30.1 C
Jakarta
Array

Mengenal Konsep Nafkah dalam Hukum Islam (Bagian III)

Artikel Trending

Mengenal Konsep Nafkah dalam Hukum Islam (Bagian III)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Macam-macam nafkah

Nafkah dibagi menjadi dua; nafkah bagi diri sendiri dan nafkah bagi orang lain.

Nafkah didasarkan pada beberapa dua sebab; nikah dan kekerabatan. Yang dimaksud kekerabatn di sini hanya terbatas pada hubungan nasab secara ushul dan furu’. Maka saudara kandung baik laki-laki maupun perempuan, paman dan bibi tidak termasuk dalam kategori nasab secara ushul dan furu’. Selanjutnya ada beberapa kasus nafkah lainnya yang akan dipaparkan secara berurutan.

Pertama: Nafkah bagi diri sendiri      

Wajib hukumnya bagi siapapun untuk menafkahi dirinya sendiri jika ia mampu. Sebab nafkah merupakan suatu instrumen pokok untuk menjaga nyawa yang menjadi salah satu aspek yang dilindungi dalam syariat.

Menafkahi diri sendiri didahulukan ketimbang menafkahi orang lain. Berdasarkan hadis Nabi saw ketika beliau menasehati seseorang dari Bani Udzrah, “Mulailah dari dirimu sendiri. Sedehkankan untuk dirimu dahulu. Lalu jika masih ada sisa maka berikanlah untuk keluargamu. Kalaupun masih sisa, bagikanlah kepada kerabatmu. Jika masih ada lebih, maka seperti ini, seperti ini”. Menurut Jabir, seperti ini berarti untuk orang di sekelilingmu, depan, kanan, kiri maupun belakang.

Kewajiban menafkahi diri sendiri hanya terbatas pada hartanya selagi dirinya memiliki harta. Lain halnya dengan nafkah bagi isteri yang akan diterangkan, suami wajib menafkahinya meskipun isteri cukup dan memiliki harta.

Nafkah ini mencakup segala yang dibutuhkan seseorang mulai makanan, pakaian, tempat tinggal, minuman dan lain sebagainya.

Kedua: Nafkah bagi Isteri

Suami wajib memberi nafkah bagi isteri. Nafkah ini menempati urutan kedua setelah menafkahi diri sendiri. Namun kewajiban menafkahi isteri ini tidak akan gugur dengan bergilirnya waktu karena lebih kuat dibanding nafkah lainnya.

Dasar kewajiban menafkahi isteri dari al-Quran, hadits, ijma’ dan rasional.

  1. Al-Quran

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menerangkan tentang menafkahi isteri. Sebagian di antaranya ada yang diterangkan secara jelas namun juga ada yang secara tersirat. Salah satunya firman Allah swt; Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. QS. An-Nisaa’ [4]: 34. Menjadi pelindung bagi orang lain berarti juga menjadi penanggung urusannya. Pada lanjutan ayat disebutkan secara jelas bahwa suami bertanggungjawab menafkahi isterinya; karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Begitu juga dalam firman-Nya yang lain; ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. QS. Al-Baqarah [2]: 233. Allah swt membebani ibu untuk menyusui anaknya. Sedangkan suami –yang disandarkan nasab anak padanya- dibebani tanggungan nafkah. Kata mereka dalam ayat menunjukkan pada ibu-ibu yang menjadi ibu dari anak seorang suami. Maka menafkahi isteri menjadi wajib bagi seorang suami. Pada ayat yang lain Allah swt berfirman; Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka. QS. Al-Ahzaab [33]: 50. Ayat ini mengisyaratkan kewajiban memberi nafkah bagi isteri yang menjadi tanggung jawab seorang suami.

  1. Hadits

Berbicara tentang kewajiban menafkahi isteri bagi suami, tidak sedikit hadis yang menjadi sumber pensyariatan. Nafkah merupakan suatu hak bagi isteri yang kadang dapat ia ambil ataupun minta secara langsung. Ketika nafkah tidak dipenuhi atau bahkan tidak diberi sama sekali, hakim berhak untuk menghakiminya. Salah satunya riwayat yang bersumber dari Jabir ra dalam hadis panjang tentang haji wadaa’. Ketika itu Rasulullah saw bersabda, ”takutlah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan. Kalian telah mengambil mereka untuk (untuk dinikahi) dengan amanat Allah. Kalian meminta halal kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian juga memiliki hak agar ranjang kalian tidak dikotori oleh tindakan mereka dengan seseorang yang kalian benci. Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Mereka juga memiliki hak agar kalian menafkahi mereka dan pakaian mereka secara layak. Aku telah meninggalkan sesuatu yang jika berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-Quran”.

Dalam suatu riwayat Aisyah ra menceritakan, Hindun binti ʻUtbah mendatangi Rasulullah saw memberitakan, ”Wahai Rasul, Abu Sofyan itu orangnya pelit. Dia tidak mau menafkahi aku dan anakku. Sehingga aku diam-diam mengambil hartanya sebagai nafkah namun ia tidak mengetahuinya. Apakah aku dosa dengan apa yang ku lakukan? ”. Nabi saw menjawab, ”ambillah secukupnya bagimu dan anakmu”. Hadis ini mengindikasikan kewajiban suami memberi nafkah bagi isteri dari hartanya.

  1. Ijma’

Para sahabat dan fuqaha semua bersepakat tentang kewajiban suami menafkahi isterinya. Tidak ada satupun pendapat ulama yang menyalahinya.

  1. Rasional

Seorang isteri fungsinya terbatas pada suami. Ia juga terhalang untuk bertindak karena suami memiliki dalam hubungan pernikahan. Oleh karena itu isteri wajib dinafkahi dan dibiayai. Sebagaimana pemerintahan memberikan nafkah dari bait al-maal bagi para mujahidin karena mengorbankan diri mereka untuk berjihad.

 

Di balik hal di atas tersirat hikmah, yaitu seorang suami harus mengatur rumah tangga dan bertanggungjawab menafkahi isteri dan anak-anak. Di samping itu, suami juga memberikan mahar terlebih dahulu sebagai penghormatan bagi seorang wanita agar tidak memberikan kesan memaksanya untuk bekerja mencari nafkah. Itu juga demi menjaga kehormatan wanita dari kejahatan dan penyimpangan supaya ia dapat berkosentrasi penuh dalam tugas mulia mengurus suami dan mendidik anak-anak. Kewajiban nafkah suami sebanding dengan hak talak yang tidak patut diberikan bagi seorang perempuan karena sensitifitasnya dan adanya kemungkinan pengaruh talak bagi suami dan anak-anak sebagaimana penjelasan sebelumnya. Pembagian tugas dan tanggungjawab antara suami isteri ini bertujuan terjalinnya keharmonisanan, kerukunan dan kasih sayang. Lagi pula kemuliaan perempuan akan terjaga tanpa bekerja dan mencari nafkah. [Ali Fitriana]

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru