26.8 C
Jakarta
Array

Mengenal Konsep Nafkah dalam Hukum Islam (Bagian IV)

Artikel Trending

Mengenal Konsep Nafkah dalam Hukum Islam (Bagian IV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Syarat-Syarat Kewajiban Suami Menafkahi Isteri

Kewajiban menafkahi isteri sangat bergantung pada akad nikah. Tentunya sebelum akad nikah menafkahi isteri tidak wajib. Namun kewajiban nafkah setelah nikah memiliki dua syarat yang harus dipenuhi;

  1. Pemberian kewenangan

Seorang isteri memberi kewenangan bagi suami dengan cara isteri tidak melarang suami berbagai macam cumbuan yang diperbolehkan oleh syariat. Percumbuan di sini tidak diharuskan berupa berhubungan badan. Cukup memberikan kewenangan bagi suami setelah akad. Meskipun dalam perjalannya isteri tidak dicumbui. Jika isteri tidak mau memberikan kewenangan pada suami, tidak wajib bagi suami menafkahi isteri meskipun mereka dalam kehidupan suami isteri.

Ketika suami menginginkan kewenangan dari isteri untuk percumbuan haram seperti menggauli isteri saat haid, maka penolakan isteri memberikan kewenangan tidak menggugurkan haknya menerima nafkah.

Sebenarnya kewajiban menfakahi isteri tidak cukup hanya dengan akad nikah. Sebab akad nikah mewajibkan mahar saja, tidak mewajibkan dua pergantian biaya secara berbarengan. Dikarenakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah ra dua tahun setelah akad nikah (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra). Beliau saw juga tidak memberinya nafkah hingga mulai berumah tangga. Jika saja Nabi saw menafkahinya di rentang waktu tersebut, maka akan disebutkan dalam riwayat hadis tersebut. Kalaupun ketika itu Aisyah ra memiliki hak nafkah, tentunya Nabi saw akan mengiriminya nafkah ataupun meminta pembebasan tanggungan nafkah kepada Aisyah ra namun hal tersebut tidak terjadi.

2. Mengikuti

Yakni isteri mengikuti suaminya di daerah ataupun rumah yang suami pilih serta layak untuk ditempati. Kalau pun rumah itu tidak patut ditempati, kewajiban menafkahi isteri tidak gugur.

Sama halnya dengan hal di atas, isteri harus ikut tinggal bersama suami di kota manapun ia singgah. Di sana suami menyiapkan tempat tinggal yang memenuhi syarat layak tinggal. Namun jika isteri enggan untuk mengikutinya, ia dianggap nusyuz (menentang suami), sehingga ia tidak wajib dinafkahi.

Ketika pasangan suami isteri berselisih dalam pemberian kewenangan, isteri mengatakan, ”Aku memberi kewenangan di waktu A”, namun suami mengingkarinya dan si isteri tidak memiliki cukup bukti, maka suami dapat dibenarkan dengan sumpahnya. Sebab dalam kasus ini awalnya memang tidak adanya pemberian kewenangan.

Jikalau pasangan suami isteri bersepakat dalam pemberian kewenangan, selanjutnya suami menuduh isteri menentang suami (nusyuz), namun si isteri mengingkarinya dan suami tidak memiliki cukup bukti, maka yang dibenarkan perkataan isteri disertai dengan sumpahnya. Sebab dalam kasus ini awalnya memang terbebasnya isteri dari tanggungan.

Ketika isteri telah memberikan kewenangan pada suami dengan memasrahkan atau menawarkan dirinya pada suami, menafkahi isteri menjadi wajib meskipun isteri atau suami sakit atau pun adanya halangan untuk berhubungan badan. Dikarenakan saat itu syarat berupa pemberian kewenangan dan mengikuti telah terpenuhi. Halangan berhubungan badan tidak disebabkan hal yang melampaui batas syarat nafkah. Akan tetapi saat itu isteri memiliki hak untuk tidak memberi kewenangan sampai ia menerima mahar. Jika sebelum menerima mahar isteri telah menyerahkan dirinya pada suami, maka ketika itu isteri tidak berhak menolak ajakan suami. Jika saja ia menolak maka ia dianggap menentang suami (nusyuz).

Saat isteri berpindah rumah dari rumah suami ke rumah yang lain tanpa seizin suami, maka ia tidak wajib dinafkahi. Begitu juga halnya bagi isteri yang bepergian atau keluar tanpa izin suami. Meskipun suami berada di rumah atau sedang pergi kecuali jika rumah itu akan hancur.

Dengan syarat yang telah disebutkan di atas, mantan isteri hamil yang dalam masa iddah tetap wajib dinafkahi. Baik iddah tersebut berupa talak tiga (talak al-Baaꞌin) ataupun tidak (talak rajʻi). Namun bagi mantan isteri yang TIDAK HAMIL yang wajib dinafkahi hanya yang ditalak rajʻi bukan talak al-Baaꞌin. Sebagaimana semua isteri yang berada dalam masa iddah berhak menerima tempat tinggal saja baik isteri yang ditinggal wafat suami ataupun isteri yang ditalak rajʻi maupun baaꞌin seperti keterangan terdahulu di bab iddah. [Ali Fitriana]

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru