31.8 C
Jakarta

Mengungkap Tafsir Surah al-Kafirun: Pesan Damai yang Sering Disalahpahami!

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMengungkap Tafsir Surah al-Kafirun: Pesan Damai yang Sering Disalahpahami!
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Tiga hari yang lalu, saya diminta menyampaikan tafsir surah Al-Kafirun kepada masyarakat kampung dalam kegiatan rutin tahlilan di malam Jum’at. Permintaan ini membuat saya berpikir cukup lama karena surah Al-Kafirun dikenal sebagai surah yang sensitif.

Kesalahan dalam menafsirkannya bisa memicu perpecahan hingga konflik di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, saya merasa perlu menyusun penafsiran yang hati-hati agar tetap menjaga esensi pesan dari surah tersebut.  

Surah Al-Kafirun menyampaikan respons Nabi Muhammad SAW terhadap ajakan kerja sama dari kaum musyrik Mekkah untuk saling menyembah Tuhan masing-masing secara bergantian. Nabi dengan tegas menolak tawaran ini karena tauhid, keyakinan akan keesaan Allah, tidak bisa dikompromikan.

Dalam pandangan Nabi, menyekutukan Allah sama halnya dengan membagi cinta kepada Tuhan, seperti halnya poligami yang membagi cinta kepada pasangan. Keyakinan yang kuat ini mendorong Nabi menolak kerja sama dalam hal tauhid.  

Namun, meskipun menolak ajakan tersebut, Nabi tidak menciptakan permusuhan. Sebaliknya, penutup surah Al-Kafirun menekankan pentingnya menghormati perbedaan keyakinan.

Pesan ini mengajarkan bahwa persatuan tidak harus diwujudkan melalui kesamaan akidah, tetapi cukup dengan saling menghormati. Penghormatan ini menjadi klimaks dari esensi surah Al-Kafirun yang sering kali dilupakan, sehingga tafsirnya disalahpahami dan dijadikan dalih untuk menyebarkan kebencian.  

Kesalahpahaman terhadap surah Al-Kafirun sering muncul dalam dakwah kelompok radikal. Mereka cenderung mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan pemahaman atau keyakinan.

Sikap ini jelas berbahaya karena lebih mengedepankan subjektivitas dibandingkan objektivitas. Kelompok radikal mengukur kebenaran hanya dari sudut pandang mereka sendiri tanpa mencoba memahami perspektif orang lain. Hal ini memunculkan polarisasi dan perpecahan dalam masyarakat.  

Klaim kafir yang dilontarkan kelompok radikal sebenarnya adalah bentuk pembatasan identitas. Mereka ingin menunjukkan bahwa orang di luar kelompok mereka adalah musuh yang harus dikucilkan dan diserang. Lebih parahnya lagi, tindakan kekerasan terhadap pihak yang mereka anggap kafir sering kali disebut sebagai jihad. Narasi seperti ini tidak hanya keliru secara teologis tetapi juga menodai nilai-nilai luhur Islam.  

Padahal, jihad yang sebenarnya jauh dari kekerasan. Jihad merupakan upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri, lingkungan, dan masyarakat. Dalam Islam, jihad adalah proses transformasi, mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik dan sesuatu yang baik menjadi lebih baik. Prinsip dasar jihad adalah cinta, bukan kebencian atau hawa nafsu. Dengan cinta, jihad menjadi jalan untuk menyentuh hati manusia dan menuntunnya kepada kebaikan.  

BACA JUGA  Pesan Nabi yang Mengguncang Dunia: Solusi Ampuh Melawan Kekerasan dan Terorisme!

Nabi Muhammad SAW memberikan teladan tentang bagaimana jihad dilakukan dengan cinta. Saat berdakwah di Mekkah dan Madinah, Nabi tidak pernah menggunakan kekerasan, meskipun sering kali dihadapkan pada perlakuan kasar dari kaum musyrik.

Nabi memilih pendekatan yang lembut, penuh kasih sayang, sehingga banyak hati yang tersentuh dan menerima Islam. Kisah Sayyidina Umar dan Siti Khadijah menjadi bukti nyata kekuatan cinta dalam jihad yang Nabi lakukan.  

Sikap Nabi ini berbanding terbalik dengan cara kelompok radikal yang mengatasnamakan jihad untuk tindakan terorisme. Mereka mengklaim paling benar, paling Muslim, dan menganggap orang lain kafir. Padahal, jika dibandingkan dengan cara Nabi berdakwah, tindakan mereka jauh menyimpang. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: mereka meniru siapa dalam berdakwah? Apakah mereka mengikuti Nabi atau justru meneladani setan?  

Manusia yang mengikuti hawa nafsunya, seperti digambarkan dalam Al-Quran, bahkan lebih hina daripada binatang. Binatang tidak memiliki akal, tetapi tetap hidup dalam keseimbangan dan kasih sayang terhadap sesamanya.

Sebaliknya, manusia yang melupakan akal sehatnya justru melakukan kerusakan, mengadu domba, dan menciptakan permusuhan. Kelompok radikal termasuk dalam kategori manusia yang dikhawatirkan malaikat saat awal penciptaan manusia di muka bumi.  

Penting bagi kelompok radikal untuk mengevaluasi pemahaman dan cara mereka berdakwah. Dakwah yang benar harus mencerminkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu membawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam. Jika kelompok ini terus dibiarkan, kerusakan yang mereka timbulkan akan semakin meluas, menciptakan kebencian dan konflik yang sulit diatasi.  

Sebagai umat Islam, kita juga harus berhati-hati dalam memahami dan menyampaikan pesan surah Al-Kafirun. Tafsir yang benar tidak boleh melukai hati orang lain atau menciptakan permusuhan. Tafsir harus mengedepankan kebijaksanaan dan kesantunan, sesuai dengan ajaran Nabi. Dalam konteks ini, menghormati perbedaan keyakinan menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan.  

Sebagai penutup, surah Al-Kafirun mengajarkan kita untuk tegas dalam keyakinan namun tetap menghormati keyakinan orang lain. Tafsir yang benar akan membawa pesan perdamaian, bukan kebencian. Bukankah Allah mencintai perdamaian dan membenci permusuhan di antara manusia? Mari kita jadikan pesan ini sebagai prinsip dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru