31.4 C
Jakarta
Array

Mengobati Luka Bangsa

Artikel Trending

Mengobati Luka Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Suasana kebatinan kebangsaan Indonesia terlihat murung dan suram. Tenun kemajemukan yang selama ini tersulam rapi dan terlihat indah mulai sedikit robek disana-sini, Indonesia yang dilahirkan diatas semua golongan, agama, suku, ras yang tercermin dalam 5 meja statis bernama Pancasila sebagai Ideologi negara.

Sejarah panjang negeri ini dengan segala hiasannya sudah mengajarkan kita  bagaimana cara merawat dan memupuk nilai-nilai kehidupan bernegara dan berbangsa. Tapi nilai-nilai itu perlahan mulai memudar dengan semakin gencarnya gerakan radikalisme dan terorisme. Indonesia kini mengalami luka yang sulit untuk diobati,luka yang jika didiamkan semakin lama bisa membunuh bangsa ini secara perlahan.

Paham dan gerakan ekstrem yang berakar dari radikalisme dan terorisme masih gencar dihembuskan oleh kelompok tertentu yang tidak menginginkan Indonesia hidup dalam harmoni kemajemukan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius dari berbagai elemen bangsa untuk menutup derasnya radikaslisme dan terorisme yang memanfaatkan keran demokrasi di Indonesia.

Tampaknya, sebagian besar masalah ditimbulkan oleh kekaburan dalam melihat hubungan agama, Pancasila, dan negara. Jika dicermati secara seksama gerakan Radikalisme dan Terorisme selalu disandarkan pada dalil teks keagamaan dengan tafsir dan kebenaran tunggal oleh kelompok-kelompok tertentu.

Syafi’i Ma’arif (2009), menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan munculnya gerakan dan semkin suburnya gerakan radikalisme dan terorisme. Pertama, adalah kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk “menghibur diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Kedua, adalah dorongan rasa kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Kashmir, dan Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara mewujudkan cita-cita Pancasila terutama sila ke-5 berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata.

Radikalisme atas nama agama ini tidak jarang kemudian menimbulkan konflik sampai pada puncaknya, yaitu terorisme dalam taraf membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Pada akhirnya, radikalisme ini menyebabkan peperangan yang justru menimbulkan rasa tidak aman. Pada taraf terendah, radikalisme sampai mengganggu keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Klaim “sesat”, “bid’ah”, dan “kafir” bagi kalangan yang tidak sependapat dengannya membuat masyarakat menjadi resah. Ironisnya, keresahan tersebut dianggap sebagai tantangan dakwah oleh kaum radikalis.

Terorisme selalu berawal dari radikalisme. Radikalisme dalam konteks sebab memahami teks dan norma agama secara dangkal. Radikalisme dalam konteks sebab terjebak pada situasi politik dan hegemoni Barat. Radikalisme dalam konteks sebab tidak puas dengan kinerja pemerintah dan ingin mengadakan revolusi secara besar-besaran.

Rasa memiliki dan mencintai Nusa-Bangsa harus tercermin dari kesanggupan untuk merawat persatuan dalam keragaman. Kebangsaan Indonesia mencerminkan suatu persatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru (Yudi latif, 2011).

Nama Indonesia sebagai proyek “nasionalisme politik” (political nationalism) memang baru diperkenalkan sekitar 1920-an. Tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakar pada tanah air beserta unsur-unsur sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di Nusantara (Yudi Latif, 2017). Semangat persatuan dalam keragaman itu dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kata Bung Karno, sebenarnya Pancasila adalah pendirian hidup bangsa yang sudah tumbuh dan menjadi bagian dari spiritualitas bangsa. Oleh karena itu, siapapun mereka yang terus mempertentangkan Pancasila dan Islam sebenarnya telah menunjukkan ketidakpahamannya tentang apa itu Pancasila dan apa nilai-nilai Islam sebagaimana telah dijabarkan dalam Al Quran.

Obat Penawar Luka

Kini saatnya semua lapisan harus bersama-sama, bergotong royong untuk mengobati luka bangsa ini, luka karena radikalisme dan terorisme. Negara ini harus terus berdiri tegak sebagaimana kata Soekarno bahwa negara ini didirikan bukan hanya untuk satu atau dua hari, tapi bilamana diinginkan untuk selama-lamanya.

Nasioalisme bisa menjadi obat penyembuh bagi luka karena radikalisme dan terorisme. Kecintaan kepada tanah air sebenarnya menjadi fitrah setiap manusia, bahkan KH. Hasyim Asy’ari sampai mengeluarkan Resolusi Jihad bahwa cinta terhadap tanah air merupakan sebagian dari iman, resolusi yang menjadi cikal bakal meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya.

Pemaknaan semangat nasionalisme Indonesa mungkin akan berbeda dengan makna nasionalisme negara-negara tertentu. Nasionalisme Pancasila mengandung penegasan bahwa Indonesia tidak menganut paham nasionalisme yang picik, melainkan nasionalisme yang luas. Pendapat seperti sebenarnya selaras dengan pelbagai anasir pemikiran internasional, seperti konsepsi kemanusiaan universal dalam agama-agama serta gerakan sosialisme abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Bahkan Soekarno juga terinspirasi oleh Mahatma Gandhi yang pernah mengatakan bahwa “My nationality is humanity”.

Mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara utuh akan bisa kembali merekatkan tenunan kebangsaan karena Pancasila sejatinya sebagai alat pemersatu semua. Pancasila bukan merobek persatuan tetapi justru dengan Pancasila bangsa ini kembali merekatkan ikatan-ikatan yang mulai longgar, ibarat sapu lidi jika tidak diikat akan berserak, sapu lidi kalau diikat akan menjadi kuat. Dan ikatan yang kuat itu bagi Indonesia tiada lain adalah Pancasila.

Selain semangat nasionalisme dan pengamalan Pancasila, banyak cara yang bisa dilakukan untuk membendung gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia diantaranya dengan kajian terhadap bentuk negara, menceritakan kembali mengenai perjuangan para pahlawan dan ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kajian terhadap hubungan Islam dengan konstitusi, dan kajian mengenai sahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus diintensifkan serta berpegang teguh pada PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Dasar 1945).

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwa “menjadi Indonesia sejati berarti menjadi manusia yang Pancasilais”.

*Bahrur Rosi, Alumni Pondok Pesantren Sumber Bungur Pakong.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru