Harakatuna.com – Di tengah hangat-hangat transisi pemerintahan, FPI dan HTI kembali muncul dengan gagasan pengguncang stabilitas nasional. HTI, dengan narasi khilafahnya, berjuang membentuk tata kelola politik ala HTI yang utopis, sementara FPI menampilkan politik yang tampak ‘siluman’ atau ‘kamuflase’—bersembunyi di balik dalih cinta NKRI. Namun, apakah semua itu loyalitas sejati, atau langkah politik belaka?
Di permukaan, ada janji setia terhadap Pancasila dan NKRI. Namun, melihat secara kritis, kesetiaan tersebut nyatanya tidak utuh. Kamuflase FPI mengejawantah sebagai manipulasi yang, tanpa disadari, merusak kebhinekaan dan keutuhan bangsa. Faktanya, sebelum menjadi ormas terlarang, FPI bersikeras menuntut tegaknya NKRI Bersyariah, suatu konsep kabur yang tak pernah benar-benar dijabarkan.
Di situlah kontradiksinya mengemuka: antara nasionalisme dan dorongan menegakkan ortodoksi Islam. Upaya itu jelas berisiko mengaburkan garis batas antara kewarganegaraan Indonesia dan ideologi radikal. Secara aliran teologis, umpamanya, mereka Asy’ariah, namun berbeda mengenai prinsip wasatiah Islam. FPI lebih suka sweeping yang mereka istilahkan dengan nahi mungkar, dengan alasan membela Islam ataupun NKRI.
Hari-hari ini, FPI tampak berupaya melegalisasi seluruh aktivitasnya. Aksi-aksi yang mereka lakukan selalu memberi kesan yang menegaskan otoritas Islam di ranah publik tidak boleh diusik. Ketika publik mencatat kehadiran mereka dalam aksi Aksi 411 baru-baru ini, muncul pertanyaan: apakah aksi tersebut adalah sikap sejati ‘cinta NKRI’, atau bagian dari agenda mendorong cita-cita yang kontradiktif dengan ideologi negara?
Posisi seperti itu jelas-jelas taktik kamuflase yang menipu umat. Rekam jejak FPI menegaskan demikian. Kendati tidak secara gamblang berbicara soal khilafah seperti HTI, dan memilih strategi lebih samar dengan merangkul masyarakat lewat isu-isu moral, namun di baliknya FPI menyimpan ambisi besar. Benturan aksi populis dan agenda radikal itulah yang melahirkan kebingungan masyarakat—juga kegamangan kontra-radikalisasi itu sendiri.
Simbolisasi dalam Politik Kamuflase
Sebagai manifestasi islamisme di Indonesia, FPI kerap menimbulkan kekhawatiran akan manipulasi polemik demi kepentingan politik. Fufufafa, misalnya, yang diarahkan untuk menyoroti Gibran, putra Jokowi, adalah contoh polemik yang dipelintir demi menyimbolisasi eksistensi FPI di ruang publik pasca-pembubaran. Dengan kata lain, mereka tetap tidak habis kendati Jokowi sudah mengganyang ormas tersebut.
Tentu ada ikon penguat di situ. Habib Rizieq, yang dikenal sebagai Imam Besar, kendati tak semasif dulu, tetap berperan penting dalam mengeruk dukungan masyarakat lewat karismanya yang tinggi. Sosok seperti dia jadi simbol pencipta loyalitas dan militansi. Di satu sisi mereka menampakkan loyalitas pada NKRI, tetapi di sisi lain mengkritik dasar negara melalui retorika syariatnya. Kamuflasenya benar-benar menjadi tantangan setiap rezim.
Lantas, bagaimana mengganyang semua itu? Saat ini, penegakan hukum masih menjadi kunci. Mengganyang FPI dan segala bentuk kamuflase yang menipu umat menjadi langkah preventif yang laik diambil demi menutup celah radikalisasi itu sendiri. Jika tidak, perpecahan akan semakin jelas, lalu memicu gonjang-ganjing pemerintahan Prabowo—lebih-lebih karena Gibran selalu jadi sasaran mereka.
Hari ini, isu-isu keagamaan tidak jarang menjadi komoditas politik belaka. Kesadaran kolektif kemudian mesti senantiasa diasah, bisa dibedakan antara ajakan moral dan retorika simbolis yang radikal. Merawat tanah air artinya menolak segala bentuk upaya merongrong pilar-pilar kebangsaan. Politik kamuflase yang membingungkan umat, sekaligus menipu mereka, tidak boleh dibiarkan. Sebelum tumbuh semakin besar, FPI perlu segera diganyang!
BNPT Ngapain Saja?
BNPT tampaknya lebih sibuk dengan pendekatan birokratis-elitis daripada memecahkan akar masalah di lapangan. Meskipun kaya program deradikalisasi, efektivitasnya di tingkat nasional dipertanyakan. Aksi 411 FPI serta parade Islam Kaffah yang digelar HTI, buktinya, luput dari sorotan mereka. Boleh jadi, mereka memang menanggapi lewat tulisan di media humasnya. Namun, di tataran kebijakan aktual, mereka ngapain saja?
Alih-alih fokus merepresi aktivitas radikal di jantung kota, BNPT malah kerap merancang program-program yang berfokus pada edukasi anti-radikalisme di daerah-daerah yang jauh dari pusat konflik ideologis—yang bahkan jauh dari kata efektif. Dampaknya, program-program tersebut cenderung hanya bersifat formalitas belaka, nir-faedah, dan tak menyentuh kalangan yang paling terancam radikalisasi.
Kenapa bisa begitu? Masalah mendasarnya, boleh jadi, keterbatasan koordinasi lintas instansi. Sinergi dengan K/L terkait masih terpecah-pecah. Ada kesan kurang optimal hal-ihwal analisis intelijen di lapangan, sehingga aksi radikal dan propaganda khilafah bisa terjadi berulang kali tanpa pencegahan dini yang efektif. Apalagi diganyang, dilirik pun tidak. Stakeholder tersebut terlalu elitis, formalistis, dan kurang merumput.
Memang, harus diakui, BNPT banyak berkiprah dalam rehabilitasi dan pemulihan eks-napiter. Tetapi eks-napiter itu bukan satu-satunya masalah, dan mereka juga tidak boleh terlalu dimanja. BNPT perlu juga agresif dalam memonitor propaganda FPI dan HTI. Tujuannya, agar tidak semakin banyak masyarakat yang teracuni pikirannya oleh gagasan-gagasan destruktif anti-NKRI, sementara BNPT sibuk mengurusi eks-napiter saja.
Agar BNPT tak selalu ditanya ngapain saja mereka ihwal fenomena FPI dan HTI yang ‘reborn’, lebih baik mereka segera beraksi. Misalnya, segera merumuskan strategi berbasis aksi di pusat, mengoptimalisasi koordinasi lintas instansi, mengembangkan strategi digital yang agresif untuk FPI, melibatan tokoh agama moderat secara intensif, serta rutin melakukan evaluasi terbuka dan transparan mengenai progres setiap program.
Dengan itu, BNPT akan lebih ganas menghadapi politik kamuflase FPI yang menipu umat itu. Hanya respons tegaslah yang bisa benar-benar menjadi tameng NKRI dari ancaman kelompok-kelompok radikal seperti FPI dan lainnya. Sehingga, ketika ada yang bertanya lagi, BNPT ngapain saja? Tinggal dijawab bahwa mereka telah mengganyang FPI tak tersisa.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…