26.9 C
Jakarta

Mengikis Sisi Gelap Pejuang Syariat

Artikel Trending

Milenial IslamMengikis Sisi Gelap Pejuang Syariat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Fenomena pejuang syariat kembali bergelora dalam satu dasawarsa ini. Mereka membidik sesuatu yang menurut mereka tersimpul dalam Alqur’an dan Sunah. Jika tidak ada di nash kedua itu, maka tak patut diperjuangkan.

Bahkan, kebudayaan lama yang dibawa Walisongo, dan kini sudah terpatri dan bersimfoni dalam kehidupan masyarakat, sering dicap sesat. Apalagi, rumusan-rumusan kebijakan dari otoritas, bila tidak pas dengan mereka, divonis melanggar syariat.

Atas obsesi syariat itu, seringkali justru mengaburkan apa yang diperjuangkan. Bahkan biasanya, terlalu berlebih-lebihan dalam pengharaman dan penyesatan. Sehingga, apa yang dikatakan Yusuf Qardawi benar, sifat-sifat itu bukan justru memperjuangkan syariat Islam, tapi justru merusaknya.

Ketidaksadaran itu, lahir dari nafsu dan kefanatikan. Seperti kata Ibn Rusyd, jika agama dijalankan tanpa akal, maka hilang separuh agamanya. Jika hilang, simpul, klaim, dan tasfir agama menjadi sempit. Kesempitan memandang agama itulah awal dari sebuah masalah pembabibutaan terhadap ajaran agung Tuhan.

Agama seakan menjadi sesuatu hal yang mengerikan. Bahkan dengan tafsir agama yang sempit itu, Islam terlihat ganas dan menakutkan. Dari situlah, orang-orang fobia terhadap agama Islam. Padahal, agama Islam, mengajarkan kedamian, kelembutan, kesantunan, kesataraan, kesalingan, keadilan, dan pencerdasan.

Sisi Gelap Ustaz Pejuang Syariah

Dari sini kita bisa bertanya, mengapa sebagian ustaz dan penceramah kita begitu saklek dalam menafsirkan nash-nash. Bahkan lebih mengejewantahkan ajaran kekerasan, dosa, hukum, daripada ajaran yang santun yang berlumuran kegembiraan dan kedamaian?

Selama berjalannya Islam, fiqih sering menjadi alat argumentasi putusan-putusan ekstrem. Dalam sejarahnya, fiqih menjadi panglima daripada tafsir nash suci Alqur’an. Maka itu, Islam cenderung bermain di area fiqih, yang sifatnya kaku (halal-haram), daripada nash suci Alqur’an sebagai aspirasi peradaban.

Lintasan agama berputar di area halal dan haram. Tapi umat dibuat capek dan lelah. Karena itu, pemikiran, peradaban, sains dan lain-lainnya tidak berkembang. Bahkan seringkali, jika ada sebagian orang melihat agama dari kacamatan sains, atau dengan pendekatan berbeda dari maentrem, stigma dan cap-cap kuno berduyun dilemparkan.

BACA JUGA  2024: Momentum Memperkuat Demokrasi

Jika kita mundur kebelakang, keemasan Islam justru tercipta, tumbuh dan digdaya karena ada orang-orang yang berani berpikir nyeleneh, berani menafsirkan agama untuk kenyaman bersama. Meski di hadapannya ada pasung, ayunan gulungan tampar, dan kilapan pedang.

Jika mau jujur, sempitnya tafsir agama dan represifnya negara berada pada masa itu, tidak mungkin ada Al-Kindi, Ibn Ruysd, Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Arabi, Ibn Khaldun, Rumi, Rabiah Al-Adawiah, dan lain-lain. Tidak mungkin ada sisa peradaban yang kita rasakan dan nikmati sekarang.

Harus Belajar dari Sejarah

Maka itu, pejuang syariat harus melihat genealogi dan jalannya sejarah agama yang kini diperjuangkan. Jika terus-terusan bergulat dengan teologi dan organisasi seperti yang lepas dari akar sejarah keemasan Islam, seperti Wahabisme, Al-Qaeda, Deash, Al-Nusra, Takfiri, dan eks-FPI, yang tumbuh dan berkembang bukan keemasan Islam. Tapi yang tumbuh tengkorak-tengkorak setan, yang berani membasmi mereka yang berbeda haluan: politik, teologi, ideologi, dan olahraga seksual.

Kaum ekstrem yang yang memperjuangkan syariat, tetapi anti-pluralisme, ilmu, sains, atau sekte-golongan, maka akan menjadi penghancur antar umat sendiri.

Lebih dari itu, apalagi bila pejuang syariat ekstrem ini, ditunggangi, atau dimanfaatkan oleh partai politik dan kaum elite tertentu, yang memiliki misi kepentingan pragmatis. Maka, jadilah koalisi tak indah antarbangsa, golangan, politik, dan ekonomi, serta ajaran agama. Itulah yang terjadi di negara tercinta kita saat ini: Indonesia.

Untuk itu, kita boleh, atau bahkan saya kira sudah seharusnya kita memanfaatkan perkembangan mutakhir. Namun, bila itu mau dilakukan, kita mesti juga harus melihat akar dalam tradisi keintelektualan Islam. Karena itu, suatu keharusan untuk menggali suatu hal yang bersifat tradisi Islam supaya ilmu menjadi kaya.

Dengan keilmuan itu sendiri pemikiran lebih terbuka dan bisa menangkal teologi-sikap ekstremisme dalam umat beragama di Indonesia. Bila itu dilakukan, agama bukan hanya bisa meyakini Tuhan, tetapi bisa memuliakan martabat seseorang dan jadi alternatif pada kehidupan.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru