28.9 C
Jakarta
spot_img

Mengurai Eksklusivisme Agama dalam Pemaksaan Jilbab, Ini Cara Menanganinya

Artikel Trending

KhazanahTelaahMengurai Eksklusivisme Agama dalam Pemaksaan Jilbab, Ini Cara Menanganinya
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Keberagamaan yang sejati tidak lahir dari pemaksaan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan arah sebaliknya: simbol-simbol agama seperti jilbab menjadi alat pengukuhan identitas kelompok tertentu, bahkan dengan cara yang menekan individu lain. Fenomena tersebut menciptakan persoalan sosial, serta mengancam nilai-nilai kebangsaan yang mendasari keberagaman kita.

Kasus pemaksaan jilbab di SMK Negeri 2 Padang pada 2021 menjadi ilustrasi yang mencolok. Aturan sekolah negeri yang seharusnya menjunjung asas inklusivitas dan netralitas, justru memaksakan pakaian keagamaan tertentu kepada siswi non-Muslim. Peristiwa tersebut mengundang kritik luas, bukan hanya karena sifat diskriminatifnya, tetapi juga karena menunjukkan bagaimana simbol agama dapat digunakan sebagai alat dominasi di ruang publik.

Jilbab dalam tradisi Islam adalah simbol spiritualitas, sebuah pilihan yang mencerminkan hubungan pribadi dengan Tuhan. Namun, ketika simbol dipaksakan, maknanya bergeser dari ekspresi menjadi instrumen kuasa. Pemaksaan penggunaan jilbab menyalahi hak individu atas kebebasan beragama dan mencederai esensi agama itu sendiri, yang seharusnya mengutamakan kebebasan hati dalam menjalankan keyakinan.

Di Indonesia, jilbab telah menjadi simbol keberagamaan yang kuat, bahkan sering dijadikan tolok ukur moralitas. Padahal, mengaitkan kealiman seseorang dengan atribut tertentu berisiko menyederhanakan kompleksitas agama dan kehidupan spiritual. Lebih dari itu, menjadikan jilbab sebagai standar kesalehan dapat menciptakan tekanan sosial yang mengarah pada eksklusivisme.

Penggunaan simbol agama yang masif di ruang publik, termasuk jilbab, juga memicu polarisasi. Masyarakat cenderung terbagi dalam kelompok-kelompok yang mendukung atau menolak simbol tertentu, sehingga dialog inklusif tergantikan oleh debat yang kaku. Polarisasi memperburuk hubungan sosial, terutama ketika simbol agama dijadikan alat politik identitas yang mempertegas batas antara “kami” dan “mereka”.

Sebagai contoh, perdebatan tentang jilbab tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara seperti Prancis. Namun, pendekatan Prancis yang melarang jilbab di ruang publik atas dasar sekularisme justru menghasilkan kritik bahwa langkah tersebut tidak menghormati kebebasan individu. Kasus tersebut menunjukkan bahwa ekstremisme, baik dalam bentuk pemaksaan maupun pelarangan, tidak pernah menjadi solusi yang bijak.

Eksklusivisme agama adalah fenomena yang mengkhawatirkan di masyarakat modern. Ketika simbol-simbol agama menjadi patokan keberagamaan seseorang, esensi agama yang seharusnya menumbuhkan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan malah terdistorsi. Hal tersebut memunculkan berbagai bahaya yang berdampak langsung pada individu, masyarakat, dan negara.

Pertama, reduksi makna agama. Ketika simbol dijadikan standar keberagamaan, agama mengalami reduksi menjadi sekadar penampilan fisik. Hal itu mengabaikan dimensi moral, intelektual, dan spiritual yang lebih substansial dalam beragama. Orang cenderung menilai kesalehan hanya dari atribut luar, bukan dari tindakan nyata seperti kejujuran, empati, dan kontribusi terhadap sesama.

Kedua, polarisasi atau konflik sosial. Masyarakat menjadi terpolarisasi antara ‘kami’ dan ‘mereka’, menciptakan sekat-sekat sosial yang memperburuk hubungan antarkelompok. Polarisasi dapat berkembang menjadi konflik terbuka ketika salah satu kelompok merasa simbolnya dilecehkan atau ketika simbol agama digunakan untuk mendominasi ruang publik secara sepihak.

Ketiga, diskriminasi sekaligus intoleransi. Orang yang tidak mengikuti simbol tertentu dianggap kurang religius, bahkan bisa dikucilkan dari komunitasnya. Kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri di Indonesia menjadi contoh nyata, di mana siswa yang tidak mematuhi aturan tersebut mengalami tekanan sosial. Diskriminasi itu bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan menghancurkan kohesi sosial.

BACA JUGA  Kemunduran Demokrasi di Indonesia, Bukti Khilafah Lebih Baik?

Keempat, alat politik identitas. Simbol agama dijadikan sarana untuk memperoleh dukungan politik atau memperkuat pengaruh suatu kelompok. Eksploitasi tersebut akan merusak makna spiritual simbol tersebut, dan juga mengancam integrasi nasional karena memicu sentimen sektarian.

Kelima, menegasikan kebebasan. Setiap orang memiliki hak untuk memilih bagaimana ia menjalankan agamanya, termasuk bagaimana ia mengekspresikan kepercayaannya. Pemaksaan simbol tertentu, seperti kewajiban berjilbab bagi siswa non-Muslim, melanggar hak asasi manusia dan prinsip keberagaman yang menjadi landasan bangsa Indonesia.

Keenam, menghambat dialog antaragama. Keberagamaan yang kaku dan berbasis simbol cenderung mempersulit dialog antaragama. Ketika simbol dijadikan tolok ukur utama, pemahaman lintas agama menjadi sempit. Orang lebih fokus pada perbedaan simbolik daripada mencari kesamaan nilai yang bisa menjadi dasar dialog dan kerja sama.

Ketujuh, menjadi pintu masuk radikalisasi. Simbol agama yang dimanipulasi juga dapat menjadi pintu masuk bagi radikalisasi. Kelompok-kelompok ekstremis menggunakan simbol agama untuk menarik dukungan, memperkuat identitas kelompok, dan menanamkan ideologi eksklusif. Hal tersebut memperparah ancaman radikalisme di masyarakat, terutama ketika simbol digunakan untuk mendiskreditkan sistem demokrasi atau kelompok lain yang berbeda pandangan.

Lantas, bagaimana solusinya? Pendidikan agama harus diarahkan untuk menanamkan nilai universal yang menjadi inti setiap agama. Simbol agama perlu dipahami sebagai ekspresi pribadi, bukan tolok ukur keberagamaan seseorang. Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan publik tidak memihak pada simbol agama tertentu. Sekolah harus menjadi ruang inklusif yang menghormati keberagaman tanpa pemaksaan simbol agama.

Dialog antaragama dan antarkelompok dalam agama yang sama juga perlu diperkuat untuk mengatasi polarisasi. Fokus dialog harus pada nilai-nilai bersama yang dapat memperkuat harmoni sosial. Dan yang tak kalah penting ialah, masyarakat perlu dibekali literasi keberagamaan yang kritis, agar mampu membedakan esensi agama dari eksploitasi simbolik. Dengan literasi yang baik, masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh narasi eksklusif yang membahayakan persatuan.

Jalan Menuju Inklusivitas

Selain itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mendorong keberagamaan yang lebih inklusif. Pertama, pemerintah harus menegakkan kebijakan publik yang netral secara agama. Sekolah negeri, sebagai institusi milik negara, tidak boleh memaksakan aturan yang bertentangan dengan prinsip keberagaman. Kebijakan seperti kewajiban berjilbab harus dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Pancasila.

Kedua, pendidikan agama perlu diarahkan pada pemahaman lintas agama dan penghormatan terhadap perbedaan. Kurikulum sekolah harus menanamkan nilai-nilai pluralisme, agar siswa mampu memahami bahwa agama bukanlah alat pemisah, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan menghormati.

Ketiga, media juga memegang peran penting. Media massa dan media sosial harus lebih berhati-hati dalam menampilkan simbol agama. Alih-alih memperkuat stereotip atau memicu konflik, media dapat menjadi ruang dialog yang mendorong pemahaman antar kelompok.

Kasus pemaksaan jilbab adalah pengingat bahwa agama tidak boleh menjadi alat dominasi, apalagi pembatas kebebasan individu. Di negara yang berdiri di atas fondasi keberagaman, setiap simbol agama harus dihormati sebagai ekspresi pribadi, bukan instrumen pemaksaan.

Memberantas eksklusivisme tidak berarti meniadakan simbol agama, tetapi mengembalikan maknanya sebagai sarana spiritual yang bebas dari tekanan dan manipulasi. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi negara yang menghormati keberagaman sekaligus tempat di mana setiap individu merasa merdeka dalam menjalankan keyakinannya. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru