26.7 C
Jakarta

Menghukum Berat Aktor Pemecah Belah Bangsa yang Menggunakan Isu SARA

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenghukum Berat Aktor Pemecah Belah Bangsa yang Menggunakan Isu SARA
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Melihat media sosial kali ini yang dipenuhi dengan trending nama Azam Khan, Edi Mulyadi, PKS, HTI, dan masih banyak lagi, mengingatkan akan persoalan bangsa kita yang masih terlalu memandang suku, rasa, agama, etnik, dan daerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal jika diruntut dalam sejarah, bangsa kita ini ada bukan hanya karena afiliasi Islam belaka. Lebih daripada itu, bangsa kita lahir dari banyaknya bahasa, suku, agama seperti yang tertuang dalam isi Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tahun 1928.

Isi Sumpah Pemuda bukan hanya sebatas seremonial belaka, melainkan isi dari Sumpah Pemuda merupakan perwujudan dari sikap nasionalis dan religiusitas manusia yang menduduki atau tinggal di wilayah negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Nilai nasionalis bukan hanya sebatas mencintai satu wilayah, seperti Jawasentris misalnya, Melainkan harus juga mencintai atau minimal menghormati budaya yang dimiliki suku/etnik lain. Bukan malah mengerdilkan atau mendiskreditkan budaya dan wilayah anak bangsa bagian lain dengan kata-kata atau ucapan yang mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.

Kasus sakit hati masyarakat dayak Kalimantan adalah bukti, betapa arogannya sosok manusia yang hanya mengedepankan akal logika dalam berucap, mengkritik dan mengintervensi pemerintah. Namun, lupa memikirkan perasaan disekitar dan malah membawa-bawa suatu daerah untuk dilucuti dan dipermalukan dengan pongahnya dengan kata-kata “Tempat Jin Buang Anak dan Monyet.”

Lantas dengan berbekal media sosial, mereka yang dengan sengaja mengeluarkan kata-kata itu meminta maaf kepada suku dayak dengan berlandasan kebenaran akan argumen yang mereka keluarkan. Belum purna sedemikiannya, beragam argumen yang seakan tanpa memandang perasaan suku dayak juga mengatakan dengan entengnya “tidak merasa sakit hati, bahasa yang wajar, dan itu bukan sebuah penghinaan” rasa-rasanya kesemuanya hanya memperkeruh suasana yang ada.

Edi Mulyadi, Azam Khan dan narasi tak pantas

Siapa yang tak kenal Edi Mulyadi, sosok yang dikenal sebagai jurnalis senior yang seringkali melontarkan kritikan kepada rezim pemerintah. Adapun salah satu orang yang berada disampingnya adalah Azam Khan, seorang pentolan HTI dan pernah menjadi pengacara FPI.

Dalam video yang tengah trending di media sosial. Kritikan yang yang seharusnya diargumenkan secara tenang malah seringkali disampaikan secara emosional dan merembet kepada kata-kata yang menyakiti warga Dayak Kalimantan baru-baru ini. Kritikan yang seharusnya berisi narasi kritis akan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) malah berisi narasi penghinaan kepada daerah Kalimantan.

Ditambah saat kerasnya mengkritik ditambahi nada argumen “Tempat Jin Buang Anak”, yang walaupun dalam pemikiran masing-masing pribadi hanya untuk menggambarkan tempat yang jauh dan ditambahi dengan nada “hanya monyet yang mau tinggal disana” membuat publik jadi mengerti bahwa caleg gagal PKS dan pentolan HTI tersebut tidak menghargai perasaan sesama warga bangsa yang berbeda daerah.

BACA JUGA  Cara Aswaja Merawat Kedamaian dan Menolak Ekstremisme

Perkataan tersebut kini telah mendapat belasan laporan di Kapolda di titik masing-masing pelaporan. Namun, dikhawatirkannya terjadi peristiwa yang tidak diharapkan Maka, Bareskrim POLRI pun mengambil kebijakan untuk menangani kasus Edy Mulyadi CS.

Dilansir dari Pikiran Rakyat “Kami minta Edy Mulyadi dan kawan-kawan nya segera ditangkap dan diproses secara hukum pidana dan hukum adat, karena ucapan dia yang beredar di media sosial telah menghina dan merendahkan martabat masyarakat di Kalimantan,” kata Antonious, di Polres Kapuas Hulu, 25 Januari 2022.

Kemarahan warga Kalimantan, terlebih suku Dayak memang disebabkan narasi yang walaupun dengan dalih apapun dan telah disebarluaskan melalui media sosial telah menggores hati/perasaan warga dayak dan menuntut maaf secara langsung di hadapan warga dayak serta meminta pihak kepolisian RI menindak tegas Edi Mulyadi CS.

Narasi tak pantas belum usai

Nico Silalahi sosok aktivis yang kerap kali melancarkan kritik kepada pemerintah, dalam cuitan terbarunya mengatakan “Saat hutan ditebang, banjir merendam rumah warga + sebulan, perempuannya dijual ke China untuk dijadikan budak seks, anak-anak pada mati tenggelam di bekas galian tambang kalian pada diam, Tapi saat ada yang mengatakan “Tempat Jin Buang Anak” kalian demo. Sebenarnya kalian siapa?.” Cuit Nico di akun medsosnya.

Sebenarnya tak salah saat ingin menyampaikan kritik secara kritis. Namun, pahami situasi dan kondisi yang tengah memanas bung!.

Kritik boleh-boleh saja tapi haruslah berlandaskan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Penulis hanya akan menyoal cuitan Nico Silalahi yang mengatakan sosok wanita yang “dijual untuk dijadikan budak seks ke China”. Sangat-sangat tidak pas waktunya digaungkan sekarang, mengingat kemarahan suku Dayak yang belum reda.

Dikhawatirkan Cuitan Nico Silalahi hanya akan memancing emosi warga Kalimantan, terlebih suku Dayak ataupun warga Kalimantan. Memang tidak secara langsung menujukan twitan itu kepada warga Dayak. Namun, melihat twitan yang seolah sedang membanding-bandingkan dengan kasus Edy Mulyadi CS, malah terkesan memang cuitan itu ditujukan ke warga Kalimantan.

Apa dasarnya coba dia mengatakan demikian, jika orang yang hanya ingin memprovokasi atau mengompori hal demikian dan membuat kasus dalam kategori rasis ini “mengingat banyak suku Dayak yang sakit hati”  semakin dikhawatirkan menambah panas suasana. Karena sekelompok orang yang kurang beretika menyampaikan pandangan terkait sebuah isu gejala sosial yang ada.

Kita pastinya mendukung kritik yang disampaikan dengan cerdas, beretika dan disampaikan dengan berbasis data. Jika hanya akan memperkeruh suasana yang ada dalam perkara ini lebih baik tak usah disampaikan!

Hilal Mulki Putra
Hilal Mulki Putra
Bernama Hilal Mulki Putra, lahir pada 10 Juni 2020, pernah nyantri di Pondok Pesantren Chasanah Tlogopucang (2013-2016) asuhan KH. Abdul Jalil kemudian melanjutkan nyantri kembali di Pondok Pesantren Sunan Plumbon Krajan, Tembarak Temanggung (2016-2019) asuhan KH. M. Abdul Hakim Cholil, S.Ag. Saat ini penulis merupakan seorang mahasiswa di Institut Agama Islam Nahdhatul Ulama (INISNU) Temanggung dan aktif sebagai tenaga wiyata kependidikan di MI Ma’arif 2 Tlogopucang. Di sela-sela kesibukan aktif menulis berbagai jenis artikel di beberapa media.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru