26.2 C
Jakarta

Mengerangkeng Dai-dai Perusak

Artikel Trending

Milenial IslamMengerangkeng Dai-dai Perusak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sepertinya kita harus bertepuk tangan bahwa semakin hari, indeks radikalisme mengalami penurunan. Berdasarkan hasil survei Alvara, The Nusa Institute, Nasaruddin Umar Office dan Litbang Kemenag, indeks potensi 2020 mencapai 14.0 pada skala 0-100 atau 12,2 persen dalam persentase. Dengan kata lain, menurun dari tahun 2019 yang mencapai 38.4 skala 0-100. Terbaru, KPI mengeluarkan surat edaran pelarangan dai-dai dari organisasi terlarang. Ini sekakmat!

Surat Edaran KPI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan melarang penayangan dai-dai ormas terlarang, baik di televisi maupun radio. Poin 6 huruf d menekankan, bahwa dai yang tampil mesti sesuai standar Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meski KPI tidak merinci daftar organisasi terlarang yang dimaksud, namun kita bisa membaca dengan jelas, bahwa itu adalah dai dari FPI dan HTI. CNN Indonesia mengklasifikasi ini, dan KPI membenarkannya.

Ada 14 poin dalam rilis edaran KPI yang intinya mewajibkan dai harus kompeten, kredibel, tidak terkait organisasi terlarang dan menjunjung Pancasila, tidak menampilkan sesuatu yang memudaratkan, tidak menayangkan tarian erotis dan cabul, tidak bermuatan LGBT, eksploitasi konflik atau bincang seks misalnya. Juga larangan penayangan adegan sensitif; berpelukan, hinaan dan kata-kata jorok. KPI juga melarang tayangan makanan/minuman secara berlebihan.

Kenapa kita patut mengapresiasi surat edaran KPI? Ini karena sekakmatnya akan mengerangkeng dai-dai perusak yang, selama ini, bergerilya secara masif terutama di bulan Ramadhan. Stasiun televisi yang haus tayangan religi mengundang pembicara secara acak, yang sering kali justru mendatangkan dai-dai provokatif—perusak persatuan. Apakah hanya di bulan Ramadhan? Tidak, karena harusnya surat edaran tersebut berlaku selamanya. Seberapa efektif? Itu harus kita kaji.

Tulisan ini tidak dalam rangka mengapresiasi KPI belaka. Edaran tetaplah edaran; sangat birokratis. Musuh kita lebih cerdik dari sekadar sebuah surat. HTI dan FPI, umpanya, akan tetap berdakwah, kendati tidak melalui radio/televisi. Mengerangkeng dai-dai perusak bangsa itu tugas kita semua, dan kini KPI telah memulainya.

KPI: Radikalisasi dan Deradikalisasi

Ada dua catatan yang bisa kita ajukan dalam merespons kebijakan KPI. Pertama, apakah hanya di bulan Ramadhan. Faktanya, radikalisasi melalui jalur dakwah bukanlah propaganda tahunan, melainkan insidental dan memanfaatkan momentum. Kita harus paham, bahwa Ramadhan hanya satu dari sekian momentum itu. Artinya, kalau hanya berlaku selama Ramadhan, dai-dai perusak itu tidak terlalu rugi karena mereka tinggal cari waktu yang lain. Bagi mereka, yang penting radikalisasi tetap jalan.

Kedua, efektivitas. Ini bagian yang substansial. Seperti maklum, radio/televisi bukan lagi platform favorit hari ini. YouTube adalah penggantinya. Para artis sudah hijrah ke YouTube, dan termasuk juga dai-dai dari pelbagai kalangan. FPI punya kanal sendiri, HTI apalagi. Podcast juga lebih favorit daripada radio. Rata-rata platform tersebut, faktanya, tidak dalam otoritas pengawasan KPI. Karenanya, efektivitas menjadi sesuatu yang urgen ditanyakan: apakah ia cukup sebagai bentuk deradikalisasi?

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Bertolak dari itu, kita harus melihat KPI secara fungsional: radikalisasi dan deradikalisasi. Upaya KPI mengerangkeng dai-dai perusak di bulan Ramadhan bisa menjadi awal dari pemberantasan radikalisasi melalui panggung dakwah. Nanti, setelah Ramadhan selesai, artinya kita telah berhasil mensekakmat satu langkah, kita kemudian juga harus merambah ke langkah lain yang lebih integratif, yaitu menjadikannya aturan baku KPI bahkan Kominfo secara umum.

Kenapa Kominfo? Karena ia yang memiliki otoritas mengeluarkan kebijakan terkait untuk menjawab efektivitas yang kita singgung tadi. Bukan dalam rangka mencekal kebebasan berekspresi, melainkan memotong radikalisasi itu sendiri. Dengan demikian, KPI akan bersumbangsih terhadap deradikalisasi; sesuatu yang lebih krusial dari sekadar surat edaran. KPI yang dualistik: bisa menjadi sentra radikalisasi sekaligus sentra deradikalisasi berada di ruang yang tepat setelah dai-dai perusak ditertibkan.

Tentu saja, pemberantasan integratif terhadap intoleransi, radikalisme dan ekstremisme harus terjalin berkelindan dengan upaya moderasi beragama. KPI dituntut tidak hanya untuk mengerangkeng dai-dai radikal perusak, melainkan juga menyuguhkan dai-dai moderat pemersatu. Kaum moderat harus turun gunung dan Ramadhan kali ini bisa menjadi momentum yang tepat.

Momentum Dai-dai Moderat Turun Gunung

Tidak perlu bahasan panjang untuk hal ini. Kita sudah sama-sama tahu bahwa di ruang publik, perang gagasan masih berlangsung. Kita tidak bisa mengajarkan moderasi Islam, jika kontra-narasi radikalisme belum dilakukan. Begitu juga kontra-radikalisme tidak akan efektif, jika masyarakat tidak mendapat pembinaan moderasi Islam. Antara kontra-narasi radikal dengan upaya memoderatkan masyarakat harus berjalan berdampingan.

Artinya, langkah mengerangkeng dai-dai perusak menjadi nihil jika dai-dai moderat tetap absen—tidak turun gunung. Moderasi tidak beleh hanya menjadi narasi Kemenag belaka, sementara orang-orangnya sibuk dalam proyek pragmatis. Kontra-narasi terhadap dai-dai perusak sudah cukup masif, maka selaiknya civil society yang bergerak di bidang moderasi beragama juga wajib bersinergi. Kapan NU dan Muhammadiyah berkiprah dalam upaya turun gunung ini?

Pengurus-pengurus masjid harus dari kalangan moderat. Imam, khatib, atau dai di dalamnya tidak berasal dari kelompok/organisasi terlarang. Kaum moderat harus masuk ke segala lini dakwah, termasuk YouTube, radio maupun televisi. Kemasifan moderasi—meskipun misalnya dai-dai moderat tidak terlembagakan dalam komunitas moderat tertentu karena yang terpenting adalah gerakannya—merupakan kunci kita melihat sejauh mana dai-dai perusak itu berhasil kita kerangkeng seutuhnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru