Harakatuna.com – Penyerangan terorisme tidak hanya mencakup aksi ledakan yang merusak secara fisik suatu daerah, melainkan juga menciptakan dampak psikologis yang mengganggu ketertiban sosial. Tindakan terorisme tidak hanya menimbulkan luka pada individu, melainkan juga mengganggu ketenangan bersama, menciptakan trauma yang mendalam yang dapat memperkuat munculnya radikalisme. Trauma yang tidak ditangani tidak hanya meninggalkan penderitaan, tetapi juga menjadi pemicu bagi siklus kebencian dan kekerasan.
Terorisme merupakan strategi yang tidak hanya menargetkan aspek fisik, melainkan juga memanipulasi psikologi masyarakat. Serangan ini menimbulkan trauma pada dua tingkat yang berbeda, yaitu pada tingkat individu dan tingkat kolektif.
Dalam tingkat individu, sering kali korban langsung mengalami gangguan stres pasca-trauma, yang dikenal juga sebagai PTSD. Tanda-tanda seperti mimpi buruk, kecemasan yang berlebihan, serta perasaan takut yang berkelanjutan telah menyulitkan mereka untuk kembali kepada kehidupan yang normal. Namun, dampak trauma yang disebabkan oleh tindakan terorisme tidak hanya dirasakan oleh para korban langsung.
Korban tidak langsung, yakni masyarakat yang mengamati peristiwa melalui liputan media atau merasa terdampak secara tidak langsung, juga memperoleh pengaruh dari kejadian tersebut. Ketakutan ini telah menimbulkan trauma psikologis yang berdampak pada kehidupan sehari-hari, yang memengaruhi pola pikir, interaksi sosial, dan pengambilan keputusan, termasuk menghindari tempat umum atau menaruh kecurigaan pada kelompok tertentu.
Trauma kolektif yang timbul akibat serangan teror memiliki dampak yang lebih luas. Ketakutan yang melanda masyarakat menjadikan hilangnya kepercayaan antarsesama, memperparah polarisasi sosial, serta menciptakan lingkungan yang lebih rentan terhadap proses radikalisasi.
Lingkaran Setan Terorisme
Radikalisme merupakan asal mula dari praktik terorisme. Seseorang tumbuh di tanah yang subur oleh ketidakadilan, kemiskinan, dan alienasi sosial. Dalam situasi trauma kolektif, radikalisme menemukan celah untuk tumbuh dan berkembang, dengan memanfaatkan ketidakpastian masyarakat sebagai sarana untuk memperkuat narasi kebencian dan ideologi kekerasan.
Media sosial, dengan cakupannya yang luas, merupakan sarana utama yang digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda. Pada ranah digital ini, ideologi ekstrem disajikan dengan cara yang menarik bagi individu yang mengalami kebingungan atau kehilangan identitas. Proses radikalisasi tersebut membuat individu rentan untuk menjadi pelaku atau pendukung terorisme.
Sayangnya, trauma kolektif yang timbul akibat tindakan terorisme sering kali memperkuat narasi radikal. Saat masyarakat terpecah belah karena prasangka dan kebijakan diskriminatif, kelompok radikal memperoleh dukungan tambahan untuk merekrut lebih banyak pengikut, yang menyebabkan terjadinya siklus kekerasan yang berulang secara berkelanjutan.
Mengatasi Trauma dan Mencegah Radikalisasi
Penanganan trauma yang disebabkan oleh terorisme memerlukan pendekatan terpadu yang melibatkan aspek psikologis, sosial, serta politik. Ini tidak hanya mengenai menyembuhkan luka, tetapi juga memastikan bahwa trauma tidak menjadi tempat yang subur bagi radikalisme.
Pemulihan psikologis dan rekonsiliasi sosial merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. Pemulihan trauma individu memerlukan terapi psikologis seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau terapi eksposur. Pendampingan ini mendukung korban dalam mengatasi pengalaman traumatis secara lebih sehat, mengurangi tingkat kecemasan, serta memulihkan fungsi normal mereka.
Namun, pemulihan haruslah tidak hanya difokuskan pada individu. Pada tingkat komunitas, program-program yang berbasis dukungan sosial memiliki tingkat penting yang tinggi. Ruang-ruang yang aman untuk berbagi pengalaman, kegiatan pemberdayaan komunitas, dan dialog antarwarga membantu memperkuat rasa saling percaya dan solidaritas yang mungkin terpengaruh oleh trauma kolektif.
Pendidikan dan literasi sosial bertujuan untuk memerangi radikalisme. Pendidikan merupakan sarana yang sangat penting dalam menangkal radikalisasi. Tidak hanya pendidikan formal, melainkan juga literasi sosial yang mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Narasi radikal sering kali berkembang di lingkungan yang kurang memahami perbedaan, oleh karena itu, menjadi penting untuk memperkuat nilai inklusivitas di seluruh lapisan masyarakat.
Literasi digital juga menjadi sangat penting, terutama karena ruang digital merupakan tempat utama penyebaran propaganda radikal. Pendidikan mengenai cara mengidentifikasi dan mengatasi narasi radikal di media sosial dapat memberikan kontribusi bagi individu, terutama generasi muda, untuk memiliki sikap yang lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Peran media yang memiliki tanggung jawab, media memainkan peran penting dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap masalah terorisme dan radikalisme. Sayangnya, liputan yang bersifat sensasional kerap kali memperparah trauma masyarakat dan menguatkan stereotip terhadap kelompok tertentu.
Media diharapkan untuk mengambil peran yang aktif dalam menyajikan berita yang seimbang dan edukatif. Bukanlah menyulut ketakutan yang seharusnya dilakukan, namun pemberitaan dapat diarahkan untuk mempromosikan solidaritas, melawan stereotip, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ancaman radikalisme.
Kebijakan inklusif yang diputuskan oleh pemerintah harus mencerminkan usaha untuk memulihkan trauma secara bersamaan dengan mencegah radikalisasi. Pendekatan yang bersifat represif hanya memperburuk alienasi masyarakat serta memberikan peluang bagi perkembangan radikalisme.
Sebaliknya, pendekatan inklusif yang melibatkan masyarakat dalam menjaga keamanan dan membangun rasa saling percaya menunjukkan efektivitas yang lebih besar. Pemerintah juga disarankan untuk mengadakan dialog terbuka dengan masyarakat guna mendengarkan kerisauan mereka serta mencari pemecahan masalah secara bersama-sama.
Resiliensi Pasca-Trauma
Ketahanan masyarakat merupakan elemen krusial dalam proses pemulihan dari dampak trauma yang disebabkan oleh terorisme. Hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan menyembuhkan luka, tetapi juga melibatkan upaya bersama dalam membangun kekuatan untuk menghadapi tantangan yang akan datang.
Ketahanan tidak bersifat menghapus kenangan tentang tragedi, tetapi menggunakannya sebagai pembelajaran demi memperkuat solidaritas. Dalam konteks ini, peran seluruh entitas, yaitu individu, komunitas, media, dan pemerintah memiliki tingkat penting yang sangat signifikan.
Dengan memanfaatkan dukungan psikologis, pendidikan inklusif, pemberitaan yang bertanggung jawab, serta kebijakan yang mendukung keadilan sosial, masyarakat dapat mengatasi trauma dan mencegah penyebaran radikalisme. Karenanya, kita tidak hanya sembuh dari luka-luka, tetapi juga membangun tatanan sosial yang lebih kokoh, toleran, dan siap menghadapi tantangan serupa pada masa mendatang.
Trauma dan radikalisme merupakan tantangan besar bagi kemanusiaan kita, namun dengan solidaritas dan kerja sama, kita mampu membuktikan bahwa nilai-nilai kebersamaan selalu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada upaya-upaya yang ingin memecah-belah kita.