27.7 C
Jakarta
spot_img

Mengoptimalisasi Kontra-Khilafah HTI di Tengah Minimnya Anggaran, Mungkinkah?

Artikel Trending

Milenial IslamMengoptimalisasi Kontra-Khilafah HTI di Tengah Minimnya Anggaran, Mungkinkah?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pemerintahan Indonesia tengah berada di persimpangan yang pelik. Satu sisi, instruksi Presiden Prabowo Subianto melalui Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran telah memaksa berbagai kementerian dan lembaga (K/L) untuk memangkas belanja mereka secara signifikan. Di sisi lain, ideologi transnasional yang HTI propagandakan terus mengintai, mencoba bangkit kembali di tengah gejolak sosial-politik tanah air.

Pertanyaannya, dalam situasi anggaran yang semakin terbatas, bisakah negara tetap optimal menangkal narasi khilafah yang digaungkan HTI itu? Ini susah dicari jawabannya. Yang jelas, secara logika, jawabannya tidak. Perpusnas saja kemarin langsung tutup hari Minggu dan meminimalisasi pelayanan. Beberapa K/L lain bahkan bertindak lebih ekstrem: mogok kerja. Minimnya anggaran telah jadi momok menyeramkan dalam berbagai sektor.

Efisiensi anggaran versus ancaman transnasionalisme, begitu bahasa yang ramai hari-hari ini. Pemangkasan anggaran yang mencapai Rp300 triliun telah menimbulkan dampak riil pada kinerja berbagai K/L. BNPT, misalnya, mengalami pemotongan anggaran hingga 70%, dari sekitar 600 miliar rupiah menjadi hanya 200 miliar rupiah. Imbasnya langsung terasa: Pusat Media Damai (PMD) BNPT, yakni platform jalandamai.org, terpaksa berhenti beroperasi.

Bayangkan, website yang selama ini jadi sumber informasi alternatif untuk melawan radikal-terorisme kini tak lagi aktif, entah untuk sementara atau selamanya. Padahal, jalandamai.org paling persisten dengan kontennya, bahkan baru saja launching e-journal PMD. Dan penting dicatat juga, BNPT itu koordinator dalam penanggulangan terorisme. Ibaratnya, kalau ketua kelasnya saja sudah lesu, apalagi yang lain, yakni media-media non-afiliasi ini? Pasti, keadaannya lebih parah.

Tak hanya BNPT, Kemenag juga diminta menghemat anggaran hingga 14 triliun rupiah. Padahal, Kemenag itu punya peran strategis membendung narasi-narasi keagamaan yang disalahgunakan para radikalis. Pemangkasan jelas berdampak pada pelayanan publik, yang kini terasa semakin tersendat. Media Tempo, dalam tayangan Bocor Alus-nya, bahkan menyebut efisiensi anggaran kali ini mencapai titik yang ‘tidak rasional’, karena mengurangi kinerja dan efektivitas lembaga negara.

Kebangkitan HTI: Momentum yang Tepat?

Pendek kata, HTI sedang berusaha bangkit. Beberapa hari lalu, mereka menggelar aksi demonstrasi dengan kedok solidaritas Palestina. Namun, narasi yang mereka usung tetap sama: khilafah. Kendati telah dibubarkan pemerintah pada 2017 lewat Perppu Ormas karena anti-NKRI, mereka belum kehilangan taringnya. Para aktivis HTI terus mencari celah diseminasi ideologi, utamanya di tengah semrawut sosial-politik dan ekonomi di tanah air.

Aksi HTI kemudian menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemangkasan anggaran signifikan yang pemerintah lakukan justru memberi ruang bagi HTI untuk semakin semarak? Apakah negara, dengan anggaran yang semakin terbatas karena fokus pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), masih mampu menjaga efektivitas menangkal narasi-narasi yang bertentangan dengan Pancasila? Jika tidak, maka jelas, hari ini dipandang HTI sebagai momen yang tepat untuk bangkit.

BACA JUGA  Tahun Baru 2025: Apa yang Harus Kita Waspadai Ihwal Radikal-Terorisme di Indonesia?

Pemangkasan anggaran memang kerap dipandang perlu dalam situasi ekonomi yang tak menentu. Namun, ketika hal itu menyentuh sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan keamanan nasional dan stabilitas masyarakat, konsekuensinya bisa sangat berbahaya. Sebagai contoh, BNPT bertugas menangani terorisme secara fisik (hard approach) dan memerangi radikalisasi dengan pendekatan persuasif (soft approach) seperti deradikalisasi dan kontra-narasi.

Semua itu butuh biaya! Dan dengan anggaran yang dipangkas drastis, kemampuan BNPT untuk menjalankan fungsi-fungsinya jelas terhambat. Hambatan dimaksud tentu bukan karena alasan pragmatis, tetapi realistis. Pada saat yang sama, HTI tidak perlu mengandalkan anggaran negara untuk menyebarkan paham mereka.

Mereka bergerak melalui jaringan yang sudah terbangun, memanfaatkan medsos, dan menggalang dana dari para simpatisannya yang notabene masyarakat kelas menengah: dari artis hingga pengusaha. Ketidakseimbangan tersebut lantas menciptakan situasi yang dilematis: negara, dengan sumber daya terbatas, harus berhadapan dengan kelompok yang memiliki fleksibilitas dan militansi tinggi? Jujur saja, susah. HTI akan benar-benar memanfaatkan peluang itu.

Optimalisasi Tanpa Anggaran, Bisakah?

Bisakah negara tetap optimal menangkal HTI di tengah minimnya anggaran? Jawabannya: tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Pertama, pemerintah perlu memprioritaskan alokasi anggaran yang tersedia untuk program yang benar-benar strategis. Misalnya, pemerintah bisa mencari cara untuk mengoptimalisasi kinerja BNPT tersebut dengan biaya yang super efisien, memanfaatkan relawan atau kerja sama dengan ormas sipil yang non-profit.

Kedua, pemerintah perlu menguatkan kolaborasi dengan akademisi dan ormas Islam moderat. Gerakan kontra-narasi khilafah HTI tak harus selalu bergantung pada anggaran negara. Civil society juga bisa menjadi kekuatan signifikan dalam kontra-propaganda HTI. Misalnya, NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar itu punya jaringan luas dan pengaruh kuat di tataran grassroot. Kolaborasi dengan mereka bisa jadi solusi jitu melawan HTI. Harusnya bisa.

Ketiga, pemerintah perlu memanfaatkan medsos secara efektif. HTI sangat aktif di dunia maya, punya banyak influencer dengan ratusan ribu followers, dan negara harus mampu bersaing di arena yang sama. Dengan anggaran terbatas, pemerintah bisa fokus pada kampanye digital yang tepat sasaran, menggunakan konten kreatif yang mampu menarik perhatian generasi muda. Catatannya satu: semua itu perlu dilakukan serius, bukan dalam paradigma ‘formalitas program’ belaka.

Intinya, efisiensi anggaran memang penting, tetapi tak juga boleh mengorbankan keamanan nasional. Ancaman HTI bukan persoalan remeh-temeh. Di tengah anggaran yang semakin terbatas, pemerintah mesti berpikir out of the box agar tetap optimal dalam menangkal narasi para propagandis khilafah. Namun, pertanyaannya sekarang: apakah pemerintah memiliki political will ke arah itu? Jika jawabannya ‘tidak’, maka tanggung sendiri akibat buruknya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru