32.1 C
Jakarta

Mengapa Arab Jadi Bangsa yang Terpuruk?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMengapa Arab Jadi Bangsa yang Terpuruk?
image_pdfDownload PDF
Judul: Mengapa Bangsa Arab Terpuruk, Penulis: Musthafa Abd Rahman, Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Cetakan: Pertama, 2022, Tebal: xxii+226 hlm., ISBN: 978-623-346-668-4, Peresensi: Musyfiqur Rahman.

Harakatuna.com – Dengan nada sangat sinis, seorang intelektual asal Libanon bernama Samir Kassir menulis buku profokatif berjudul Taammulat fi Syaqa’ al-‘Arab (Renungan-Renungan Perihal Kesengsaraan Bangsa Arab) yang terbit pada tahun 2004. Dalam buku ini, Kassir menelanjangi bangsanya sendiri dengan membeberkan fakta-fakta yang nyaris tak terbantahkan.

Ia bahkan berkesimpulan bahwa Arab adalah bangsa yang paling mengenaskan akibat keterpurukan dan ketidakberdayaan mereka dalam beberapa dekade terakhir. Keterpurukan tersebut nyaris menggerogoti mereka dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari budaya, pendidikan, sosial, politik, militer dan ekonomi.

Wacana tentang keterpurukan bangsa Arab sudah lama disuarakan, bahkan oleh kalangan intelektual Arab sendiri. Banyak buku ditulis dan berbagai kajian dilakukan untuk menyuarakan kegelisahan bangsa yang sudah sangat jenuh berada dalam titik keterpurukan. Beragam respons pun berdatangan, ada pihak yang menerima fakta keterpurukan ini, namun juga tak sedikit pihak yang menuding intervensi asing sebagai penyebab utama dari keterpurukan ini.

Buku Mengapa Bangsa Arab Terpuruk karya Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas yang sudah puluhan tahun meliput kawasan Timur Tengah, turut hadir memperkaya wacana keterpurukan bangsa Arab.

Buku yang ditulis dari Mesir, jantung kebudayaan Arab ini selain banyak merujuk kepada para intelektual Arab sendiri, juga didasarkan pada sejumlah pengalaman penulisnya selama melakukan reportase di negara-negara Arab. Selain itu, buku ini tak luput mengangkat isu dan kondisi terkini yang terjadi di berbagai negara Arab.

Dalam buku ini, Rahman membagi era modern keterpurukan bangsa Arab menjadi dua periode. Periode pertama pada tahun 1940-1950-an, yaitu saat negara-negara kolonial Barat mencangkokkan Israel di tanah Arab, Palestina. Eksodus besar-besaran terjadi selama periode itu dan perang besar pun pecah tak terhindarkan.

Gema kebangkitan bangsa Arab pasca era-kolonial redup seketika. Periode kedua pada tahun 1960-an, yaitu saat nasionalisme harus menelan kenyataan pahit setelah kekalahan besardalam perang melawan Israel di tahun 1967. Nasionalisme Arab sebagai cita-cita dan semangat perjuangan pemimpin besar Arab, Gamal Abdel Nasser kandas setelah sang empu meninggal pada tahun 1970 (hlm. 8-9).

Keterpurukan demi keterpurukan yang dialami bangsa Arab seolah bak kutukan. Belum pulih luka masa lalu akibat kekalahan memilukan, mereka terus menerima kenyataan baru bahwa dunia seperti sudah tak berpihak pada mereka. Tak pelak, Dunia Arab menjadi kawasan paling berkecamuk di era ini. Negara-negara besar yang saling berebut pengaruh dan kepentingan semakin kuat menancapkan taring-taringnya, seiring dengan merebaknya berbagai krisis yang melanda negara-negara Arab.

BACA JUGA  Meneroka Wajah Islam Madura; Pembacaan Reflektif Lokalitas Muslim Pulau Garam

Bangsa Arab sudah berkali-kali melakukan segala upaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman kutukan keterpurukan. Setelah terbentuknya negara-bangsa pasca era-kolonial, negara-negara Arab sejatinya mulai memasuki asa baru untuk menyongsong sejarah baru mereka.

Tetapi sayangnya, asa itu tak dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh, utamanya dalam penguatan sistem politik mereka yang lebih terbuka dan demokratis. Sehingga instabilitas politik domestik kerap kali menjadi salah satu pemicu utama keterbelahan mereka yang berujung pada kejatuhan negara.

Faktor politik yang sangat rentan, menguatnya gerakan-gerakan sektarianisme, semakin lebarnya jurang kemiskinan dan korupsi yang menggurita di kalangan elit penguasa adalah sederet persoalan kunci dalam sendi-sendi bangsa Arab. Untuk menyembuhkan segala penyakit kronis ini, tak cukup hanya teriakan revolusioner dengan cara menumbangkan rezim penguasa.

Sebab faktanya, pergantian rezim di Dunia Arab tak selalu berakhir dengan baik. Musim Semi Arab (Arab Spring) sudah membuktikan kegagalan tersebut. Kalau pun Tunisia dianggap negara yang paling berhasil melakukan transformasi ke arah demokratis pasca-Musim Semi Arab, namun negara-negara seperti Libia, Yaman, Suriah, dan lainnya masih jauh panggang dari api. Bahkan bisa dibilang, sejumlah negara yang mengalami Musim Semi itu mengalami kerugian besar serta masuk dalam kubangan perang bersaudara.

Untuk melepaskan diri dari kutukan bernama keterpurukan, nampaknya bangsa Arab tak cukup hanya melakukan pembenahan dari aspek politik. Perubahan yang dimotori oleh dominasi politik, terbukti tak bisa bertahan lama. Karena perubahan politik yang datang secara tiba-tiba bak gelombang tsunami, biasanya menimbulkan reaksi balas dendam dari kalangan yang tersisihkan. Dan ini menjadi mata rantai kebencian yang bisa saja dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan eksternal.

Gerakan kebudayaan bisa menjadi tawaran paling relevan, bagi bangsa Arab yang sudah frustrasi mengidap penyakit keterpurukan. Dalam buku ini, Rahman juga menguraikan pandangan-pandangan para intelektual Arab yang punya perhatian pada aspek pendidikan dan kebudayaan.

Salah satunya, ia mengutip Jibril al-Obeidi yang meyakini bahwa untuk meninggalkan dunia kegelapan dan kebodohan, bangsa Arab harus membangun kebangkitan ilmu pengetahuan (hlm. 108-109). Meski membangun pengetahuan adalah gerakan yang terlihat pelan, namun untuk tradisi mereka yang mudah bertikai, sepertinya inilah solusi yang paling relevan. Selebihnya, selamat membaca. Wallahua’lam.

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru