan pendidikan anaknya, serta taklupa pada akhak dan perilakunya.

Ayah yang sholih juga bisa memberikan suatu pelajaran hidup, motivasi dan quote yang selalu terkenang dalam ingatan memori anaknya, sehingga sang anak akan mampu meneladai ayahnya, baiknya ketika masih hidup bersama ataupun sepeninggalnya, jikalau ayah kedua anak yatim tadi memberikan wasiat melalui sebuah tulisan dalam bongkahan emas, maka ayah yang sholih akan mampu membuat sebuah teladan yang tercatat rapi dalam ingatan manis setiap anaknya.

Suatu hal yang juga yang menjadi kharakteristik ayah sholih berdasarkan kisah yang tadi adalah bahwa ayah yang sholih akan memberikan keberkahan dan kemudian hidup bagi anak-anaknya setelah dirinya meninggal dunia, jangan sampai sepeninggalnya anak keturunanya menjadi terlantar dan tanpa bekal yang mumpuni untuk menjalani hidup.

Oleh

Ahmad Khalwani

(Mahasiswa Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru