29.1 C
Jakarta

Menilik Intoleransi dan Eksklusivisme di Sekolah Negeri

Artikel Trending

EditorialMenilik Intoleransi dan Eksklusivisme di Sekolah Negeri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mantan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen. Pol. Ir. Hamli, dalam suatu workshop, mengatakan, persoalan yang mengancam NKRI secara garis besar ada tiga: intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Yang terakhir ini merupakan yang paling berbahaya, tetapi benih dari setiap teror, tidak lain, ialah sikap intoleran. Intoleransi sendiri lahir dari paradigma eksklusivisme — Islamlah yang paling benar dan menguasai semua lini, sementara non-Muslim dijadikan kelas kedua.

Baru-baru ini, kasus intoleransi dan eksklusivisme viral di permberitaan. Seorang guru SMA Negeri 58, Jakarta mengajak murid-muridnya untuk memilih pasangan calon Ketua OSIS yang seagama. Dalam tangkapan layar grup WhatsApp bernama Rohis 58, tampak seorang guru berinisial TS meminta anggota grup ‘Rohis 58’ tidak memilih calon ketua OSIS yang non-Muslim. Berikut salinan transkripsinya:

Assalamualaikum…hati2 memilih ketua OSIS Paslon 1 dan 2 Calon non Islam…jd ttp walau bagaimana kita mayoritas hrs punya ketua yg se Aqidah dgn kita. Mohon doa dan dukungannya utk Paslon 3. Awas Rohis jgn ada yg jd pengkhianat ya.

Dilansir Detik, Kepala Sekolah SMA Negeri 58 Jakarta, Dwi Arsono, menjelaskan pesan itu dikirimkan guru TS pada 22 Oktober, malam hari. Pesan itu terkirim ke 44 anak dalam grup WA Rohis 58. Rohis adalah ekstrakurikulir Rohani Islam. “Pertama, harus dipahami itu murni dari guru ya. Hanya untuk siswa tertentu yang tergabung di kelompok Rohis,” ujar Dwi Arsono, Rabu (28/10) kemarin. KPAI pun kemudian menanggapi, menganggapnya sebagai kasus intoleransi.

“Peristiwa ajakan salah satu guru di salah satu SMAN di Jakarta untuk tidak memilih Ketua OSIS yang tidak seagama dengan mayoritas, menunjukkan penghargaan terhadap keberagaman mulai luntur di negeri ini. Termasuk di sekolah negeri. Padahal sekolah negeri seharusnya tempat menyemai keragaman karena para siswanya sangat beragam,” terang Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, pada Rabu (28/10), sebagaimana dilansir Detik.

Kasus tersebut menjadi preseden buruk; berusaha menanamkan kebencian terhadap keberagaman kepada para anak didik. Ironisnya, itu terjadi di sekolah negeri, yang seharunya kebhinnekaan merupakan sesuatu yang wajib diterima dan tidak lagi diperdebatkan. Sebagaimana kata Retno, “toleransi itu mutlak, bukan sekadar menghargai perbedaan, tapi lebih dari itu, tidak ada kebencian sedikit pun pada perbedaan.”

Persoalan Mayoritas-Minoritas

Kenapa intoleransi dan eksklusivisme bisa muncul di sekolah negeri? Jawabannya adalah: karena rata-rata keberislamannya tidak berpegang teguh kepada konsep moderasi. Tetapi pertanyaan “kenapa harus terjadi di sekolah negeri” sama dengan pertanyaan “kenapa kampus seperti UI dan UGM lebih mudah dirasuki paham radikal.” Oleh karena terjebak dalam utopia dominasi agama tertentu, ia kemudian ingin segalanya berada di tangan sesama Muslim—tak ada ruang untuk yang berbeda.

Kasus ini menjadi satu bukti dari ratusan, mungkin ribuan, kasus sejenisnya yang tidak terekspos ke media. Pengarusutamaan yang memaksa seperti dilakukan sang guru dilatarbelakangi mindset dikotomis: mayoritas dan minoritas. Kita sering menyaksikan Islam minoritas di Negara lain diperlakukan tidak adil, lalu kita bermaksud balas dendam dengan melakukan hal yang sama di Indonesia, di mana Muslim adalah mayoritas.

BACA JUGA  Menyikapi Zionis sebagai Terorisme Global

Selain itu, selama ini, pemahaman kebangsaan selalu bergema justru melalui institusi swasta, dan dimotori oleh civil society. Moderasi Islam digaungkan oleh menteri agama, tetapi eksekusinya malah di pesantren, misalnya. Pada saat yang bersamaan, ideolog radikal justru menarget lembaga negeri; institusi pemerintah hingga sekolah-sekolah negeri. Keberislaman mereka yang dangkal menjadi sasaran empuk bagi para radikalis menyebarkan paham intoleran dan semangat eksklusivisme.

Bisa dipastikan, selama pandangan eksklusif menguasai iklim keberagamaan kita, maka keberagaman di mata kita kita pernah menjadi sesuatu yang ditolerir. Karenanya, pada kasus SMA Negeri 58 Jakarta, langkah KPAI merupakan solusi yang tepat. Empat rekomendasi yang diajukan: pemeriksaan-penindakan pelaku, pelatihan-peneguhan nilai kebangsaan, pemetaan pandangan siswa atas keragaman dan diskriminasi, serta melaporkan kasus-kasus serupa bila kembali terjadi, menjadi bukti kuat bahwa saat ini, eksklusivisme adalah musuh yang tengah menjangkiti bangsa. Yang mayoritas menjadi sok, dan yang minoritas menjadi terdiskriminasi.

Eksklusivisme Adalah Musuh

Satu hal penting yang wajib kita catat adalah, yang terjadi di SMA Negeri 58 Jakarta merupakan miniatur belaka. Ada yang jauh lebih berbahaya, yaitu bila eksklusivisme berada di lingkup yang lebih luas: Negara. Pelaku di SMA Negeri 58 Jakarta boleh jadi hanyalah oknum guru, tetapi semangat mengislamkan Indonesia secara keseluruhan dilakukan oleh segerombolan ideologi dengan cara merombak sistem dan melengserkan yang tengah menjadi penguasa.

Kita dudukkan persoalannya secara presisi. “Ingin mengangkat Ketua OSIS dari kalangan Muslim demi menjaga status kemayoritasan” itu setali tiga uang dengan “ingin menjadikan Islam menguasai pemerintahan”. Jadi, bukan kasus sekolahnya yang penting, melainkan semangat eksklusivisme itu sendiri. Dan itu bisa terjadi di manapun, baik sekolah negeri maupun swasta. Jika hari ini telah kita cium anasir eksklusivisme di sekolah negeri, besok mungkin kasus serupa terjadi si sekolah swasta. Bukan mustahil juga, bila tanpa kebijakan yang tepat, lusa mereka akan menggerogoti bangsa—pemerintahan.

Karenanya, ia menjadi musuh bangsa Indonesia. Kontra narasi intoleran, radikal, dan teror, seperti yang kita lakukan di setiap rubrik, merupakan langkah yang perlu dimasifkan. Pada Editorial kali ini, kita mesti ajukan pertanyaan reflektif: setelah secara teoretis kita ajukan berbagai cara mencegah intoleransi, radikalisme, dan terorisme, bagaimana cara menyadarkan semua pihak bahwa di neger ini, semua orang adalah sejajar tanpa melihat agama? Kita yang Muslim bisa menjawab ini dengan bertolak dari kesadaran kita akan tiadanya sekat mayoritas-minoritas. Bangsa kita tidak mengenal dikotomi semacam itu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru