25.7 C
Jakarta

Mengawal GNAI: Jangan Sampai Jadi Islamofobia Kedua!

Artikel Trending

KhazanahOpiniMengawal GNAI: Jangan Sampai Jadi Islamofobia Kedua!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam konteks dasar, islamofobia dapat disebut seni menakut-nakuti dan memanipulasi otak manusia. Kita dapat mencontoh dari propaganda yang dilakukan oleh George Bush untuk menyerang Afghanistan. Namun keinginan yang kuat dari George Bush itu, tidak diimbangi oleh dukungan dari masyarakat.

Tercatat hanya ada sekitar 30% masyarakat yang setuju akan ide yang dikeluarkan oleh George Bush. Maka George Bush melakukan propaganda media dengan menakuti masyarakat akan bahaya terorisme yang dibawa oleh Afghanistan.

Sekejap tokoh Osama yang dulunya bukan siapa-siapa, langsung menjelma menjadi monster yang mengerikan. Osama didefinisikan sebagai teroris yang begitu kejam. Beberapa bulan narasi itu dimunculkan, 70% masyarakat akhirnya setuju akan penyerangan Afghanistan.

Cara yang sama dilakukan pada penyerangan Irak dengan mengembangkan narasi senjata pemusnah masal yang dikembangkan oleh Sadam Husein. George Bush berhasil meraih dukungan dari masyarakat.

Konsep menakut-nakuti adalah salah satu cara terampuh untuk mengendalikan manusia. Hal ini dipengaruhi oleh susunan otak manusia, yang didalamnya terdapat otak reptilia. Cara kerja otak reptilia, memberikan peringatan kepada manusia akan adanya keadaan bahaya. Secara langsung otak akan mengendalikan seluruh bagian tubuh untuk lari atau melawan.

Meskipun begitu, sebenarnya manusia juga dibekali dengan otak neo-cortex, yaitu bagian otak yang melakukan pengelolaan informasi sebelum melakukan tindakan. Kelengkapan otak inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia lebih bisa mempertimbangkan segala sesuatunya. Sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, lebih bisa terarah dan bijaksana.

Kasus islamofobia menyandarkan dominasi otak reptilia yang luar biasa. Rancangan ketakutan, secara langsung mengobrak abrik nalar berpikir manusia secara cepat untuk menyetujui sesuatu. Otak reptilia secara membabi buta diisi oleh ketakutan-ketakutan yang luar biasa, hingga mengaktifkan mode melawan. Maka timbulah aksi Islamfobia sebagai bentuk perlawanan ketakutan Barat terhadap Islam.

Di sisi lain, dominasi otak reptilia secara berlebih juga dilakukan oleh gerakan-gerakan radikalisme. Kita bisa melihat aksi bom bunuh diri yang dipicu oleh ketakutan dominasi Islam yang dikhawatirkan berkurang. Kemudian pembatasan proses ibadah umat lain, penyerangan secara serampangan kepada non-muslim, ataupun aksi kekerasan lain yang dipicu adanya ketakutan secara berlebihan.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Rasa takut luar biasa inilah yang sejatinya dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok untuk mengendalikan populasi yang besar. Kejernihan berpikir mulai dihilangkan, sifat asli manusia yang selalu mengelola informasi terlebih dahulu, dilibas untuk secepatnya melakukan reaksi. Produk semacam ini sudah seharusnya dihilangkan untuk membentuk komunitas yang lebih beradab, dan kehidupan yang lebih nyaman.

Menyusul ancaman islamofobia ini, sejumlah tokoh melakukan deklarasi yang disebut sebagai Gerakan Nasional Anti Islamphobia (GNAI). Sejumlah tokoh terlibat atas pendirian GNAI, seperti Wakil Ketua MUI Buya Anwar Abbas, Ferry Juliantono Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam, dan tokoh lainnya.

Deklarasi ini dihadiri oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif, dan tokoh lainnya.

Gerakan ini bermaksud mulia dengan menyingkirkan islamofobia yang selama ini merajai pemikiran Barat atas konsensus Islam yang buruk. Menyingkirkan pemikiran bahwa Islam itu agama yang keras. Islam agama yang tidak ramah terhadap perbedaan. Islam agama yang tidak membawa prinsip rahmatan. Anggapan-anggapan seperti itu yang berusaha dihilangkan dalam gerakan yang diusung.

Namun dibalik kemuliaan visi dari GNAI, satu hal yang patut diwaspadai adalah politik identitas. Gerakan seperti ini sejatinya juga rawan disusupi oleh kelompok yang ingin mengendalikan wajah keislaman Indonesia.

Mereka memanfaatkan Islamfobia, untuk diubah menjadi gerakan keislaman yang menjurus pada perubahan ideologi negara. Para pendukung yang sudah terlanjur terjun dalam gerakan tersebut, dialihfungsikan untuk tujuan yang berbeda.

Hal ini menjadi sangat mungkin apabila dihadapkan pada fakta sejarah para tokoh pendiri GNAI. Kebanyakan tokoh yang terlibat pada gerakan ini adalah mereka yang terus menerus meneriakkan khilafah.

Oleh karena itu, GNAI harus dikawal secara ketat untuk bisa benar-benar menghasilkan suatu gerakan yang menghilangkan islamofobia. Suatu gerakan yang berdampak positif pada citra Islam di dunia luar. Sehingga yang terlihat adalah wajah Islam yang toleran dan penuh kedamaian.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru