25.4 C
Jakarta

Mengapa Kita Harus Selektif Memilih Media Massa untuk Menulis?

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMengapa Kita Harus Selektif Memilih Media Massa untuk Menulis?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Era serba digital seperti saat ini, setiap orang dituntut untuk bersaing menjadi yang terbaik di bidang atau profesi masing-masing. Profesi penulis misalnya. Ia harus berusaha agar tetap eksis di dunia kepenulisannya di tengah gempuran arus teknologi yang kian berkembang pesat.

Bagi para penulis yang hanya menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama, seperti saya misalnya, tentu harus benar-benar berusaha memutar cara atau trik agar supaya saya tetap menulis dan tulisan-tulisan saya kelak berhasil dimuat di berbagai media massa yang keberadaannya makin ke sini makin terbatas.

Saya katakan terbatas karena ada begitu banyak media massa yang mendadak gulung tikar. Khususnya yang cetak atau versi koran dan majalah. Sebagian beralih ke versi digital atau e-paper.

Era digital, ketika orang-orang semakin dimanjakan dengan berbagai aplikasi dan segala sesuatu dibuat lebih mudah, praktis, dan hemat, maka secara otomatis hal-hal yang sebelumnya agak sulit atau repot mendapatkannya akan ditinggalkan begitu saja. Dulu, ketika kita ingin membaca koran dan majalah, kita akan menyiapkan beberapa hal terlebih dahulu.

Misalnya, menyiapkan uang yang cukup, ongkos kendaraan, lalu setelah itu segera meluncur menuju toko buku atau kios yang menjual koran dan majalah langganan kita yang jaraknya bisa jadi lumayan jauh dan melelahkan. Kini, keberadaan toko atau kios yang menyediakan buku, majalah, dan koran, sepertinya sudah jarang ditemukan.

Kiwari, ketika media massa cetak banyak yang berguguran dan sebagiannya beralih ke versi digital, orang-orang mungkin merasa lebih nyaman dan praktis membaca koran dan majalah versi e-paper atau digital hanya dengan menggunakan satu benda tipis bernama smart phone yang bisa dikantongi dan dibawa ke mana pun.

Harga koran atau majalah digital pun sangat terjangkau dan bisa dibayar, lagi-lagi, dengan hanya duduk manis di rumah melalui aplikasi bank yang terdapat di gawai atau smart phone.

Mungkin kalau media massa versi digital tersebut masih memberikan ruang menulis untuk para penulis lepas (freelance) tak menjadi masalah. Sehingga para penulis dapat terus berkarya dan mendapatkan penghasilan sebagaimana biasanya.

Yang menjadi persoalan adalah ketika sebagian media-massa digital tersebut sengaja meniadakan rubrik untuk penulis lepas, sehingga para penulis (yang menjadikan menulis sebagai lahan utama baginya) akan kehilangan mata pencaharian.

Sementara itu, media massa yang masih bertahan dan berusaha terbit versi cetak, juga semakin mempersempit ruang bagi penulis untuk berkarya di sana. Misalnya, meniadakan rubrik untuk penulis lepas, atau rubrik tersebut tetap ada tetapi fee atau honor untuk penulis dipangkas. Misalnya, honor tulisan untuk rubrik Cerpen Anak yang dulunya 150 ribu, dipangkas menjadi 50 ribu.

Persoalan kian rumit, ketika honor kian mengecil, tetapi bagian keuangan media massa tersebut tak kunjung mentransfer honor ke nomor rekening kita. Maka, saya sangat-sangat memaklumi ketika ada sebagian penulis yang memilih berhenti menulis karena kondisi-kondisi tak menyenangkan seperti ini, sementara hidup terus berjalan dan kebutuhan hidup kian mendesak dan harus segera dituntaskan dengan berlembar-lembar uang.

BACA JUGA  Baca Buku Tapi Lupa Isinya, Rugi Dong?

Saya sangat memaklumi ketika sebagian penulis beralih ke profesi lain yang lebih menjanjikan atau lebih cepat mendatangkan uang daripada menunggu-nunggu honor tulisan yang tak kunjung dibayar.

Tentu saja, masih banyak hal-hal menyedihkan lainnya perihal nasib penulis lepas di era sekarang yang tak bisa saya ceritakan panjang lebar dan mendetail dalam tulisan saya kali ini. Namun pada intinya, sebagai penulis freelance, tantangan yang harus dihadapi di era digital seperti sekarang ini memang luar biasa besar. Hanya mereka yang tangguh dan tak kenal putus asa yang sepertinya akan terus bertahan menjalani profesinya sebagai penulis.

Saya adalah orang yang masih terus betah bertahan di dunia kepenulisan dan tetap berusaha mencari cara atau trik agar tulisan-tulisan saya berhasil dimuat di berbagai media massa Tanah Air yang masih tetap berjaya hingga kini. Memang betul, banyak media massa gulung tikar atau beralih ke versi digital dan mempersempit ruang gerak penulis lepas atau tak lagi memberikan reward berupa honor.

Namun, kalau kita berusaha jeli, mencari dan terus mencari, ternyata masih ada lumayan banyak media massa (khususnya media massa online yang kini banyak bermunculan) yang berupaya memberikan reward (fee) bagi penulis lepas seperti saya. Reward yang, tentunya, dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup saya seperti membayar listrik, membeli kuota, membeli makanan dan minuman, dan sebagainya.

Menurut pandangan saya, para penulis freelance di era digital, harus berusaha selektif memilih media massa yang ingin dituju. Tak perlu kita berlelah-lelah mengirimkan tulisan ke media massa yang tak menyediakan penghargaan kepada penulis.

Carilah media massa yang benar-benar menghormati (memberikan honor) para penulis, meski honornya tidak begitu banyak. Ini menurut pendapat saya, lho. Hal ini lebih baik ketimbang tulisan kita dimuat media cetak nasional namun kita tidak mendapatkan apa-apa alias tulisan kita dimuat ‘gratisan’.

Ini kalau ditinjau dari segi finansial lho, ya? Beda cerita ketika para penulis hanya ingin mendapatkan nama, eksistensi, sekadar berkarya tanpa berharap harta benda, hanya niat berdakwah, mencari pahala, atau sebagai alat untuk menaikkan jabatannya, maka menulis tanpa “dibayar” baginya mungkin tidak akan menjadi sebuah persoalan.

Namun, terlepas dari motivasi kita dalam menulis, yang namanya tulisan kalau sudah terbit di media massa, mestinya kita mendapatkan imbalan (honor atau fee) sekadar pelepas lelah. Karena sepengetahuan saya, media massa tersebut juga hidup dari uang iklan, banyaknya viewer, dan sebagainya.

Ini artinya, media massa tersebut memiliki penghasilan yang sebagiannya bisa dialokasikan untuk membayar honor buat para penulis lepas. Jadi, rasa-rasanya sangat zalim ketika tulisan kita dimuat di media massa tersebut tapi tidak mendapatkan kompensasi apa-apa. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto
Bermukim di Kebumen, tulisannya dalam berbagai genre tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru