25.4 C
Jakarta
Array

Mengenal Konsep Nafkah dalam Hukum Islam (Bagian VII)

Artikel Trending

Mengenal Konsep Nafkah dalam Hukum Islam (Bagian VII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kesulitan suami dalam menafkahi

Sudah jelas, menafkahi isteri merupakan kewajiban suami. Ini merupakan jenis nafkah yang paling utama dan lebih didahulukan ketimbang menafkahi anak, ayah dan ibu. Jika suami kesulitan dalam menafkahi maka akan berakibat pada beberapa hukum syara’, diantaranya;

1). Jika ekonomi suami menengah keatas namun ia menafkahi isteri dibawah kadar kewajiban nafkah seperti nafkah suami kurang mampu, maka isteri tidak berhak untuk membatalkan pernikahan (faskh an-Nikah), sehingga sisa kadar nafkah yang belum diberikan menjadi hutang suami.

2). Jika status ekonomi suami berubah dari atas ke bawah ataupun menengah, atau status menengah berubah ke bawah maka perubahan ekonomi ke bawah tidak berakibat apapun. Isteri harus mengikutinya tanpa menuntutnya lebih. Isteri pun juga harus rela dengan perubahan keadaan ekonomi tersebut karena harta sudah habis. Umumnya seseorang pasti mengalami perubahan ekonomi dari baik ke buruk maupun sebaliknya. Kalaupun suami tidak mampu menafkahi secara lebih ataupun sedang, isteri tidak berhak membatalkan pernikahan (faskh an-Nikah). Sebab nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami sekarang menjadi sekadar nafkah orang yang kurang mampu. Kekurangan nafkah yang diberikan pun tidak menjadi hutang suami.

3). Jika suami tidak mampu memberikan kadar minimal nafkah, baik makanan, minuman, dan pakaian, maka isteri diberi beberapa pilihan; a. bersabar atas keadaan tersebut sehingga mendapat pahala, b. Memberi nafkah dari hartanya sendiri sebagai bentuk sedekah sehingga mendapat pahala lebih, c. Berhutang untuk nafkah dirinya sehingga nafkah tetap menjadi tanggungan suami sampai ia mampu, d. Memohon pada suami untuk membatalkan pernikahan karena kesulitan menafkahi meskipun ia mempunyai uang hutangan yang belum dibayar oleh orang lain. Kalaupun ada orang lain menafkahkan atas nama suami, isteri tidak wajib menerimanya. Isteri masih berhak membatalkan pernikahan karena nafkah tersebut pemberian.

4). Jika suami mempunyai harta namun ia tidak mau memberikan nafkah padahal ia mampu, maka isteri tidak mempunyai hak membatalkan nikah sebab ia masih mendapatkan haknya melalui hakim dan pemimpin. Sama halnya jika suami memiliki harta tapi isteri ia tinggalkan, maka isteri bisa meminta hakim untuk menentukan kadar nafkah dari harta suami dan menjualkan barang-barang suami untuk nafkah tersebut. Jika seorang isteri mampu mendapatkan harta suami, baik suami ada ataupun pergi, suami tidak memberikan hak isteri padahal ia mampu secara ekonomi, maka isteri berhak mengambil hartanya sebagaimana hadis sebelumnya yang diriwayatkan dari Hindun, ambilah nafkah yang cukup bagimu dan anakmu secara wajar.

5). Jika suami tidak mempunyai harta namun ia mampu untuk bekerja mencari nafkah, maka suami dianggap mampu menafkahi. Sehingga ia bekerja dan menafkahi sedikit demi sedikit tiap harinya.

6). Jika suami tidak mampu membayar mahar, maka isteri berhak membatalkan nikah sebelum berhubungan suami isteri. Sebab ketidakmampuan menyerahkan ganti, sementara yang diganti tetap (wajib dibayarkan). Jika kasus diatas terjadi setelah hubungan suami isteri maka isteri tidak berhak membatalkannya karena ganti berupa mahar sudah menjadi tanggungan hutang sang suami.

7). Hak isteri untuk membatalkan pernikahan pada permasalahan sebelumnya semua bergantung keputusan pada hakim. Kesulitan menafkahi harus ditetapkan oleh hakim dengan bukti dan pengakuan. Sebab permasalahan ini termasuk ranah ijtihad dan bermula dari perselisihan suami isteri. Seorang isteri tidak bisa membatalkan nikah sebelum dilaporkan pada hakim, jika hakim telah memutuskan ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah maka hakim bisa membatalkannya atau hakim memberi izin kepada isteri untuk membatalkannya. Namun pembatalan itu dilangsungkan tiga hari setelahnya untuk memastikan ketidakmampuan suami.

8). Ketika suami tidak mampu menafkahi, seorang isteri boleh keluar rumah untuk mencari nafkah saat tiga hari dalam pemastian ketidakmampuan suami baik seizin suami ataupun tidak. Suami tidak berhak melarang isteri dan isteri tidak termasuk nusyuz karena taat dan memberi kuasa pada suami merupakan timbal balik dari nafkah. Jika suami tidak memberikan nafkah pada isteri sebagai kewajibannya, maka suami tidak berhak untuk ditaati. Sang isteri pun harus pulang kerumahnya pada malam hari karena malam hari waktu kembali ke tempat tinggal tanpa pekerjaan dan hasilnya.

9). Jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang kurang mampu dan ia rela dengan kekurangannya, perempuan tersebut punya hak untuk membatalkan nikah karena kesulitan terus berubah-ubah tiap harinya. Pernyataan isteri; aku rela dengan ketidakmampuan suamiku selamanya tidak berpengaruh karena itu janji yang tidak harus ditepati.

Sama halnya dengan ketidakmampuan menafkahi yang muncul pada pertengahan perjalanan rumah tangga, namun isteri membiarkan beberapa saat kemudian ia menuntut untuk membatalkan nikah yang menjadi haknya. Berbeda jika isteri rela dengan ketidakmampuan membayar mahar, ia tidak berhak membatalkan nikah karena kesulitan dan bahay tidak berubah-ubah. Alhasil ia rela tanpa membayar mahar.

10). Ketetapan hak membatalkan nikah bagi isteri memiliki batasan. Jika mau isteri bisa membatalkan nikah atau lebih memilih bersabar, wali tidak bisa menghalanginya. Wali juga tidak bisa membatalkan nikah tanpa perwakilan. Wali perempuan gila tidak punya hak yang membatalkan nikah, meskipun pembatalan tersebut menjadi maslahat baginya, nafkah diambilkan dari hartanya, jika ia tidak mempunyai harta maka nafkah diambilkan dari orang yang wajib menafkahinya ketika sebelum menikah. Sehingga nafkah isteri menjadi tanggungan hutang bagi suami yang bisa dituntut ketika suami sudah mampu. Wali juga tidak bisa membatalkan nikah karena suami tidak mampu membayar mahar.

Dalil yang menyatakan ketetapan hak isteri untuk membatalkan nikah sebab ketidakmampuan suami, ialah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda pada seseorang yang tidak menemukan apa yang ia nafkahkan pada isterinya, ”dibagi diantara keduanya”. Argumen lain dengan menganalogikan (meng-qiyas-kan) permasalahan ini dengan ketidakmampuan berhubungan suami isteri seperti impoten yang notabene kesulitan dan madaratnya lebih kecil ketimbang madarat tidak mampu menfakahi. Sehingga ketetapan hak membatalkan nikah sebab tidak mampu menafkahi dinilai lebih pantas. [Ali Fitriana]

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru