26.1 C
Jakarta

Menimbang Ulang Nikah Ala Daud az-Dzahiri

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamMenimbang Ulang Nikah Ala Daud az-Dzahiri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Nikah model Dawud seringkali dipakai untuk mengabsahkan pernikahan tanpa wali-tanpa saksi. Perlu dipertanyakan, bagaimana sesungguhnya sosok pernikahan yang dimaksud oleh Imam Dawud al-Dzahiri.

Hingar bingar reformasi telah banyak merubah sejarah peradaban di Indonesia. Selama tiga puluh tahun lebih mereka dilarang ngompol (ngomong politik), berpikir beda, dan mengekspresikan kehendak. Sekarang larangan itu telah dinasakh/ semua rakyat bebas bicara, berpikir dan berpendapat dan berkehendak, asal masih dalam frame (kerangka) demokrasi.

Diantara kehendak yang selama ini tersumbat adalah keinginan untuk menutup lokalisasi. Dari dulu pikiran ini sudah muncul, tetapi karena sistem tidak memungkinkan, aspirasi tersebut hanya berjubel di otak. Sekarang, setelah kran demokrasi sedikit dibuka, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan. Hampir seluruh lokalisasi ditutup rapat. Ini terjadi dimana-mana. Baik di jawa ataupun di luar jawa. Akibatnya, para pramunikmat itu pulang dan kembali hidup sebagai masyarakat Indonesia.

Yang agak aneh, setelah penutupan tersebut, telpon layanan sering berdering. Masyarakat banyak bertanya tentang hukum nikah ala Dawud al-Dzahiri yang tanpa wali dan tanpa saksi itu. apakah ada korelasi antara penutupan dan pertanyaan tersebut masih dipelajari lebih lanjut. Yang jelas hal itu yang ada.

Agar persoalan ini tuntas, tulisan akan mencoba menjewantahkan nikah ala Dawud ini. Siapa dawud al-Dzahiri?

Untuk memperluas cakrawala pengetahuan tentang mazhab Dawud al-Dzahiri, kita perlu mengetahui siapa sebenarnya Dawud itu, siapa orang-orang yang mendukungnya, dan bagaimana jalan berfikirnya.

Nama lengkap belaiu adalah Abu Sulaiman Dawud Bin Ali alf Ashfihany al-Dzahiri. Dia lahir di Kufah pada tahun 202 H dan wafatdi Baghdad pada tahun 270 H. Sejak kecil, dia merupakan bocah yang berotak encer. Karena itu wajar saja jika di kemudian hari dia menjelma menjadi fakih (ahli dalam ilmu fikih), bahkan seorang mujtahid mustaqil (mujtahid yang memiliki mazhab sendiri). Lebih dari itu, beliau juga terkenal sebagai huffadzul hadits (orang yang hafal ribuan hadits).

Semula, Dawud merupakan pengikut mazhab Syafi’i yang setia, Kemudian, karena terjadi perbedaan pendapat soal qiyds, beliau mendirikan mazhab sendiri. Prinsipnya, mazhab Dawud al-Dzahiri dibangun dari dzahirya nash (tekstual). Jika tidak ditemukan teks, Dawud mengambil dari ijma’ sahabat. Apabila hal ini juga tidak ditemukan maka ijma’ muslimin yang dijadikan dasar, Sedangkan qiyas, istihsan, saddu al-dzari’ah dan ta’lilul ahkam, Dawud menolak kehadirannya.

Contoh kongkritnya seperti ini, Nabi pernah besabda:

janganlah kalian minum dari sesuatu yang terbuat dari emas dan perak.

Menurut Dawud, yang dilarang Hadits ini hanya meminum, bukan yang lain. Sebab teks Hadits itu hanya melarang minum. Lain halnya dengan mazhab Syafi’i. yang dilarang bukan hanya minum, akan tetapi isti’mal (menggunakan). ini karena kita menggunakan mafhum muwafaqah yang lebih lentur.

Contoh lain adalah tentang riba yang hanya dibatasi pada enam barang: emas, perak, gandum burr, gandum sya’ir, kurma dan garam. Jumatan hanya bisa dilaksakan di Masjid yang ramai (perkotaan). Dan istri yang kaya wajib memberi nafakah pada suami yang miskin. Semua ini diperas dari nash hadits secara tekstual.

Terhadap pemikiran yang kontroversi ini, para ulama’ silang pendapat. Ada yang mendukung dan tak sedikit pula yang menolak Pendukung terbesarnya berada di daerah Spanyol, perancis, Irak dan di daerah Maghribi.

Ulama’ secara tegas mendukung pemikiran beliau adalah lbnu Hazm al-Andalusi. Sebagaimana Dawud, lbnu Hazm sebenarnya bukan didikan asli mazhab Dzahiri. Ia dibesarkan dalam mazhab Hambali. Kemudian berbelok ke mazhab Dzahiri. Kitab monumental yang pernah ditulisnya adalah al-Muhalla dan al-lhkam fi Ushulil Ahkam.

BACA JUGA  Hukum Non Muslim Masuk Masjid

Nikah Tanpa Wali dan Saksi

Perlu ditegaskan bahwa, mazhab Dawud telah menghilang pada abad Vlll H. implikasinya adalah pada literature yang sulit terlacak. Sejauh ini, mekanisme nikah ala Dawud hanya didapat dari sitiran (nuqilan) kitab-kitab non Dawud. Sehingga wajar kalau yang disitir satu kata tidak sama dengan sitiran kitab lain. Buktinya adalah apa yang dikatakan imam Sya’rani di Mizan Kubra tidak sama dengan yang dikatakan imam Ibnu Hajar di Fatawa Kubranya. Di Mizan, Imam Sya’rani mengatakan bahwa nikah ala Dawud masih memerlukan wali jika si perempuan masih perawan. Apabila sudah janda, barulah ia bisa nikah tanpa wali dan tanpa saksi [Mizan Kubra, 109:ll]

Ini jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. Beliau mengatakan bahwa nikah ala Dawud tidak membutuhkan saksi dan wali secara mutlak [Fatawa 105: lV]. Rukun lain yang sempat dinuqil oleh para ulama adalah tentang khitbah (meminang). lbnu Rusd dalam Bidayah mengatakan bahwa meminang dalam mazhab Dawud merupakan kewajiban bukan hanya sekedar sunnah sebagaimana diungkapkan oleh mazhab lain.

Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa walimah (resepsi) versi Dawud merupakan kewajiban. Ini dibangun dari Hadits:

Walimahlah (resepsilah) kalian, sekalipun hanya dengan seekor kambing. Bagaimana kita mesti bersikap? Ada sementara kalangan mengatakan bahwa nikah ini bisa diikuti. Malah, seorang kiai di Jakarta pernah melakukan nikah model ini dan sempat dijadikan polemik pers. Alibi mereka ialah tidak ada larangan dari agama dalam masalah ini.

Terlepas dari itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, validitas penisbatan satu pendapat ke mazhab Dawud perlu dikaji ulang. Hal ini karena terjadi pluralitas penukilan, sementara kitab asli mazhab Dawud sulit dicari. Akibatanya, banyak kalangan dengan mudah mengatakan, “ini Mazhab Dawud”.

Dari paradigma ini, jika kita keberatan dengan mazhab Dawudi sebenarnya bukan karena meragukan kapasitas Imam Dawud, akan tetapi meragukan penukilan dari beliau. Jangan-jangan itu dari pihak-pihak tertentu, dan dilimpahkan kepada Dawud.

Kedua, penukilan dari beliau tidak utuh. Yang terungkap kepermukaan baru masalah seputar wali, saksi, walimah, dan khitbah. Di luar itu belum, termasuk mahar. Padahal mahar merupakan rukun yang tidak bisa ditawar. Karena itu jika kita memaksa melakukan ala Dawud ini, kita akan terjebak pada talfiq yang dilarang agama.

Ketiga, persoalan istidlal. Sejauh ini belum jelas apa istidlal Imam Dawud sehingga beliau membolehkan kawin tanpa wali dan tanpa saksi (menurut sebagian orang). Apakah ini sintesis gabungan dari Imam Hanafi yang tanpa wali dan Imam Malik yang tanpa saksi? Jika benar, maka talfiq dalam masalah jelas tak bisa dihindari.

Melihat kenyataan itulah sebaiknya nikah ala Dawud jangan dilaksakan. Bagaimana kalau sudah kadung terjadi? Ulama  khilaf, apakah harus diadakan had atau tidak? Sebagian mengatakan harus di had karena dianggapnya sebagai perzinaan, sebagaian yang lain mengatakan tidak usah dihad sebab ada syubhat (kekaburan) tentang sah tidaknya. Nabi bersabda:

Tolaklah had karena ada kekaburan. [Fatawa Kubra, 105:IV] Dalam konteks Indonesia, karena tidak diberlakukan had, sebaiknya orang yang menjalani nikah ala Dawud melakukan nikah ulang (tajdidun nikah) dengan mengikut mazhab yang lebih jernih. Wallahu a’lam.

Sumber : Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru