29.1 C
Jakarta

Menguji Moderasi Beragama dengan Nilai Islam Washatiyyah sebagai Resolusi Konflik Antarumat Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenguji Moderasi Beragama dengan Nilai Islam Washatiyyah sebagai Resolusi Konflik Antarumat Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dewasa ini permasalahan konflik antarumat beragama di Indonesia dari hari ke hari semakin menunjukan keberagamaan yang eksklusif. Kasus intoleransi agama mengalami peningkatan, dimulai dari hal kecil, seperti prasangka dan stereotipe, hingga intoleransi represi, pencegahan secara paksa terhadap penikmatan Hak Asasi Manusia. Lebih parahnya intoleransi agama ini berujung pada penghancuran, seperti tempat ibadat.

Pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (violation of right to freedom of religion or belief) memiliki dampak besar terhadap keharmonisan bangsa Indonesia. Konflik antar umat beragama sebenarnya adalah konflik yang wajar terutama di negara yang plural dengan memiliki kemajemukan agama. Akan tetapi, konflik intoleransi agama yang sudah melakukan penghancuran tentu akan membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekstrem (ekslusif), bukan pada ajaran agamanya. Dalam teori fungsional Emile Durkheim bahwa agama justru memiliki fungsi sosial, yakni menjadi wadah dalam menyatukan masyarakat (integrating) dalam suatu tatanan moral yang berlandaskan pada konsensus, solidaritas dan ikatan sosial. Agama berperan penting dalam membangun keteraturan (order) dan stabilitas sosial masyarakat.

Agama sebagai fungsi perekat sosial dan bukan sebagai penyebab konflik juga diperkuat oleh tesis dari Karen Amstrong seorang ahli sejarah agama. Menurutnya, kekerasan (violent) sepanjang sejarah umat manusia sangat sedikit yang disebabkan murni karena agama. Konflik antar umat agama terjadi karena adanya konspirasi-konspirasi politik dan kepentingan dari kaum agamawan.

Hal ini dapat dilihat dari problematika borjuis dan proletar pada masa Karl Marx. Filsuf dan sosiolog agama itu menyebutkan bahwa agama dijadikan legitimasi untuk mempertahankan status quo atau kekuasaan dari kelompok borjuis.

Dengan melihat banyaknya kasus intoleransi agama karena sikap yang berlebihan dalam beragama (eklusif), tentu penting untuk mengkampanyekan dan menanamkan moderasi beragama. Moderasi beragama memiliki urgensi dalam resolusi konflik antar umat beragama dan penguatan kembali ideologi pancasila.

Moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah (tawasuth), bertindak adil (al-adl), dan tidak ekstrem baik kanan atau kiri dalam beragama (Kementerian Agama, 2019). Pada dasarnya, moderasi beragama ini bertolak pada fakta keragaman di masyarakat yang menjadi sebuah keniscayaan (sunatullah).

Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan, terutama keterbukaan dalam pemikiran keagamaan (inklusivisme).  Sayyed Hossein Nasr, salah seorang penggagas islamisasi ilmu pengetahuan bersama Ismail Raji al-Faruqi dan M. Naquin al-Attas, dalam bukunya Islam: Religion, History, and Civilizitation mengatakan bahwa keragaman pemikiran dalam Islam sebagai sebuah keniscayaan sejarah.

Sebagai seorang beragama, meyakini bahwa agama yang diyakini sebagai paling benar adalah hak setiap individu (followers). Akan tetapi, meyakini suatu hal paling benar, tidak berarti harus melecehkan keyakinan orang lain atau bersikap arogan dan superioritas. Dalam hal ini meminjam bahasa Cak Nur bahwa kebenaran manusia adalah “t” (truth kecil) bersifat relatif dan nisbi. Sedangkan “T” (truth besar) adalah kebenaran yang al-haqq, mutlak dan absolut, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, sebaiknya dalam beragama lebih menekankan sikap moderat dan inklusif.

Pada hakekatnya, ketika seorang sudah beragama (being religious) akan mampu menekan egoisme dan membangun harmoni dengan yang berbeda (interreligious). Sehingga akan terjadi persaudaraan, persatuan dan kerja sama sesuai apa yang pernah dicontohkan Rasulullah dalam piagam madinah.

Konsep moderasi beragama ini juga termaktub dalam UUD 1945, yakni pasal 28 E. “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih perkerjaan, memilih kewarganegaraan dan tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya serta berhak kembali (1). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (2).”

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Moderasi beragama dalam Islam disebut sebagai Islam washatiyyah. mengacu pada nilai-nilai Islam wasathiyyah (NISWA). Menurut Direktorat GTK Kementerian Agama, NISWA paling tidak mencakup nilai; tasamuh (toleransi), tawassuth (mengambil jalan tengah), tawazun (seimbang), i’tidal (lurus dan tegas), aulawiyyah (mendahulukan yang utama atau prioritas), musawah (egaliter), syura (musyawarah), qudwatiyyah (kepeloporan), muwathanah (nasionalisme), ishlah (konstruktif), ibtikar (inovatif, kreatif), tathawwur (dinamis), dan tahadlur (keadaban publik).

Tasamuh artinya setiap individu harus mempunyai sikap toleransi (respecting) terhadap yang berbeda. Sikap toleransi ini menjadi kunci penting untuk menciptakan keharmonisan dalam kemajemukan beragama dengan menerima (accepting) dan merayakan (celebrating) keberagaman. Untuk terciptanya nilai toleransi ini perlu memiliki sikap tawassuth, yaitu sikap yang dapat mengambil jalan tengah (al-adl). Kemudian, tawazun merupakan sikap seimbang. Dalam hal ini diharapkan masyarakat Indonesia mempunyai pandangan yang ”multiperspektif” sehingga menjadi orang yang bijak (arif).

Nilai i’tidal adalah sikap yang lurus dan tegas. Sikap ini juga penting untuk ditanamkan  supaya tidak mudah “goyah” atau terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman yang menyesatkan. Selanjutnya, nilai aulawiyyah merupakan kemampuan untuk mendahulukan prioritas tentang mana yang harus didahulukan. Prioritas ini tentunya adalah keputusan bersama dan tidak egois.  Menurut Stephen R. Covey, orang yang mempunyai budaya unggul salah satunya ialah mempunyai sikap “mendahulukan yang utama” dan jelas ini terkait dengan aulawiyah.

Nilai selanjutnya yang sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah musawah (kesetaraan). Setiap individu “equal before God” sama dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah ketakwaan (Q.S. Al Hujurat:13). Dalam hadis Rasulullah pernah mengingatkan sesungguhnya Allah tidak akan melihat kamu dari wajah dan fisik namun Allah melihat kamu sekalian dari hati dan amal.

Oleh karena itu, sikap musawah ini harus diaplikasikan juga dalam melihat semua manusia secara egaliter. Sehingga tercipta saling memahami (understanding) dan tidak akan ada namanya diskriminatif.

Nilai syura terkait dengan kemampuan bersikap demokratis terhadap perbedaan dan keragaman pandangan. Setiap adanya persoalan yang menyangkut secara keseluruhan harus dilakukan dengan musyawarah. Sikap musyawarah ini tentu sudah tidak asing bagi kita sebagai orang Indonesia, karena Indonesia dapat mencapai kemerdekaan salah satunya dengan sikap para “founding father” yang selalu bermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Kemudian qudwatiyyah merupakan kemampuan untuk menjadi pelopor, terutama pelopor hidup yang damai.

Selanjutnya, nilai muwathanah yang merupakan sikap nasionalisme. Nilai ini adalah nilai yang urgent untuk penguatan kesadaran ideologi pancasila. Cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan min’al iman). Kemudian ishlah dan ibtikar, yaitu nilai konstruktif dan inovatif untuk membangun keharmonisan dan memajukan peradaban. Terakhir tathawwur dan tahadlur, yaitu sikap dinamis dan keadaban publik.

Di era serba teknologi saat ini penting untuk bersikap  dinamis yang dapat menyesuaikan keadaan dan tetap menjaga etika dan moral dalam kehidupan publik, baik di media sosial maupun dunia nyata.

Moderasi beragama memiliki peran ganda terutama dalam penyelesain permasalahan di Indonesia. Sikap moderasi beragama dengan pengejewantahan nilai-nilai Islam washatiyyah adalah hal yang esensial sebagai upaya resolusi konflik antar umat beragama dan penguatan kembali ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Moderasi ini adalah ajaran yang tidak hanya mementingkan hubungan baik kepada Allah, tetapi juga yang tak kalah penting adalah hubungan baik kepada seluruh manusia “wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”.

Fajar Dwi Noviantoro
Fajar Dwi Noviantoro
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pegiat Pendidikan di Rumah Kearifan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru