Harakatuna.com – Di Amerika Serikat, kasus penyerangan yang terjadi di sekolah sering kali melibatkan kelompok yang selama bertahun-tahun mengalami intimidasi, perundungan (bullying), dan akhirnya berupaya membalas dendam.
Meskipun tidak semua korban perundungan memiliki niat untuk membalas dendam terhadap pelaku, rasa trauma dan luka batin yang dialami sering kali terus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Trauma ini dapat berdampak pada gangguan mental bahkan fisik dalam jangka panjang.
Kita tidak perlu jauh-jauh ke Amerika untuk belajar dari kasus serupa. Seorang mantan anggota jaringan ISIS asal Solo (YK) mengaku bahwa kasus pertama yang membuatnya masuk penjara adalah pencurian motor. Pencurian tersebut dilakukan terhadap anak kepala sekolah yang setiap hari mengejek dan merundung kondisi ekonomi keluarganya yang miskin.
Fenomena tersebut menyiratkan pesan penting bahwa salah satu faktor keterlibatan seseorang dalam terorisme adalah menjadi korban perundungan. Mengapa demikian? Perasaan terisolasi, diasingkan, dan tidak memiliki ruang aman saat menjadi korban adalah kehampaan psikologis yang sulit diatasi.
Trauma berkepanjangan yang dialami korban dapat membentuk pribadi yang terasing dari lingkungannya. Dalam situasi seperti ini, kelompok radikal-teroris sering kali menawarkan ruang aman yang semu. Kelompok tersebut memanfaatkan kerentanan korban dengan memberikan rasa perlindungan, meskipun melalui cara yang destruktif.
Meskipun pintu masuk awal korban ke kelompok tersebut mungkin tidak selalu terkait langsung dengan ideologi radikal, potensi besar untuk akhirnya terjerumus dalam jaringan teroris tetap ada. Kasus semacam ini mengingatkan kita bahwa faktor keterlibatan seseorang dalam terorisme sangatlah kompleks. Tidak semata-mata karena masalah ekonomi, pendidikan, atau ideologi, tetapi juga faktor psikososial seperti perundungan yang kerap tidak disadari oleh masyarakat luas.
Keluarga: Garda Terdepan dalam Memberikan Ruang Aman kepada Anak
Teman sebaya atau lingkungan terdekat, baik di sekolah maupun masyarakat, sering kali menjadi pelaku perundungan. Korban yang merasa terasing dengan lingkungan sekitarnya membutuhkan dukungan yang kuat, terutama dari keluarga.
Keluarga, khususnya orang tua, harus menjadi ruang aman bagi anak untuk berbagi pengalaman hidupnya. Pembiasaan orang tua dalam menanyakan kabar, mengafirmasi emosi anak, serta mendengarkan pengalaman-pengalaman mereka menjadi elemen penting untuk membantu anak menjalani kehidupan di luar rumah.
Peran semacam ini sangat dibutuhkan, terutama di era modern di mana anak memiliki akses luas ke dunia baru melalui media sosial. Media sosial kerap menjadi arena perundungan digital yang dapat memperparah tekanan psikologis anak. Orang tua harus lebih peduli terhadap fenomena ini dan berperan sebagai mitra yang memahami kebutuhan anak. Memberikan ruang aman kepada anak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, karena mereka memerlukan sistem pendukung yang kuat untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Dalam upaya pencegahan perundungan, orang tua perlu memberikan kasih sayang yang tulus, membangun kepercayaan diri anak, dan menanamkan perilaku baik. Dukungan dari lingkungan sekolah dan masyarakat juga menjadi kunci penting. Jika anak menjadi korban perundungan di luar lingkungan keluarga, orang tua harus segera mengambil tindakan tegas untuk menangani kasus tersebut.
Potensi korban perundungan untuk terpapar radikalisme-terorisme sangat besar. Kelompok radikal memiliki berbagai cara untuk menarik korban, termasuk melalui pendekatan ekonomi, psikologis, dan agama. Oleh karena itu, orang tua harus waspada terhadap ancaman ini dan memastikan keluarga menjadi ruang yang aman dan kondusif untuk kehidupan anak.
Generasi muda adalah aset berharga bangsa yang harus dilindungi dari bahaya radikalisme dan terorisme. Pendidikan karakter yang kuat, penanaman nilai-nilai kebangsaan, serta penguatan spiritualitas adalah langkah penting yang harus diambil. Keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung perkembangan anak.
Upaya mencegah keterlibatan generasi muda dalam radikalisme harus dimulai sejak dini, dengan memberikan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai toleransi, keadilan, dan cinta damai. Pemerintah juga harus terus memperkuat program deradikalisasi serta mengedukasi masyarakat tentang bahaya radikalisme.
Dengan menciptakan ekosistem sosial yang sehat, kita dapat memastikan generasi penerus bangsa tumbuh menjadi individu yang berdaya, berkarakter, dan mampu berkontribusi bagi kemajuan Indonesia. Wallahu a’lam.