32.9 C
Jakarta

Menghadirkan Ramadhan sebagai Ibadah yang Dirindukan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenghadirkan Ramadhan sebagai Ibadah yang Dirindukan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Memasuki bulan Ramadhan secara tidak langsung memasuki bulan penuh keberkahan. Pada bulan ini umat muslim berlomba-lomba memperbanyak ibadah. Ada yang sibuk mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali. Ada juga yang menyediakan takjil bagi orang yang berpuasa. Dan masih banyak yang lainnya.

Saat Ramadhan tiba, ibadah getol dan hampir dikerjakan oleh mayoritas muslim adalah puasa selama sebulan. Saking getolnya, bulan Ramadhan disebut bulan Puasa. Bahkan, saya sendiri masih ingat sikap polos temen sekampung kala masih kecil dulu. Temen saya sering mengukur puasa dengan basah dan tidaknya bibir. “Nggak puasa ya?!” celotehnya melihat bibir seseorang basah, padahal baru saja berkumur-kumur.

Kini saya mencoba refleksi. Mengukur puasa sebatas makan-minum adalah tingkat paling rendah. Anak kecil bisa menjalani tingkatan ini, apalagi orang tua yang sudah terlatih menjalani puasa saban tahun. Apa sebenarnya esensi puasa? Secara bahasa “puasa” merupakan terjemahan dari kata “shaum” yang terambil dari kata kerja “shama” yang berarti “menahan” (amsaka). Secara sederhana, Orang disebut berpuasa, karena mampu menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan bersetubuh.

Menahan suatu hal sebagai indikator puasa hendaknya ditingkatkan kualitasnya. Bila pada awalnya menahan makan-minum, maka tingkatkan dengan menahan nafsu kebinatangan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebut saja, menahan diri berkata-kata kotor, mengumpat, memfitnah, dan seterusnya. Pada era milenial, shaum hendaknya menahan tangan menulis komentar hoax dan hate-speech di media sosial. Ikat nafsu kebinatangan ini, sehingga dengannya digapai persatuan dan keharmonisan antar sesama.

Menahan diri dari makan-minum hanya berhubungan dengan fisik. Sementara, menahan nafsu kebinatangan berhubungan dengan psikis. Sesuatu yang bersifat fisik medannya terbatas dibanding sesuatu yang psikis. Masih ingat kenapa masyarakat Arab disebut masyarakat Jahiliyah sebelum Islam datang? Karena masyarakat kala itu menyikapi baik-buruk, mulia-hina, sebatas fisik belaka. Apa yang terlihat dipermukaan baik, disimpulkan baik, padahal hatinya berkata lain. Ketidaksinkronan hati dan perbuatan merupakan “munafik”. Munafik adalah penyakit ganas yang dapat membunuh dari dalam dan penyakit ini amat sangat sulit terdeteksi gejalanya.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Sejarah kelam yang menyayat hati pada masa sebelum Islam datang adalah sistem perbudakan. Memperbudak seseorang secara tidak langsung mengakui kekuasaan dirinya sendiri, sehingga timbul sikap takabur dalam hati. Maka, ketika Islam datang sistem perbudakan dihapus, karena dipandang tidak manusiawi. Islam membela hak-hak manusia yang harus dihormati. Namun, penghapusan sistem ini belum menghapus praktek perbudakan secara keseluruhan. Sampai detik ini, masih banyak dijumpai seseorang yang memperbudak orang lain. Sebut saja, suami memperbudak istrinya sendiri; atau kaum yang kuat memperbudak kaum yang lemah. Maka, hak-hak mereka dirampas, masa depan mereka hilang, dan kesempatan mereka pun tertutup.

Kehadiran Ramadhan diharapkan dapat mengajarkan umat Islam menjadi muslim sejati (kaffah) yang mampu menata pribadi meraih kemuliaan yang hakiki. Ramadhan menjadi riyadhah, latihan batin sehingga jiwa manusia sehat, tidak mengidap penyakit yang dapat mengotori hati. Bagi koruptor, puasa di bulan Ramadhan dapat menjadi latihan menahan nafsu kebinatangan yang menggiring mereka meraup hak milik orang lain. Bagi pecandu hoax dan hate-speech, dapat menghindari perbuatan kotor yang dilarang oleh agama.

Memaknai Ramadhan sebatas latihan fisik secara tidak langsung tiada bedanya dengan olahraga fisik yang bisa dijalani oleh semua pemeluk agama. Olahraga fisik hanya menyehatkan fisik saja. Padahal, puasa Ramadhan dapat menyehatkan fisik dan psikis manusia. Selagi masih mengawali Ramadhan, mari menata motivasi yang baik sehingga Ramadhan tahun ini menjadi tangga menggapai kemuliaan, menjadi pintu yang mengantarkan meraih pahala yang berlipat ganda, menjadi perisai yang dapat menjaga diri dari sikap tercela, menjadi refleksi yang dapat mengingat orang yang lemah dan miskin.

Marhaban ya Ramadhan! Selamat menunaikan ibadah puasa. Ibadah yang ditradisikan dari Nabi agung Muhammad. Ibadah yang mempererat tali persaudaraan. Ibadah yang menciptakan cinta kepada Tuhan dan makhluk-Nya. Ibadah yang menghadirkan kebahagiaan dalam hati umat Islam saat berbuka dan kelak di akhirat. Begitu pula, ibadah yang dirindukan.[] Shallallah ala Muhammad.

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru