33 C
Jakarta
Array

Mengutamakan Kesalehan Bernegara

Artikel Trending

Mengutamakan Kesalehan Bernegara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengutamakan Kesalehan Bernegara

Oleh: Muhammad Farid*

Manusia Indonesia tengah berada dalam ujian berat sebagai bangsa. Ideologi yang telah dibentuk oleh para pendirinya, yaitu Pancasila, diusik dan dipertanyakan oleh beberapa individu maupun kelompok dengan misi pemurnian ajaran agama.

Ujaran kebencian, berita provokatif dan perang media juga semakin mudahnya menyulut kemarahan dan konflik. Bhineka Tunggal Ika pada pita burung garuda seakan luntur dimakan usia. Tampak bahwa jiwa Pancasila sudah tak banyak tumbuh bergairah dalam benak masyarakat kita.

Merujuk pada KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus), perilaku yang tak sesuai dengan norma dan hukum itu berpangkal dari tidak adanya sifat saleh. Sayangnya, istilah saleh seringkali hanya melekat pada pribadi seorang ulama atau tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh lebih dalam bidang agama. Padahal, kita tahu banyak persoalan negeri ini yang membutuhkan orang saleh untuk bisa menyelesaikannya.

Dalam makna lebih luas saleh menurut Gus Mus ialah sifat baik seseorang yang bisa menempatkan “sesuatu” pada tempatnya. Seorang polisi yang melayani masyarakat sesuai prosedur dan murah senyum, wakil rakyat yang menyuarakan aspirasi dan hajat rakyat tanpa tendensi kepentingan pribadi atau kelompok, termasuk guru yang mendidik muridnya dengan baik, itulah wajah saleh.

Sifat saleh mendorong manusia untuk amanah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengelola bumi (khalifah fil ardh). Terkait dengan konteks kenegaraan masyarakat Indonesia perlu memahami istilah saleh bernegara sebagai pilar utama berbangsa. Bagaimana mewujudkan kesalehan bernegara?

Pertama, dengan saling menghormati, menghargai pendapat dan kepercayaan orang lain sebagai sikap dasar membangun Indonesia. Sikap ini telah dicontohkan oleh para ulama Indonesia zaman dahulu dalam bahu-membahu mengusir penjajah dari tanah Indonesia. Termasuk juga penghapusan tujuh kata yang bertendensi nyata kepada umat Islam dalam Piagam Jakarta.

Kedua, melihat lebih jauh nilai dan norma masyarakat di suatu daerah. Cara ini mendorong seseorang untuk lebih memahami kultur masyarakat suatu tempat. Termasuk juga budaya, sejarah dan watak manusia Indonesia. Hal ini berfungsi untuk memperkuat hubungan sosial antar masyarakat. Manfaatnya akan tercipta sinergi antar berbagai elemen Negara, baik itu pemerintah, ulama, lembaga keamanan, TNI-Polri dan masyarakat. Adanya sinergi itulah manifestasi dari sila kedua dan ketiga Pancasila. Yaitu terpatri rasa kemanusiaan yang adil dan beradab untuk menjaga persatuan Indonesia.

Ketiga, memiliki jiwa patriotisme, merasa memiliki tanah air dan memiliki cita-cita mewujudkan kesejahteraan dengan kerjasama yang solid dan berkeadilan sosial. Penerapannya tantu harus mengutamakan musyawarah dan saling klarifikasi (tabayyun) untuk memperoleh kesepakatan yang apik demi kemashlahatan bersama. Dan bukan sembarang melakukan aksi dan demonstrasi yang tanpa pijakan serta menimbulkan kegaduhan. Barulah nantinya kita bisa bekerja bersama membangun masa depan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gotong Royong

Begitulah kesalehan bernegara akan terwujud sebagai pijakan bersikap ala Indonesia. Ketiga cara tersebut sejalan dengan falsafah dan pola hidup leluhur Nusantara, utamanya bangsa Indonesia. Puncaknya yaitu menjunjung tinggi gotong royong sebagai semangat menata kehidupan.

Gotong royong adalah nilai asli Indonesia. Saling membantu ‘seguyub’ meski tanpa ada ikatan darah. Seperti kata Bung Karno, “Jika kelima sila atau pun tri sila tidak bisa diterima sebagai dasar negara atau weltanschauung, maka terimalah ideologi yang telah lama ada dalam diri kita yaitu gotong royong. Semua untuk semua. Satu untuk semua.

Dengan itu, kata Bung Karno, Negara kita akan kuat berdiri di kaki sendiri (berdikari). Mempunyai sistem ekonomi yang mandiri dan kesejahteraan akan merata dicapai oleh rakyat Indonesia. Kesalehan bernegara penting dimiliki tiap individu masyarakat Indonesia untuk bekerja bersama membangun negeri sesuai bidangnya. Tentu hal itu harus berpijak pada Pancasila yang telah final diakui sebagai dasar negara.

Menjalankan nilai-nilai pancasila sama dengan bersikap saleh dalam bernegara. Sebab ia menempatkan sesuatu (hukum, nilai dan norma) pada tempatnya sesuai kesepakatan kita.

Sebagai contoh kesalehan bernegara kita yaitu tidak melanggar lalu lintas, menjauhi narkoba dan informasi negatif tentangnya, bijak bermedia untuk berinovasi membangun Indonesia. Sebaliknya, korupsi, persekusi, intoleransi dan perilaku menyimpang dari undang-undang lainnya adalah watak yang anti-Pancasila dan tidak saleh dalam bernegara.

Menjadi warga negara yang saleh yaitu merasa memiliki Indonesia dan bersyukur atas kemerdekaan dan ideologi yang telah lama diwariskan nenek moyang. Kini Indonesia telah sampai pada usia 72, sejak resmi merdeka, sudah saatnya kita bekerja bersama dengan keahlian pada masing-masing bidang. Bukan lagi saatnya beradu kepentingan yang menimbulkan pecahnya persaudaraan. Indonesia membutuhkan manusia saleh untuk berkontribusi memecahkan persoalan yang semakin aneh. Salam generasi saleh.[]

*Pimpinan Redaksi LPM Paradigma Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, alumnus PP. Miftahul Falah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru