26.7 C
Jakarta

Mengapa Ideologi Hizbut Tahrir (HT) Masih Eksis Sampai Detik Ini?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMengapa Ideologi Hizbut Tahrir (HT) Masih Eksis Sampai Detik Ini?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Ketika berbicara tentang Islam radikal (atau pemeluk Islam yang tertutup pemikirannya), ingatan ini selalu tertuju pada sebuah organisasi besutan Taqiyuddin an-Nabhani, Hizbut Tahrir (HT) atau HTI (huruf “i” di akhir menunjuk cabangnya di Indonesia). HTI memang sudah lama dibubarkan pada pemerintahan Jokowi pada tahun 2017. Sudah lima tahun organisasi radikal ini tidak memiliki legalitas di negara merah putih ini.

Meski begitu, pembubaran HTI bukanlah akhir dari tumbuh dan berkembangnya organisasi ini. Sampai detik ini saja, masih banyak yang mengkampanyekan ideologi HTI, meski mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi. Semisal, Ismail Yusanto yang secara malu-malu menyebut dirinya bagian dari HTI ketika mengisi seminar tertutup. Selain itu, Felix Siauw (ada beberapa yang menyebutnya “ustaz” atau Ustaz Felix Siauw) yang getol menyuarakan pentingnya Khilafah tegak di negeri ini.

Tak kalah “noraknya”, Abdul Qadir Baraja menyuarakan secara terang-terangan ideologi HTI dalam sebuah organisasi yang didirikannya, bernama, Khilafatul Musliman atau dapat disingkat menjadi “KM”. Melalui nama organisasinya, KM sudah memperlihatkan di hadapan bangsa ini pentingnya umat Islam mendirikan khilafah sebagai sistem suatu negara. Bahkan, KM prinsipnya adalah mengganti ideologi negara Pancasila dengan Khilafah. Prinsip ini jelas bertentangan dengan (bila enggan berkata “berbahaya terhadap”) ideologi negara yang dibentuk dan disepakati oleh semua pemeluk agama, baik muslim maupun non-muslim.

Mungkin Anda bertanya, bagaimana cara untuk mengatasi tumbuh dan berkembangnya kelompok radikal di negara ibu pertiwi ini? Pertanyaan ini cukup rumit untuk dijawab ketika dihadapkan dengan teori konflik yang dikembangkan Lewis Alfred Coser, sosiolog asal Jerman-Amerika. Bagi Coser, konflik dalam masyarakat merupakan peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur hubungan-hubungan sosial. Maksudnya, semakin besar konflik itu terjadi, maka semakin kuat persatuan dalam kelompok itu.

Teori konflik Coser ini mengingatkan saya pada keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI. Pembubaran ini secara tidak langsung menyerang kebebasan kelompok radikal ini hidup. Dihadapkan dengan serangan ini, tentu mereka akan mencari cara untuk mencegah atau menyelamatkan diri sehingga dari situlah mereka membentuk sebuah kekuatan untuk melakukan serangan balik. Buktinya, meski HTI dibubarkan, ideologinya masih tetap eksis sampai detik ini. Disadari atau tidak, mencegah ideologi itu sangat sulit, karena ia bersifat abstrak dan tentunya ia cukup privasi, sehingga sangat sulit terdeteksi.

BACA JUGA  Definisi Hari Tenang di Tengah Maraknya Kampanye di Media Sosial

Teori konflik Coser ini bukan menyalahkan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Sekali lagi tidak begitu. Apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membubarkan organisasi radikal adalah langkah preventif atau pencegahan yang cukup efektif jika (kata “jika” ini menunjuk syarat-syarat yang harus dipenuhi agar langkah yang diambil tidak sia-sia) dibarengi dengan deradikalisasi yang kontinu: Pertama, membumikan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin atau model berislam yang menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap semesta alam, termasuk terhadap semua manusia, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Model berislam semacam ini tidak bakal menghadirkan kebencian di tengah-tengah pemeluk agama yang berbeda-beda. Ia akan selalu merangkul perbedaan dengan penuh cinta.

Kedua, memberikan pemahaman pentingnya cinta tanah air terhadap bangsa ini. Banyak bangsa ini dicuci otaknya oleh ustaz-ustaz radikal yang gemar mengkafirkan cinta tanah air. Mereka berdalih, cinta tanah air (atau nasionalisme) bukan bagian dari ajaran Islam. Sampa di sini mereka sudah kelihatan kebodohannya. Mereka tidak membaca teks-teks Al-Qur’an secara utuh. Padahal, pada surah al-Qashash ayat 85 disebutkan Nabi Muhammad Saw. yang merindukan tanah kelahirannya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi mencintai tanah airnya, Mekkah.

Ketiga, menanamkan pentingnya mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Kemanusiaan hendaknya diletakkan di atas kepentingan politik. Saya meyakini munculnya kelompok radikal, termasuk HTI, tidak lepas dari kepentingan politik untuk merebut kekuasaan di negara ini. Mirisnya, kelompok radikal mengorbankan kemanusiaan guna menggapai kepentingan yang bersifat sementara itu. Perhatikan Nabi dalam sepanjang dakwahnya selalu mengutamakan nilai kemanusiaan. Nabi tidak pernah mencela tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir itu.

Sebagai penutup, HTI memang sudah lama dibubarkan. Meski begitu, deradikalisasi hendaknya terus dilakukan secara masif. Lakukan deradikalisasi dengan tiga cara: Pertama, membumikan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin atau model berislam yang menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap semesta alam, termasuk terhadap semua manusia, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Kedua, memberikan pemahaman pentingnya cinta tanah air terhadap bangsa ini. Ketiga, menanamkan pentingnya mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru