28.2 C
Jakarta
Array

Mengurai Ancaman Radikalisme Terhadap Kedaulatan NKRI

Artikel Trending

Mengurai Ancaman Radikalisme Terhadap Kedaulatan NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Maraknya gerakan Islam transnasional di pelbagai belahan dunia, yang salah satu di antaranya adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) disinyalir merupakan isu pengganti dari skenario Al-Qaeda yang sudah tutup buku di Irak sejak 2012 silam. Namun, ISIS sebagai gerakan politik yang paling populer saat ini dan menyebut diri mereka sebagai kekhalifahan Islam secara global banyak mendapatkan sorotan dari pelbagai pihak. Sebagain ada yang menolak dan mendukungnya, dan sebagain yang menganggapnya sebagai ancaman dan bahkan harapan.[1] Pihak yang menolak dan menganggapnya sebagai ancaman serius datang dari sebagian besar masyarakat Muslim dan non-Muslim, termasuk para cendekiawan, ulama dan pemimpin agama-agama di dunia.[2] Sedangkan mereka yang mendukung ISIS karena dianggapnya mampu memberikan secercah harapan berasal dari segelintir orang atau kelompok tertentu yang sedari awal mencita-citakan untuk mendirikan kekhalifahan Islam secara global walaupun dengan menggunakan pendekatan kekerasan.

Dalam hal ini, hampir semua elemen masyarakat Muslim menyesalkan kemunculan ISIS beserta klaimnya sebagai kekhalifahan Islam global.[3] Bahkan sebagain dari mereka yang selama ini dikenal sebagai pihak yang gigih mewacanakan pentingnya khilafah Islamiyah juga masuk dalam garda depan yang menolaknya, mengingat pola gerakan dan cara yang diperagakan oleh kelompok ISIS sangat biadab, bengis, tidak berperikemanusiaan, mengedepankan kekerasan dan sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.[4]

Terkait dengan cita-cita ISIS untuk mendirikan khilafah Islam (Islamic state) secara global,  para cendekiawan, ulama dan pemimpin Islam juga banyak yang tidak setuju karena dinilai tidak realistis dan juga tidak ada justifikasinya dalam ajaran Islam. Saat ini umat Islam tersebar di pelbagai belahan dunia. Dalam kapasitas demikian, setiap negara memiliki sejarah dan kebijakannya sendiri terkait penduduknya yang beragama Islam. Bahkan banyak ditemukan para ulama dan pemimpin Islam yang secara sadar melakukan ijtihad untuk memperkuat negaranya masing-masing, seperti di Indonesia.

Sementara mereka yang mendukung berdirinya kekhalifahan Islam global sejatinya tidak memahami bahwa tidak ada landasannya dalam ajaran Islam dan juga dalam perjalanan sejarah Islam. Memang, ada kekhalifahan yang terjadi pada era kepemimpinan sahabat-sahabat Nabi, seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.[5] Namun, kalau diperhatikan secara seksama model yang diterapkan berbeda antara era empat kepemimpinan tersebut. Oleh karena itu tepat kiranya apa yang kemukakan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya bahwa prinsip kekhalifahan Islam hanya ditemukan di era al-khulafa ar-rasyidun saja, sedangkan setelahnya tidak ada yang pas untuk disebut sebagai kekhalifahan Islam. Lebih jauh ia mengatakan, jikapun ada yang menyebut adanya kekhalifahan Islam setelah era al-khulafa ar-rasyidun maka hal itu hanyalah dalam nama saja, sedangkan dalam substansinya sama sekali jauh dari prinsip-prinsip yang dijalankan pada era al-khulafa ar-rasyidun.[6] Karena itu, menurut kelompok terakhir ini, cita-cita untuk mendirikan kekhalifahan Islam global saat ini sangatlah tidak mungkin dan tidak realistis. Yang paling memungkinkan saat ini adalah mengadopsi semangat kekhalifahan Islam sebagaimana dicontohkan al-khulafa ar-rasyidun di dalam setiap Negara di mana umat Islam bernaung.

Sedangkan mereka yang setuju dan mendukung keberadaan ISIS menganggap sebagai titik tolak dari perwujudan cita-cita mendirikan kekhalifahan Islam secara global.[7] Sekelompok orang ini berasal dari negara yang berbeda, termasuk dari Indonesia.[8] Jumlah mereka sebenarnya tidak seberapa, namun militansi dan sikapnya yang radikal mengharuskan agar tetap diwaspadai keberadaan dan segala sepak terjangnya. Maka, sangat mungkin ada perekrutan oleh ISIS terhadap saudara-saudara kita di Indonesia untuk diajak bergabung dalam satu barisan dengan mereka.

Apabila ditelusuri pola gerakannya, mereka yang mendukung ISIS ini mempunyai karakter yang hampir sama, yakni kedangkalan pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama, sehingga menimbulkan distorsi pemahaman dan sikap radikal dalam beragama, dimana hal itu bisa berpotensi memunculkan tindakan kekerasan dengan segala cara, termasuk melakukan aksli bom bunuh diri. Oleh karena itu, upaya pencegahan agar kelompok ini tidak bisa berkecambah lebih luas lagi harus ditangkal melalui pendekatan yang lebih halus seperti, pendidikan, sosial dan budaya.

Benih Radikalisme Agama

Dari pelbagai sumber atau kajian yang ada, ada banyak faktor yang menjadi benih munculnya radikalisme agama. Yang paling menonjol adalah faktor anti Barat dan faktor adanya distorsi pemahaman agama.[9]

Faktor anti-Barat menjadi penyebab kuat yang mendorong lahirnya sikap radikal. Radikalisme agama yang tidak jarang kemudian melahirkan tindakan kekerasan dan terorisme pada umumnya merupakan respons dan perlawanan terhadap kebijakan Amerika dan sekutunya terhadap kezaliman yang terjadi di negara-negara Islam. Kebijakan “perang melawan terorisme” yang selama ini digaungkan oleh Amerika dan sekutunya menimbulkan segregasi yang sangat nyata: mereka yang sama sebangun dan mendukung dengan kebijakan tersebut merupakan sekutu bagi Amerika, sedangkan mereka yang menolaknya dianggap sebagai musuh. Dengan kebijakan tersebut Amerika dan sekutunya memburu orang-orang yang dianggap sebagai teroris, bukan saja di negara mereka tapi juga di negara lain.[10]

Memang, keamanan internasional yang dimotori Amerika Serikat yang memerankan diri sebagai polisi dunia, menjadi sasaran dari gerakan dan aksi-aksi terorisme internasional mengingat tata dunia sekarang ini dinilai berada dalam orbit pengaruh kekuasaan yang dominan dari Amerika Serikat (AS), yang muncul sebagai negara adidaya tunggal (the sole superpower) dalam periode pasca Perang Dingin. Kelompok radikal memandang jika sebuah kekuatan ingin menggugat dan menggantinya dengan alternatif lain yang ideal sesuai dengan pandangan kekuatan atau kelompok yang melakukan penolakan atau resistensi tersebut maka aksi-aksi terorisme berskala internasional harus dilakukan.

Padahal, upaya-upaya yang bisa dilakukan seperti negosiasi dan diplomasi ataupun kerja sama, tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Lebih jauh lagi, oleh kekuatan atau kelompok yang melakukan resistensi, mekanisme atau jalur-jalur reguler yang ditempuh selama ini, dinilai telah memberikan hasil yang sangat tidak memuaskan, karena terlalu banyak toleransi dan kompromistik, yang justru sangat merugikan mereka.[11]

Kondisi yang demikian ini akhirnya mengantarkan pada semakin “mengerasnya” sikap sekelompok umat Islam untuk melakukan tindakan-tindakan penuh teror dan kekerasan. Mereka tidak segan mentasbihkan diri mereka sebagai seolah-olah pengemban misi-misi profetik dan seolah-olah beriman. Dalam kapasitas demikian, mereka membuat garis pemisah yang tegas: ikut kelompok kami, atau menjadi bagian dari kepentingan mereka (Amerika dan sekutunya).

Apapun kebijakan Amerika dan sekutunya yang mengobarkan perang global melawan terorisme, mereka pahami tidak lain adalah perang melawan masyarakat Muslim secara keseluruhan. Dengan demikian, langkah Amerika dan sekutunya dengan menggunakan kekuatan militer, justru malah menambah amunisi semangat mereka untuk bertindak semakin militan dan radikal. Lihat saja di kawasan Timur Tengah,seperti di Irak, Libya, Yaman, dan Syria. Kelompok radikal ini bahkan mampu memberikan perlawanan kepada Amerika dan sekutu-sekutunya, termasuk negara-negara satelitnya di kawasan. Mereka bahkan mampu menguasai, meski tidak sepenuhnya , sektor atau kepentingan yang selama ini menjadi target Amerika dan sekutunya..[12] Kelompok ini secara sepihak menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah mengemban misi suci, yaitu jihad melawan pihak-pihak yang memerangi umat Islam. Sehingga pelbagai aksi penyerangan dan serangkaian pengeboman, termasuk bom diri, mereka lakukan, terutama pada sasaran yang dianggap sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya. Sikap kelompok yang demikian ini, tentu merugikan umat Islam secara keseluruhan, mengingat tidak semua dari mereka setuju terhadap aksi-aksi kelompok radikal ini.

Segala tindakan mereka dengan mengatasnakaman jihad di jalan Tuhan tidak sejalan dengan mayoritas ulama di dunia. Kelompok ini memahami jihad hanya dengan arti perang (qital). Padahal, sebagaian besar para ulama menyatakan bahwa jihad juga bisa bermakna lain, yaitu upaya sungguh-sungguh dalam melakukan perbaikan. Menurut para ulama, jihad selain mempunyai makna qital (perang), juga mempunyai makna ishlah (perbaikan).[13]

Selain itu, faktor distorsi pemahaman agama juga menjadi akar dari munculnya sikap radikal dalam beragama.[14] Salah satu penyebab terjadinya distorsi dalam memahami agama adalah pemahaman terhadap dalil al-Quran dan Hadis hanya secara harfiyah atau literer. Pemahaman terhadap dalil al-Quran dan Hadis hanya dengan menggunakan pendekatan literer ini membahayakan, karena dapat menggelincirkan seseorang dalam kesalahan pemahaman. Pengambilan suatu hukum dari sumber ajaran agama tidak boleh terlepas dari seperangkat metodologi yang telah diformulasikan oleh para ulama, baik dengan cara pemahaman terhadap makna harfiyah dari dalil al-Quran dan Hadis (manthuq an-nash) ataupun dengan cara menggali lebih dalam makna tersebunyi dari dalil al-Quran dan Hadis (mafhum an-nash).[15]

Pemahaman agama yang hanya didasarkan pada manthuq an-nash saja akan menimbulkan kekakuan dalam beragama. Karena agama Islam diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai agama terakhir, sehingga apapun peristiwa dan permasalahan yang muncul seiring dengan perkembangan zaman dapat dicarikan jawabannya dalam agama. Nash keagamaan terbatas pada ayat quraniyah dan sunnah nabawiyah sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga apabila pemahaman agama didasarkan hanya pada munthuq an-nash saja maka boleh jadi agama tidak akan bisa menjawab permasalahan yang muncul, karena tidak semuanya termaktub secara jelas di dalam nash. Suatu hal yang tidak mungkin menjawab semua persoalan yang muncul hanya terpaku dengan manthuq an-nash, karena nash sifatnya sangat terbatas sedangkan persoalan yang terjadi terus berkembang.[16]

Apabila pemahaman terhadap dalil ini dipaksakan hanya dengan mempergunakan cara literer, apalagi kalau tidak diimbangi dengan penguasaan yang mendalam terhadap maksud dari dalil tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan pemahamannya menjadi terdistorsi. Karena pemahaman terhadap dalil secara literer dan parsial cenderung bisa menyesatkan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan radikalisme dalam pemahaman agama.

Pancasila dan Semangat Membangun Bangsa

Diskursus mengenai kaitan antara agama dan negara selalu menjadi sorotan banyak kalangan dan membuka ruang perdebatan, terutama di masa-masa awal pendirian bangsa, bahkan juga pada masa belakangan ini. Perbincangan mengenai diskursus ini di masa awal pendirian bangsa tidak terlepas dari komitmen para pendiri bangga dalam menggali dan menyemaikan nilai-nilai yang telah mengakar kuat di masyarakat sebagai upaya untuk merumuskan adanya titik pijak atau ideologi sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Para pendiri bangsa ini pada akhirnya sampai pada kesepakatan bahwa Pancasila adalah falsafah dan ideologi bangsa dan bentuk negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan itu tidak lain adalah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para pendiri bangsa, termasuk para pimpinan umat Islam, sehingga mengikat bagi seluruh elemen bangsa, termasuk umat Islam sendiri.

Kita bisa cermati bersama bahwa akhir-akhir ini, relevansi Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa mulai banyak didengungkan, terutama oleh kelompok-kelompok tertentu yang sejak awal menginginkan adanya perubahan ideologi Pancasila dengan ideologi-ideologi yang mereka bawa. Kelompok-kelompok ini dalam memperjuangkan cita-citanya bisa dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis, seperti pengrusakan tempat-tempat ibadah. Sehingga mereka pun mempertanyakan kembali hasil kesepakatakn para pendiri bangsa waktu itu yang menjadikan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara.

Padahal, kalau ditelusuri secara mendalam dan objektif mengenai awal mula perumusan Pancasila, maka akan ditemukan fakta sejarah bahwa Pancasila merupakan kesepakatan dari sebuah kompromi yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini.[17] Kesepakatan dan kompromi tersebut terutama, setidaknya terlihat pada adanya perubahan sila pertama yang awalnya berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut menunjukkan kesediaan dari kalangan Islam untuk berkorban demi kepentingan kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara.

Maka Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia harus dimaknai bukan sebagai agama, apalagi untuk menggantikan kedudukan agama.[18] Namun demikian karena sila-sila dalam Pancasila kesemuanya memuat nilai-nilai universal yang sesuai dan identik dengan ajaran Islam, maka umat Islam bisa menerimanya sebagai dasar, falsafah dan ideologi negara, dengan alasan bahwa ajaran Islam dapat menerima nilai-nilai universal sepanjang nilai-nilai tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Penerimaan umat Islam terhadap Pancasila ini bersifat final karena telah dikukuhkan oleh ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah dan Persis. [19] Majelis Ulama Indonesia juga secara tegas telah menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara merupakan kesepakatan bangsa Indonesia, termasuk umat Islam Indonesia.[20]

Penerimaan umat Islam terhadap Pancasila ini tidaklah mengurangi sedikitpun akidahnya. Karena Pancasila sebagai ideologi terbuka, memungkinkan bagi umat Islam memaknainya sesuai dengan ajaran agamanya. Misalnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat difahami sebagai terjemahan dari “Allahu al-Wahidu al-Ahad”.

Oleh karena sila pertama ini menjiwai sila-sila yang lain dalam Pancasila, dan sila pertama ini menegaskan religiusitas[21] (agama) sebagai unsur asasi dalam berbangsa dan bernegara, maka agama harus dijadikan sumber hukum, sumber inspirasi, landasan berfikir, dan kaedah penuntun dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berfikir keagamaan dan kerangka berfikir kebangsaan. Setiap muslim dapat menjadi nasionalis sejati tanpa harus menanggalkan keislamannya, dan sebaliknya dapat menjadi seorang muslim yang taat tanpa menanggalkan identitas kebangsaannya.[22]

Dengan pokok pikiran seperti itu sejatinya Pancasila bagi umat Islam sudahlah final atau selesai. Hubungan antara Islam dan Pancasila juga dianggap selesai. Hal ini terbukti diakomodirnya undang-undang yang bernuansa keagamaan, misalnya UU Haji, UU Zakat, UU Perkawinan, dan sebagainya. Terlebih setelah era Reformasi di mana tafsir tunggal terhadap Pancasila tidak diberlakukan lagi dan kelompok masyarakat diberikan keleluasaan mencantumkan asas organisasinya sesuai dengan ideologinya, maka tidak ada alasan lagi untuk menolak Pancasila.

Namun memang harus diakui bahwa pasca era reformasi yang membawa kebebasan yang berlebihan membawa dampak adanya kelompok yang ingin merubah Pancasila, baik yang berasal dari kelompok sekularisme radikal ataupun radikalisme agama. Kelompok sekularisme radikal menginginkan perubahan tafsir terhadap Pancasila. Kelompok sekuler ini menginginkan Pancasila sebagai dasar negara harus dibebaskan dari pengaruh agama, karenanya mereka gigih menolak adanya penyerapan nilai ajaran agama, khususnya Islam, ke dalam sistem hukum nasional, karena dianggap tidak sesuai dengan Pancasila.[23]

Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan nilai dan visi. Tepatnya, lima nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan oleh bangsa Indonesia ketika berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila itu anti agama, atau agama harus disingkirkan dari Pancasila. Karena keberadaan agama itu diakui dan dilindungi serta dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Dengan nilai dan visi ketuhanannya, sebagaimana sila pertama Pancasila, justru arah negara Indonesia bukanlah negara sekular, juga bukan negara Sosialis-Komunis maupun Kapitalis-Liberal. Tetapi sebuah negara yang dibangun berdasarkan nilai dan visi Ketuhanan yang Maha Esa.

Sedangkan kelompok radikalisme agama menginginkan merubah dasar negara ini menjadi negara agama. Tuntutan kelompok radikalis agama ini telah menafikan kesepakatan yang dilakukan oleh para pendiri republik ini. Sebagaimana ajaran Islam, kesepakatan yang telah dilakukan oleh para pendiri republik tersebut juga mengikat kepada umat Islam yang datang setelahnya. Hal ini juga diperkuat oleh berbagai keputusan ormas Islam. Bahkan MUI menyatakan bahwa kelompok yang melanggar kesepakatan tersebut dikategorikan sebagai separatis atau bughat yang wajib diperangi oleh negara.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara merupakan hasil ijtihad para ulama dan pemimpin Islam yang merupakan bagian dari pendiri negara ini, karena itu umat Islam yang lahir setelah itu harus menghormati dan menjaga kesepakatan dan hasil ijtihad tersebut.[24] Negara ini sangat menjunjung tinggi ajaran agama dan memberikan ruang yang sangat lebar kepada umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya. Dalam terminologi Ibnu Khaldun, semangat khilafah sebagaimana dicontohkan oleh al-khulafa ar-rasyidun dapat diperjuangkan untuk diejawantahkan di negara ini, dengan tetap dalam bingkai NKRI dan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara.

Dengan begitu, perjuangan umat Islam di negeri ini lebih pada memasukkan semangat kekhalifahan dengan cara demokratis dan konstitusional, tanpa mengubah bentuk negara dan falsafah serta ideologi bangsa. Setiap upaya mengubah hal itu, apalagi dilakukan dengan cara tidak demokratis dan tidak konstitusional dapat dikategorikan sebagai perbuatan makar yang boleh diperangi.

* Sudarto Murtaufiq, Direktur Global Future Institute (GFI) Jakarta

* Paper disampaikan dalam Halaqah Kepesantrenan dengan Tema “Kontribusi Pesantren dalam Meluruskan Paham Radikalisme dan Terorisme di Indonesia“, di Aula Ponpes Al Mizan Muhammadiyah Lamongan, 07 April 2018

[1] Lihat Brian L. Steed, ISIS: An Introduction and Guide to the Islamic State (California: ABC-CLIO LLC, 2016), 11.

[2] Ibid., 12.

[3] Di antara tokoh yang menolaknya ada tokoh-tokoh Al-Azhar, yang bahkan menyebut kelompok ini “sesat”, Yusuf al-Qaradawi, Rachid Ghannuchi, Assem Baraqawi (anggota Front Nusro yang berafiliasi dengan Al-Qaeda), termasuk Hizbut Tahrir. Lihat Andrea Mura, The Symbolic Scenarios of Islamism: A Study in Islamic Political Thought (London & New York: Routledge, 2015), 207

[4] Adil Rasheed, ISIS: Race to Armageddon (New Delhi: Vij Books India Pvt Ltd, 2015), 94.

[5] M F Elshayyal, Towards a Civic Democratic Islamic Discourse I Islam State and Citizenship (Amman, Al-Quds Center for Political Studies, 2010), 24.

[6] Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah (New York: Free Press, 1968); Bandingan dengan Herdi Sahrasad, Al Chaidar, Islamism and Fundamentalism (Aceh: Universitas Malikussaleh Press, 2012), 24-28

[7] Avi Melamed, Inside the Middle East: Making Sense of the Most Dangerous and Complicated Region on Earth (New York: Skyhorse Publishing, Inc., 2016)

[8] Di antara kelompok di Indonesia yang mendukung gerakan ISIS adalah Ring Banten, Mujahidin Indonesia Timur /MIT, Jamaah Tauhid wal Jihad, Forum Aktivis Syariah/FAKSI – Forum Kajian Dunia Islam/FKDI, Pendukung dan Pembela dAULAH/ppd-Anshorud Daulah, Gerakan Reformasi Islam/GARIS, Asybal Tauhid Indonesia, Kongres Umat Islam Bekasi/KUIB, Umat Islam Nusantara/UIN, dll. Lihat Barry Desker, Cheng Guan Ang, Perspectives on the Security of Singapore: The First 50 Years (Singapore, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2015), 241-2

[9] Jeffrey Ian Ross, Religion and Violence: An Encyclopedia of Faith and Conflict from Antiquity to the Present (London & New York: Routledge, 2011), 11. Lihat juga Nasuh Uslu, Turkish Foreign Policy in the Post-cold War Period (New York: Nova Science Publishers, Inc., 2004), 3.

[10] Lihat Jackson Nyamuya Maogoto, Battling Terrorism: Legal Perspectives on the Use of Force and the War on Terror (New York: Routledge, 2016)

[11] Poltak Partogi Nainggolan (ed), Terorisme dan tata Dunia Baru, Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002), 15.

[12] Walid Phares, Future Jihad: Terrorist Strategies against America (New York: Palgrave Macmillah, 2005), 217

[13] Lihat Mo Natour, The Whole Truth About Islam (Illinois: Econo Publishing, 2016); Roger Boase, Islam and Global Dialogue: Religious Pluralism and the Pursuit of Peace (England: Ashgate Publishing Limited, 2005), 148. Chad V. Meister, The Oxford Handbook of Religious Diversity (New York: Oxford University Press, 2011), 268.

[14] Devin R. Springer, Islamic Radicalism and Global Jihad (Washington, D.C.: Georgetawn University Press, 2009), 143

[15] Ma’ruf Amin, “ISIS: Gerakan Kekhalifahan Global dan Tantangan bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”, Makalah disampaikan pada acara “Seminar Nasional Fenomena ISIS bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil’alamin”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2014.

[16] Ibid.

[17] David Bourchier, lliberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (New York: Routledge, 2015)

[18] Seung-Won Song, “Back to Basics in Indonesia? Reassessing the Pancasila and Pancasila State and Society”, Dissertation, the College of Arts and Sciences of Ohio University, 2008, 308

[19] Benyamin Fleming Intan, “Public Religion” and the Pancasila-based State of Indonesia: An Ethical and Ssociological Analysis (New York: Peter Lang Publishing, Inc., 2008), 99

[20] Ibid.

[21] Religiusitas adalah penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan bukan hanya dalam tataran ritual ceremonial namun juga mencakup aktivitas-aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Lihat Lisa A. Keister, Religion, Work, and Inequality (UK: Emerald Group Publishing Limited, 2012), 159

[22] Ma’ruf Amin, “ISIS: Gerakan Kekhalifahan Global dan Tantangan bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”, Makalah disampaikan pada acara “Seminar Nasional Fenomena ISIS bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil’alamin”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2014.

[23] Ibid.

[24] Diantara ulama dan pemimpin Islam adalah KH Wahid Hasjim (NU), Ki Bagus Hadikoesoemo (Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo (komandan PETA), dan Teuku Hasan (Aceh). Lihat disertasi doktoral Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila di McGill University pada 1995

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru