27.6 C
Jakarta

Mengapa Terorisme Menjadi Ancaman Abadi?

Artikel Trending

Milenial IslamMengapa Terorisme Menjadi Ancaman Abadi?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar meninjau sirkuit Formula E di Jakarta. Ia mengatakan, analisis potensi ancaman terorisme sangat penting sehingga keamanan pagelaran di pertengahan tahun ini terjamin. Di lain kesempatan, Boy juga meminta generasi milenial untuk menebarkan narasi positif agar selamat dari terorisme. Pertanyaannya, mengapa terorisme selalu jadi tantangan di berbagai sektor?

JAD dan JI adalah aktor utama aksi-aksi terorisme di negeri ini. Mereka menebar teror di mana-mana dan berbagai motif. Di Poso terutama, bahkan mereka menguasai medan, kendati terorisnya tinggal beberapa orang. Aksi mereka beberapa waktu lalu, menembak seorang polisi, cukup memberi tahu masyarakat bahwa terorisme di negeri ini masih jauh dari kata musnah. Mereka masih mendominasi, sehingga negara setiap saat merasa terancam.

Persoalan kenapa terorisme terkesan tidak memiliki ujung penyelesaian, dan apa kebijakan yang dapat menghentikan seluruh pergerakan mereka, belum ada yang bisa memecahkannya. Selama dua dekade terakhir, sudah tak terhitung julah teror terjadi. Padahal jika bicara tentang kebijakan responsif pemerintah tidak kalah represif. Tetapi kenapa terorisme tak jua musnah? Ini pertanyaan penting yang mungkin semua orang juga penasaran.

Ke depan, semakin majunya teknologi, aksi teror akan semakin beragam, sehingga semakin tambah sulit mengatasinya. Padahal di saat yang sama, eksistensi NKRI harus dipertahankan sekokoh-kokohnya. Pemerintah tidak bisa stagnan dari segi kebijakan. Atau jika tetap demikian, titik terang penanganan terorisme semakin kabur, dan terorisme tidak akan pernah ada akhirnya. Pada kasus Boy di sirkuit Formula E, tersirat fakta bahwa ancaman terorisme masih tak bisa disepelekan.

Teror sebagai Proses dan Produk

Terorisme adalah persoalan yang kompleks, dan kompleksitas tersebut menambah kadar rumit penanggulangan terorisme itu sendiri. Sungguhpun demikian, ia tidak terjadi begitu saja. Pelaku teror sudah mengalami segmentasi yang panjang, hingga akhirnya ia menjadi teroris. Dalam hal ini perlu digarisbawah, antara terorisme sebagai proses, atau sebagai produk.

Terorisme sebagai proses adalah kegiatan indoktrinasi, yang dilakukan oleh orang-orang berpandangan radikal-ekstrem. Proses tersebut juga memakan waktu yang tidak sebentar dan perangkat yang tidak sedikit. YouTube, website, atau indoktrinasi langsung secara verbal adalah perangkat yang digunakan dalam menanamkan mindset radikal, merusak pikirannya.

Aktor indoktriner berasal dari generasi yang terlebih dahulu terjerumus radikalisme, lalu menjadi agenda rutin yang dilakukan secara turun-temurun antargenerasi. Proses kaderisasi teroris ini tidak sekadar bergerak lokal, bahkan difasilitasi oleh organisasi transnasional. Banyak anak negeri yang berlatih ke Afghanistan dan Suriah, tak lain adalah bagian proses itu sendiri.

Sementara itu, terorisme sebagai produk adalah klimaks, yang mengaktori aksi-aksi teror di berbagai tempat. Terorisme dalam hal ini sudah tidak lagi berupa doktrin, melainkan produk doktrin, yang mengejawantah dalam perilaku-perilaku teroris yang bersangkutan. Intimidasi, persekusi, dan aksi amoral lainnya seakan menjadi halal, karena produk terorisme yang merusak otaknya.

BACA JUGA  Mewaspadai Dampak Serangan Iran-Israel di Indonesia

Antara sebagai proses dan sebagai produk terjadi kesinambungan. Mereka yang sudah jadi produk terorisme akan melakukan indoktrinasi ke yang lain, menularkan korsleting otaknya sehingga memengaruhi orang lain untuk melakukan aksi yang sama. Ini semua berjalan secara terus-menerus bahkan mengalami eskalasi kuantitas.

Pada saat yang sama, pemerintah merespons terorisme tidak dengan kebijakan jitu yang dapat membunuh mereka ke akar-akarnya. Kadang kebijakan pemerintah represif, kadang lembek. Alasannya mungkin karena masih banyak urusan lain selain terorisme, yang juga memerlukan perhatian. Tetapi, bukankah alasan tersebut semakin menambah optimisme teroris?

Pasang-surut penanggulangan terorisme menjadi persoalan lain mengapa terorisme tidak pernah berakhir menggerogoti Indonesia. Satu kebijakan dibuat untuk membungkam mereka, pemerintah kemudian merasa menang. Pada saat kondisi kelengahan pemerintah, teroris beraksi kembali.

Nasib Kontra-Teror?

Mengapa kemudian menjadi sukar sekali memberantas terorisme, kembali lagi pada komitmen pemerintah dalam menanggulanginya. Pemerintah memang sudah melibatkan TNI dalam memberantas terorisme, tetapi kinerja militer hanya mengandalkan senjata. Perihal taktik ideologis bukanlah medan mereka, sehingga mindset teror tidak mereka pecahkan, kecuali dengan membunuh teroris itu sendiri.

Padahal, kawan si teroris jelas tidak akan tinggal diam. Mereka akan balas dendam atas kematian rekannya. Hingga di sini mudah dipahami kenapa aksi mereka terjadi secara berurutan, karena aksi yang dilakukan merupakan hasil dendam kesumat. Umumnya, korban mereka adalah polisi, karena tujuan mereka adalah menakuti, baik itu berhasil maupun tidak.

Efektivitas kebijakan pemerintah hari ini perihal terorisme masih di awang-awang, belum terlihat secara konkret. Para pelaku teror masih berkeliaran di berbagai tempat, meski di Jawa sendiri kadarnya sudah kecil sekali. Rata-rata aksi terorisme terjadi di luar Jawa, barang kali karena komitmen pemerintah di luar Jawa minim, lalu dimanfaatkan para teroris.

Penanggulangan terorisme harus ke akar-akarnya, mencapai penghangusan doktrin yang melatarbelakanginya. Edisi sebelumnya sudah mengulas hal tersebut secara rinci. Mindset radikal harus diberantas terlebih dahulu. Sementara itu, militer membantu menanggulanginya secara tindakan, sehingga pemberantasan terorisme menjadi sesuatu yang utuh.

Berbagai langkah sudah dibahas, berbagai taktik sudah diterapkan. Jika persentase terorisme tidak mengalami penurunan angka, dan tetap menghantui negeri, maka perlu disoal kembali tentang hal-hal yang telah diulas di atas. Sekali lagi, terorisme adalah persoalan yang kompleks, yang hanya bisa ditanggulangi dengan taktik yang kompleks pula.

Jadi, kenapa terorisme di negeri ini tidak lekas berakhir dan justru jadi ancaman abadi? Jika jawabannya adalah ihwal kontra-terorisme yang belum pada taktis komprehensif, setiap hari pers sibuk memberitakan penangkapan teroris oleh Densus 88. Jika ideologi menjadi persoalan utama, pengarusutamaan moderasi beragama sangatlah masif. Jadi, masalahnya di mana, dan seperti Kepala BNPT di sirkuit Formula E, sampai kapan masyarakat harus terancam?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru