26.1 C
Jakarta

Mengganti ‘Assalamualaikum’ dengan ‘Salam Pancasila’

Artikel Trending

EditorialMengganti ‘Assalamualaikum’ dengan ‘Salam Pancasila’
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada editorial sebelumnya, kita sudah mengulas, benarkah agama musuh besar Pancasila? Dan intinya, jawabannya adalah: tidak. Sekarang kita akan mengulas, haruskah Assalamualaikum diganti Salam Pancasila? Dua isu ini bersumber dari satu tokoh, yaitu Prof Yudian Wahyudi, Kepala BPIP. Juga dipelintir dari satu rekaman wawancara, yaitu antara Yudian dengan reporter Detik.

Kali ini tidak lagi perlu diulas tentang, misalnya, kepribadian Prof Yudian. Di editorial sebelumnya, kita sudah mengulasnya. Tetapi memang perlu digarisbawahi, memahami isu-isu tentang BPIP hari ini tidak bisa melupakan karakter dari Kepala BPIP itu sendiri. Ini jelas sealiran dengan fakta bahwa hari ini usaha membungkam atau, membubarkan BPIP memang berasal dari berbagai pihak.

Video Blak-blakan ala Detik itu sejujurnya sudah lama, yakni 12 Februari lalu. Menit ke 29.08 hingga 32.56 memantik isu Assalamualaikum dan Salam Pancasila. Prof Yudian, sekali lagi, seperti isu sebelumnya, bertolak dari diskursus akademis, bahwa salam merupakan sesuatu yang dinamis. Antara zaman Nabi, yakni zaman agraris, dan zaman kita, zaman teknologi industri, bukan tidak mungkin salam itu juga akan menyesuaikan diri. Mengalami kontekstualisasi, maksudnya.

Tanggapan berdatangan, salah satunya dari seorang dai Buya Yahya. Melalui kanal YouTube miliknya, Al-Bahjah TV, Ahad (23/2) kemarin, ia membuat konten berjudul “Ketua BPIP: Assalamualaikum Diganti Salam Pancasila? Buya Yahya Menjawab”. Buya mengawali ucapannya dengan lafaz Innalillah, lalu menegaskan bahwa pernyataan BPIP tidak mencerminkan kebijaksanaan, dan terkesan mengajarkan umat antaragama saling berprasangka buruk.

Tanggapan dari politikus pun juga tak kalah pedas. Fadli Zon, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra meminta BPIP dibubarkan. “Lembaga ini (BPIP, red.) memang layak dibubarkan. Selain membuat kegaduhan nasional juga berpotensi menyelewengkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri,” terangnya, seperti dilansir Warta Ekonomi, pada Jum’at (21/2) lalu.

Sebenarnya Salam Pancasila ini bukanlah isu baru. Sebulan sebelum Prof Yudian viral dan ditanggapi berbagai kalangan, bahkan sebelum ia dilantik menjadi Kepala BPIP, Prof Hariyono selaku Plt Kepala BPIP ber-Salam Pancasila bahkan memperagakannya.

Salam Bukan Doktrin Teologis!

Kalau kita dengarkan secara seksama, yang dianggap problematis dari pernyataan Kepala BPIP Prof Yudian adalah gagasannya tentang dinamika salam. Artinya, salam sama sekali tidak ada kaitannya sebagai doktrin teologis, sekadar konsensus tentang saling mendoakan keselamatan. Karenanya, selama esensi doa tidak hilang, ungkapannya boleh berlafaz apa saja. Termasuk, misalnya, bukan lafaz ‘Assalamaualaikum’, melainkan lafaz ‘Salam Pancasila’.

“Kita menemukan kesepakatan-kesepakatan bahwa tanda ini adalah salam. Jadi kalau sekarang kita ingin mempermudah, seperti dilakukan Daud Jusuf, maka untuk di public service, cukup dengan kesepakatan nasional, misalnya Salam Pancasila. Itu yang diperlukan hari-hari ini. Daripada ribut-ribut itu para ulama, kalau kamu ngomong Shalom berarti kamu jadi orang Kristen,” terang Prof Yudian.

Wong Nabi Muhammad Saw. saja mendoakan raja Najasi yang Kristen saat wafat. Ada unsur kemanusiaan. Nah kita juga begitu, ngomong Shalom tidak ada unsur teologisnya. Wong kita sampaikan (salam) supaya kita damai. Maaf, bagi orang Kristen mengucapkan salam juga tidak menjadi bagian teologis. Itu kode nasional yang tidak masuk dalam akidah. Kalau bisa dipakai tidak masalah,” pungkas Prof Yudian, seperti dilansir Detik.

Dalam iklim akademis, apa yang diungkapkan Prof Yudian tidak salah. Setiap agama memiliki ciri khas dalam mendoakan keselamatan. Orang Islam dengan lafaz Assalamualaikum, orang Kristen dengan lafaz Shalom, dan seterusnya agama lain juga memiliki salamnya masing-masing. Tetapi itu tidak berada di wilayah akidah, melaikan kesepakatan masing-masing agama perihal salam saja.

BACA JUGA  Strategi Kontra-Radikalisasi Berbasis Keadilan Hukum

Sungguhpun demikian, di ruang publik, sekali lagi, di ruang publik, atau yang oleh Prof Yudian disebut public service, beda lagi halnya. Demi keberagaman, di atas kesepakatan masing-masing agama tadi, harus ada ‘kesepakatan nasional’, yaitu salam yang sama, satu lafaz yang sama. Sehingga di ruang publik, keberagaman salam tadi kabur, dan yang mengemuka adalah keseragaman salam, di bawah azas nasional bernama bangsa Indonesia.

Kepala BPIP sebenarnya hanya menyarankan, bukan berniat mengganti Assalamualaikum dengan Salam Pancasila. Lalu bagaimana masalahnya?

Membekuk BPIP

Masalahnya adalah, Kepala BPIP lupa bahwa audiennya memiliki ekspresi keberagamaan yang beragam pula. Jauh di dalam entitas internal antaragama, masyarakat Indonesia itu memiliki kaitan yang cukup erat dengan agamanya sendiri. Prof Yudian lupa bahwa sebagian umat Islam tidak akan setuju mengotak-atik Assalamualaikum dengan alasan apa saja.

Ditambah lagi kesalahpahaman antara ia sebagai Kepala BPIP dengan tokoh keagamaan Islam. Para dai, misalnya. Belum lagi tanggapan yang sarat kepentingan politis, yang biasanya datang dari lawan politiknya. Jika kita amati narasi yang lahir dari pihak yang terakhir ini, semacam ada upaya keras untuk, bisa jadi, membekuk BPIP. Yang terakhir ini jelas punya alasannya tersendiri.

Selain itu, ada benarnya apa yang disampaikan Buya Yahya. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dalam diri kita bukan identitas baru. Sejak dulu kita sudah diajarkan untuk menerima keberagaman. Toh selama ini salam dalam lafaz apa pun, baik Assalamualaikum, Shalom, dan yang lainnya, baik-baik saja. Tidak pernah jadi masalah. Dan tidak ada yang mempersoalkannya.

Kesepakatan internal agama, misalnya Islam, tentang salam, dibiarkan saja begitu adanya. Mau di ruang publik berucap Assalamualaikum, Salam Pancasila, atau hanya Selamat Pagi, silakan saja. Yang keliru adalah menganggap kesepakatan internal tersebut sebagai biang intoleransi. Itu keliru. Dan di situlah apa yang disampaikan Prof Yudian menjadi kontroversial.

Baiknya adalah, mengembalikan gagasan tersebut murni sebagai gagasan akademik belaka. Posisi Prof Yudian hari ini, seberapa pun akademisnya alumni Harvard tersebut, adalah sebagai Kepala BPIP. Apa yang terucap darinya dicerna publik luas, sehingga sangat bijaksana andaikata menghindari ungkapan-ungkapan yang membuat kegaduhan publik. Seringkali apa yang laik dikaji secara akademik, tidak laik disampaikan ke khalayak publik.

Baik Assalamualaikum, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, maupun Salam Pancasila, sama-sama mengandung doa kebaikan. Jadi, kalau ditanya, benarkah Kepala BPIP ingin mengganti salam? Jawabannya, tidak. Tetapi kalau yang ditanya, haruskah kita mengganti ‘Assalamualaikum’ dengan ‘Salam Pancasila’? Jawabannya, terserah ente. Iya, ente.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru