29.1 C
Jakarta

Mengkaji Ulang Relasi Agama dengan Negara

Artikel Trending

KhazanahOpiniMengkaji Ulang Relasi Agama dengan Negara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Relasi antara agama dengan negara memang menarik untuk dikaji ulang. Apalagi bila dihadapkan kalangan teman-teman kelompok Islam tertentu yang menyebut negara yang sedang berdiri ini merupakan negara yang kafir dan thaghut. Pendapat demikian memang mencul tidak begitu saja. Di dalamnya terdapat ambisi yang besar untuk merubah sistem negara menjadi negara Islam.

Apakah dalam Islam menyebutkan secara eksplisit atau implisit terkait negara Islam? Islam tidak pernah menyebut tentang bentuk negara Islam. Namun memang dulu Nabi pernah membentuk negara Madinah yang bersendikan Piagam Madinah. Piagam Madinah pun berisi kesepakatan bersama di antara penduduk Madinah yang cukup plural. Yang terdiri dari berbagai suku dan agama.

Pemaksaan bentuk negara dengan jalan kekerasan hingga menghilangkan nyawa pun jadi tumbal. Apakah memaksakan kehendak dengan jalan kekerasan dengan tujuan atau motif agama dapat dibenarkan? Kalau Gus Dur pernah menyatakan dalam sebuah tulisannya, bila perbedaan pendapat itu merupakan hal yang wajar. Namun pertentangan itu yang dilarang dalam Islam.

Bentuk negara ini sudah final atas konsensus founding father negara ini. Konsensus ini tidak hanya dari satu pihak atau golongan semata. Namun terdiri dari berbagai pihak atau golongan untuk menentukan bentuk negara kita. Meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, namun juga tidak bertentangan dengan Islam.

Pancasila misalnya dapat diterima sebagai dasar negara atau ideologi negara, selain mengakomodir berbagai macam keragaman juga menjadi falsafah dan pandangan hidup di negeri ini, juga kalau kita telaah medalam tak bertentangan dengan Islam. Bahkan sangat Islami.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila kalau kita mau melihat dalam kacamata Islam tentu selaras. Tidak terdapat kontradiksi. Gus Dur dalam buku Islam Kosmopolitan menyebut bila terjadi penyelewengan atau kesalahan dalam tubuh pemerintah tak seharusnya bentuk negara yang diganti. Menurut penulis, perlu perbaikan secara teknis dalam pemerintahan, namun bukan bentuk negara.

Masih dalam buku Gus Dur, ‘objektivitas ilmiah’ menunjuk pada kontra revolusioner yang dimainkan lembaga keagamaan sepanjang sejarah, karena tidak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya. Sikap revolusioner yang mungkin tumbuh di dalamnya hanyalah akan bersifat temporer belaka, hingga kekuasaan berada di tangannya.

Di saat itulah watak sebenarnya ‘perjuangan revolusioner’ kaum beragama akan menunjukkan wajah aslinya yang sama serakahnya dengan kekuatan lain yang tidak bermotifkan aspirasi keagamaan, kalau harus mempertahankan kekuaasaan yang dinikmatinya sendiri.

Dalam hubungannya dengan negara, agama seharusnya sebagai komplementer. Memang agama tidak dijadikan institusi formal sebagai kepanjangan tangan Tuhan di bumi. Namun orang bebas beragama secara bebas dan nyaman. Nilai-nilai agama tercerminkan dalam kehidupan berbangsa dan bernagara. Meskipun tidak diformalkan.

BACA JUGA  Film 13 Bom di Jakarta, Bukti Terorisme Itu Brutal dan Tidak Boleh Terulang

Menurut Gus Dur, formalitas hukum Islam, formalitas keadilan dan formalitas demokrasi, yang semuanya merupakan perwujudan hak-hak asasi manusia yang bersederajat dan berkedudukan sama. Tapi gerakan Islam pada umumnya baru tersentuh oleh aspek-aspek ornamental belaka dari pelaksanaan agama samawi itu.

Gus Dur juga menguraikan bila NU menolak kehadiaran “Negara Islam Indonesia” yang didirikan Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk itulah dikukuhkan kedudukan kepala Negara Republik Indonesia menjadi waliyyul amri dharuri bi syaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan yang didominir ulama NU.

Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan, kerena telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fikih.

Namun kekuasaannya tetap harus efektif, karena ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasannya itu, ia berwenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada Menteri Agama.

Penulis sependapat dengan Gus Dur, bila sepanjang mayoritas penduduk Indonesia tidak terpengaruh terkait negara Islam atau gerakan untuk revolusioner bermotif agama, selama itu juga tidak perlu khawatir atau cemas berlebihan. Memang suara mereka lantang walaupun hanya mewakili minoritas.

Negara Islam hanya utopis belaka. Sangat indah untuk dimimpikan, tapi pada kenyataannya tidak cocok dengan kondisi saat ini. Terdapat janji-janji indah peradaban yang begitu ideal untuk diimpikan tapi pada kenyataan justru ditegakkan dengan darah. Pertanyaannya apakah relevan menyebut kata jihad sebagai motif untuk memobilisasi massa yang justru menimbulkan perpecahan dan konfrontasi.

Bukankah sepanjang umat Islam mendapat tempat untuk mengamalkan ritus dan ajaran keagamaan dengan bebas, apakah patut kiranya kita menuduh negara ini kafir dan thagut? Negara kita bukan lagi dalam kondisi terjajah dan terzalimi, seperti pada saat penjajahan dan pendudukan Portugis, Belanda atau Jepang. Jihad atas apa?

Negara kita memang bukan negara Islam, namun juga bukan negara sekuler. Di dalamnya umat Islam dengan leluasa menjalankan ajaran agamanya. Tentu kajian tentang ini harus segera dilakukan dengan lebih serius dan lebih luas.

Ahmad Solkan
Ahmad Solkan
Penulis lepas, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru