25.7 C
Jakarta

Menghidupkan Spirit Bertoleransi

Artikel Trending

Milenial IslamMenghidupkan Spirit Bertoleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semangat bertoleransi masyarakat (kerukunan) dari pelbagai agama terlampau subur terjadi di negara demokrasi ini, tidak hanya demikian. Isu keislaman pun kian dimainkan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan dalam medan perpolitikan. Bahkan, seolah-olah ada perbedaan ideologis terkait Islam moderat (toleran) dan Islam garis keras (ekstrem).

Dalam bingkai kehidupan masyarakat yang majemuk, umat beragama seharusnya lebih bergegas lagi untuk menjaga perbedaan kita dalam beragamaa. Apalagi umat Islam adalah sesuatu yang paling substantif, dan tidak perlu ada persoalan maupun perdebatan. Karena perbedaan itu menunjukkan kemajemukan bangsa tampak memiliki komitmen yang kokoh dalam menjaga persatuan.

Kitab suci Allah Swt dalam al-Qur’an menuturkan, bahwa “katakanlah (Muhammad), “wahai ahli kitab! Marilah (kita) kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu (kalimatin sawa). Bahwa, kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim. (Q.S. Ali Imran/3: 64).

Secara eksplisit, konteks ayat di atas sesungguhnya memperjelas betapa urgensinya membangun kerukunan antar umat beragama di tengah menipisnya toleransi. Indonesia sebagai negara multikultural (majemuk) yang terdiri dari pelbagai suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), seharusnya menjadikan ideologi Pancasila sebagai dimensi agama yang bersifat universal.

Dimensi keislaman dan keindonesiaan yang telah bertemu dan menyatu dalam rumusan falsafah kenegaraan kita, yaitu Pancasila yang menghargai nilai-nilai kemajemukan dan kebhinekaan. Karena itulah, kemajemukan sebagai bentuk kongkretnya keniscayaan dalam Islam harus diadopsi serta pentingnya membumikan kembali nilai-nilai toleransi (tasamuh).

Merawat Spirit Bertoleransi

Kegilaan negara di dunia mengakui keharmonisan pelbagai jenis agama di Indonesia. Mereka banyak belajar mengenai Bhineka Tunggal Ika serta prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme agama di Indonesia, tentu dengan penegakan prinsip-prinsip itulah pembangunan peradaban sebuah negara serta perdamaian bangsa dan negara melekat pada sifat sosio multikulturalistik.

Pada era Orde Baru (Orba), Indonesia terdapat lima agama. Namun ketika merambah pada Era Reformasi, periode kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan keputusannya berdasarkan (Keppres) no. 6/2000, tapi pemerintah mencabut larangan atas agama, kepercayaan (keimanan) dan adat istiadat Tionghoa. Keppres no. 6/2000 diterbitkan oleh kewenangan Presiden Adurrahman Wahid ini ditopang oleh kekuatan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia no MA/12/2006 yang menyatakan bahwa Pemerintah mengakui keberadaan agama Kon Hu Cu, demikian hasil penetapan tersebut muncul enam macam agama di Indonesia: Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Sikap pemerintahan pada Era Reformasi tersebut (Gusdur), toleransi agama semakin dijunjung oleh segelintir elite agama demi rekonsiliasivitas antar-golongan, dan kedamaian yang kini digagaskan oleh ide Presiden Abdurrahman Wahid sebagai bapak pluralisme kebangsaan. Di satu sisi, berasal dari kalangan Islam dimana dia adalah sosok kiai yang menjunjung nilai-nilai tasamuh secara substansi. Apa lagi di era Jokowi Islam moderat telah menjadi suatu pijakan untuk mewujudkan negara yang adil dan penuh perdamaian.

Sumber toleransi serta kerukunan umat beragama pada ranah keindonesiaan, ketegangan untuk saling menjaga sikap merupakan hal yang paling penting, baik secara humanistik maupun sosialistik. Pasalnya, keteguhan perdamaian bangsa adalah model dan rujukan, banyak forum global terkait kerukunan umat beragama serta menggali nilai-nilai Islam yang damai dan rahmatan lil ‘alamin diselenggarakan di bumi pertiwi ini.

Pancasila, dan Islam Toleran

Kehebatan negara Pancasila, telah menampakkan prinsip perdamaian yang nasional meski Indonesia bukan negara Islam (Islamic state) konflik intoleransi agama jarang muncul. Mulai dari peperangan, invasi radikalisme yang mengatasnamakan agama. Urgensinya, negara Indonesia paling tidak, bisa jadi teladan (uswah) atau kiblat perhatian internasional para penduduk dari penjuru dunia.

Berdasarkan jumlah suku, Indonesia terdiri atas 1.200 suku, 720 bahasa daerah, serta beragam kultur kegamaan dan keyakinan. Namun, bisa bersatu menjadi sebuah bangsa yang besar karena kuatnya toleransi, dan jiwa kemanusiaannya saling dipandang serta dihormati. Sebab dengan eksisnya istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan sila pertama alias “Ketuhanan yang Maha Esa”. Alhasil, kedua dimensi ini bisa menunjukkan gigi taring kebangsaan dalam menjunjung prinsip Bhineka Tunggal Ika walau penuh perbedaan tetap satu jua.

Islam agama yang rahmah, agama toleran. Jadi, Islam sebagai agama yang dinomor-satukan oleh pendiri bangsa (the founding fathers) berdasarkan penetapan sila pertama. Sikap toleransi terhadap lain agama maupun sesama agama penting untuk terus-menerus disosialisasikan sesuai keyakinan masing-masing. Dalam konteks ini, agama Islam sebagaimana yang tercatat dalam hukum syariat Islam terkait cinta tanah air sebagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Sehingga, kegilaan cinta terhadap bangsa bisa menjaga prinsip-prinsip ini dengan relevan.

Menurut hemat penulis, solusi yang paling ampuh hanya dengan kekuatan dua Ormas dalam menjaga persatuan dan perbedaan (spirit bertoleransi). Yaitu, partisipasi Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Yang merupakan forum keagamaan terbesar di Indonesia serta didirikan oleh dua ulama yang memang kiprah dan perjuangannya patut dihormati. Keduanya adalah kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru