31 C
Jakarta

Mengurai Kemunculan Islamisme-Khilafahisme

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMengurai Kemunculan Islamisme-Khilafahisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Agama Masa Depan, Masa Depan Agama, Penulis: Ibnu Rusyd, Penerbit: Bintang Semesta, Terbit: April, 2022, Jumlah: 249 Halaman, ISBN: 978-623-5361-09-3, Peresensi: Fathur Roziqin.

Harakatuna.com – Mari kita bayangkan segerombolan pengasong khilafah sedang melakukan demonstrasi di hadapan pendiri bangsa. Mereka membawa oleh-oleh zaman dahulu dan menawarkan agar sistem khilafah diterapkan pada konteks saat ini. Para pendiri bangsa itu tersenyum—layaknya menghadapi bocah kemarin sore—dan menyarankan agar mereka membaca kembali sejarah kesepakatan berdirinya sebuah bangsa bernama Indonesia.

Lalu mereka tak terima dan merengek dan tetap bersikukuh keras dengan mengatakan kelak khilafah akan tegak di Indonesia bahkan seluruh dunia. Sikap demikian, menurut saya, juga anggapan Ibnu Rusyd, seperti ke kanak-kanakan dan mengkhianati perjanjian berdirinya sebuah bangsa atas dasar kesepakatan bersama tersebut.

Hal ini bisa dilihat dalam diri segerombolan pengasong khilafah seperti ada egoisme yang berambisi menaklukkan dunia versi pandangannya; tidak boleh yang lain. Dunia versi merekalah paling terbaik. Karena itu, Ibnu Rusyd, melalui buku terbarunya, Agama Masa Depan, Masa Depan Agama bertanya: apa sebenarnya yang ingin kita lihat di dunia ini?

Jika pertanyaan semacam ini diajukan kepada pangasong khilafah mungkin jawabannya adalah dunia yang mengikuti Islam secara total (kaffah). Artinya, semua permasalahan-permasalahan di dunia ini hanya bisa diatasi oleh pandangan apologia tersebut. Jika pun tidak bisa mengatasi permasalahan yang ada; berarti umat Islam belum sepenuhnya menerapkan ajaran Islam secara kaffah.

Begitu Ibnu Rusyd menggambarkan kelompok tersebut. Yang paling aneh pandangan demikian adalah mereka menutup mata—atau pura-pura saja (?)—bahwa bumi ini bukan hanya milik satu golongan, melainkan cukup beragam dan varian golongan mestinya jadi ladang hidup bersama saling mengerti satu sama lain.

Mereka lupa bahwa kejayaan masa lalu Islam (dikenal zaman keemasan)—yang sering mereka elu-elukan semboyan mengkultuskannya—pada dasarnya bukan saja kontribusi satu golongan semata, melainkan kontribusi antar banyak pihak; antar banyak golongan—termasuk non-Islam.

Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mencoba mengingatkan kembali pemabuk khilafah tersebut agar sadar diri dan mengakui kelompok lain juga punya kesempatan untuk sama-sama membentuk peradaban, dan tidak mungkin suatu peradaban dunia akan terbentuk dengan meninggalkan sikap kerjasama antarpihak.

Melalui buku setebal 249 ini penulis melakukan gugatan-gugatan cerdas dan bernas dan kaya akan referensi berbobot meskipun ditulis secara santai tapi cukup menohok. Baca saja kutipan berikut atas sorotannya mengenai kelompok-kelompok yang mau memperjuangkan kejayaan Islam tapi dengan cara instan.

“Kebaikan bagi dunia masa kini, dan masa yang akan datang, tak akan tercipta dengan jalan ghirah mengunjungi pengajian, halaqah, dan mendengarkan para kaum pendakwah yang mendakwa dirinya sebagai ustadz-ustadz yang hakiki.” Ibnu Rusyd menegaskan “dengan melakukan itu semua Anda merasa nyaman karena seolah sudah menemukan kebenaran. Kegiatan semacam itu hanya memberikan Anda efek tenang sesaat (hlm. 82)”.

Dengan modal dangkal semacam itu gerombolan mabuk khilafah hendak melakukan supremasi Islam ke segala lini kehidupan—politik Islam, partai Islam, ekonomi Islam, bank Islam, dan seterusnya. Dan, ia bertanya, apakah definisi, aplikasi dan tuntutan semacam itu tidak melanggar logika dan nalar ilmiah?

Meski demikian, Ibnu Rusyd cukup objektif ketika mencermati dan menguraikan apa yang ada dibenak mereka yang berkeinginan dan bernafsu sekali sistem khilafah harus ditegakkan namun acapkali abai pembacaannya terhadap sejarah Islam masa kelam.

Kita simak bagaimana Ibnu Rusyd ketika menyoroti kelompok tersebut dengan melakukan bedah buku The Failure Of Political Islam karya Olivier Roy dalam menjelaskan gagasan dan gerakan Islamisme atau Islam politik (bahasa Roy dan Ibnu Rusyd. Pengasong khilafah salah satu sekian variannya).

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Dalam tilikan Ibnu Rusyd bahwa gagasan inti keinginan menegakkan supremasi politik Islam ini sudah terlanjur jadi bagian organis dalam kehidupan dunia modern sekaligus jadi ‘dirinya tradisi modern’ bagi memori kolektif umat Islam global. Karena itu, Olivier Roy bagi Ibnu Rusyd cukup penting didengarkan jika kita hendak memahami sebuah agama dan pengaruh sosiologisnya.

Misalnya seperti pengasong khilafah tersebut. Ibnu Rusyd menulis demikian: “Jika mau mengetahui Islamisme itu anak kandung siapa, maka kita harus lihat di bidan mana ia dilahirkan. Dari sana bisa ditanya kepada bagian administrasi, siapa ibu kandungnya.”

Catatan Ibnu Rusyd mengatakan bidan tempat islamisme lahir adalah dunia modern pasca-kolonial dan pasca-revolusi industri. Sementara Ibunya adalah ketidakadilan, penjajahan, dan kemiskinan. Nah, mengetahui bidan dan ibu kandungnya siapa inilah Roy hendak mengingatkan kita pada kakak tertua islamisme: Marxisme.

Lalu pertanyaannya adalah apakah demikian pula islamisme tidak mengakar dalam tradisi klasik Islam itu sendiri? Dalam uraian Roy—seperti dikutip Ibnu Roy—maka bisa jadi ya sekaligus tidak. Pembacaan Ibnu Rusyd melalui buku Roy itu menegaskan bahwa kegagalan gerakan islamisme mempunyai hubungan erat dengan sikap tidak dewasa mereka sendiri (termasuk dalam hal ini pasong khilafah dkk). Roy menyebutnya dengan istilah nostalgia dan apologia (hlm. 115)

Ibnu Rusyd menulis: “… akibat selalu bernostalgia dengan imajinasi—yang sering kali tidak historis, melainkan dogmatis—tentang kejayaan masa lalu Islam; dan akibat selalu mendaku bahwa Islam sebagai agama adalah sudah lengkap dan sudah lebih maju dibandingkan peradaban mana pun, akhirnya mereka yang terjangkiti virus islamisme jadi mandek dan tidak kritis dalam berpikir.”

Maksudnya adalah pembacaan islamisme terhadap sejarah kelam Islam. Ibnu Rusyd menyelidiki di satu sisi para islamis adalah hasil didikan dunia pendidikan modern yang sekuler dan Barat-sentris; namun, di saat yang sama mereka menghina-hina dunia Barat yang mendidik dan membesarkan mereka.

Yang paling menarik dari bedah buku Roy tersebut adalah ketika Ibnu Rusyd membongkar agenda mereka lewat cara cukup modern seperti propaganda lewat medsos, revolusi dan kalau perlu terorisme.

Adapun ruang-ruang keberadaannya menurut survey “mereka ini kebanyakan adalah aktivis kampus dan kantor. Mereka berdiskusi dan berorganisasi seperti halnya kaum militan Marxis. Organisasi mereka adalah sebentuk modernitas yang canggih,” tulis Ibnu Rusyd (hlm, 118). Artinya bahwa mereka merupakan kaum terdidik di kampus-kampus sekuler dan modern.

Lihat saja pengasong khilafah di Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah jurusan sains dan teknik dan hidup di perkotaan besar, bekerja di kantor perusahaan kapitalis, baik swasta maupun badan usaha milik negara. Karena itu, mereka tidak tahu menahu tentang tradisi di desa, madrasah, dan pesantren, adalah bukti nyata bahwa mereka tidak lagi tradisionalis.

Garis pentingnya adalah bahwa pada dasarnya, ini yang ditegaskan Ibnu Rusyd juga Roy, mereka sedang berapologi dan berimajinasi tentang kejayaan masa lalu Islam yang sepenuhnya hendak diterapkan pada konteks saat ini tapi lupa jatidiri bangsanya sendiri.

Mereka lupa membaca sejarah kesepakatan berdirinya sebuah bangsa. Bahwa Indonesia adalah milik kita bersama, bukan cuma milik satu golongan semata. Selamat membaca!

Fathur Roziqin
Fathur Roziqin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru