31 C
Jakarta
Array

Menguak Ideal Moral Fazlur Rahman Dibalik Ayat Iddah

Artikel Trending

Menguak Ideal Moral Fazlur Rahman Dibalik Ayat Iddah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Teori double movement yang digagas Fazlur Rahman merupakan sumbangsi gagasan pemikirannya yang bisa dikatakan sangat monumental meski disisi lain mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan melihat konteks historis dan memahami teks dan maknanya, kemudian yang menjadi titik fokus Rahman menitikberatkan ideal moral, dengan memperhatikan sisi etika atau mempertimbangkan konteks yang menyesuiakan perkembangan zaman.

Berbicara mengenai Iddah secara bahasa yang berarti menghitung sesuatu dalam hal ini yang dimaksudkan adalah ketika telah bercerai dengan suami, dimana seorang wanita jika ingin menikah lagi harus menunggu beberapa bulan sesuai dengan yang telah ditentukan, yang mencapai batas suci, kewajiban terkait Iddah juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis hanya saja ada beberapa perdebatan dalam pemberlakuan masanya. Tapi disini akan dibahas lebih kepada sisi ideal moral disyariatkannya Iddah.

Kontekstualisasi Ayat ‘Iddah QS. At-Thalaq: 1 (aplikasi teori double Movement Fazlur Rahman)

Berdasarkan analisis konteks historis mengenai ‘iddah yang terdapat dalam QS. A-Thalaq:1, apabila dikontekstualisasikan dengan era kontemporer antara lain:

Pertama, konsep ‘iddah pada masa kini tergantikan dengan adanya Illat tes DNA pada kehamilan seorang perempuan. Kemajuan teknologi yang canggih dalam dunia kedokteran mampu mendeteksi ayah kandung dari si bayi secara akurat dengan tempo yang relatif singkat. Selain itu, muncul teknologi yang mampu merekam sidik jari seseorang. Dalam kasus ini dapat digunakan untuk mendeteksi sidik jari tersangka yang menjadi pemicu rusaknya rumah tangga seseorang.

Kedua, konsep ‘iddah yang bertujuan untuk mengagungkan perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizan). Konsep ‘iddah yang dipahami dalam paradigma klasik ketika melihat konteks historis akan memunculkan pandangan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Konsep ‘iddah hanya mengikat perempuan sedangkan setelah talak, laki-laki tidak memiliki beban masa menunggu dan bebas memilih perempuan lain untuk dinikahi. Dengan melihat rentang masa ‘iddah yakni 4 bulan 10 hari, jika ditarik menggunakan konsep pernikahan maka akan memunculkan suatu pandangan bahwa adanya masa menunggu setelah perceraian menjadi tujuan dari ‘iddah.

Sebagaimana Ad Dahlawi dalam menjelaskan bahwa tujuan dari adanya ‘iddah di antaranya yakni untuk mengagungkan pernikahan. Sebab ketika usai perceraian tidak ada rentang masa ‘iddah, maka sama halnya akad pernikahan sebanding dengan permainan belaka[1].

Ketiga, mengurangi angka perceraian. Adanya rentang masa ‘iddah memberi ruang untuk kedua belah pihak antara suami dan isteri saling interopeksi diri. Setelah Pengadilan Agama resmi memutuskan perceraian antara kedua belah pihak, maka pada saat itulah perempuan telah memulai masa ‘iddahnya. Dalam teori kesetaraan gender, konsep ‘iddah juga berlaku bagi kaum laki-laki. Lamanya masa ‘iddah bagi laki-laki yakni sama halnya dengan perempuan yaitu 4 bulan 10 hari.

Adanya konsep ini menjadi penghalang bagi laki-laki yang ingin menikah usai perceraian berlangsung, sedangkan istri harus menanggung masa iddah. Sebaliknya, adanya rentang masa iddah akan memberi ruang untuk kedua belah pihak untuk rekonsiliasi memperbaiki hubungan pernikahan. Selama rentang masa iddah, suami istri dapat rujuk kembali.

Keempat, sebagai upaya protektif agar tidak terulang kembali. Perceraian yang terjadi dalam dalam rumah tangga akan memberi dampak pada kedua belah pihak suami istri. Beban moral dan psikologi akan terbawa ketika akan membina rumah tangga yang baru. Hal ini menjadi indikasi perlunya konsep ‘iddah dalam pernikahan. Analogi dari ‘iddah yakni masih tersedianya rentang waktu bagi perempuan untuk berfikir dan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang ketika akan membina rumah tangga kembali.

Tanpa adanya masa ‘iddah, maka tidak tersedia ruang bagi perempuan untuk berkontemplasi, memikirkan kembali dan mencari kepastian untuk membina rumah tangga baru yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Dengan kata lain memberikan kesempatan antara suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, jika keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu

Kelima, indonesia adalah negara hukum, yang mana ketika perceraian dilakukan tidak sekedar ucapan begitu saja, akan tetapi ada prosedur yang harus dilalui setelahnya, yaitu melalui pengadilan, sehingga mengapa ada masa iddah yang diberlakukan. Jika tidak terikat dengan hukum maka kemungkinan orang-orang berpotensi untuk mempermainkan pernikahan sesuka hatinya pada akhirnya menciderai hakikat dari substansi pernikahan itu sendiri yang kita sering sebut sakinah mawaddah warahmah

[1]Muhammad Isna Wahyudi, Fiqh Iddah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), hlm.147.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru