27 C
Jakarta

Mengapa Aktivis HTI Tidak Setuju Ibu Kota Pindah?

Artikel Trending

Milenial IslamMengapa Aktivis HTI Tidak Setuju Ibu Kota Pindah?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Legalisasi RUU Ibu Kota Negara (IKN) baru menjadi UU masih menuai polemik hingga kini. Di luar komentar para intelektual, politisi, dan ekonom soal ibu kota baru yang dianggap terburu-buru dan kentara problematis, ada juga komentar yang datang dari para aktivis khilafah. Mereka, para aktivis khilafah ini, jelas tidak menggunakan identitas asli; HTI misalnya. Namun mendeteksi mereka tidaklah sulit. Kritiknya selalu dekonstruktif dan hanya punya satu tujuan: menjelekkan pemerintah Indonesia.

Pada Senin (17/1) kemarin, kanal YouTube Ahmad Khozinudin melakukan tayangan langsung Mimbar Tube dengan judul “Tolak Pindah Ibukota Negara, Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat!?”. Di bagian logo, terpampang jelas bendera HTI. Ini mengingatkan kita bahwa Khozinudin adalah advokat yang berkhidmat kepada kelompok transnasional. Ia seorang pengacara, yang beberapa waktu lalu menjadi kuasa hukum untuk membela kasus-kasus yang menjerat rekannya sesama aktivis khilafah.

Saat ini Khozinudin menjabat sebagai Ketua Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU), suatu komunitas kamuflase yang dibentuk setelah LBH Pelita Umat terbongkar sebagai mengadvokasi para aktivis khilafah dan segala polemiknya. Beberapa waktu lalu, Khozinudin dengan lantang membela khilafah melalui tulisannya, Menag Bikin Gaduh, Khilafah yang Dituduh. Sepak terjangnya dalam urusan khilafahisasi NKRI tak diragukan; ia menjadi tangan kanan para gembong khilafahisme.

Dalam video berdurasi dua setengah jam yang hari ini telah ditonton 14.000 kali, moderator memperkenalkan para hadirin di situ sebagai advokat, tokoh ulama, pengamat politik, dan pengamat ekonomi. Selain Khozinudin, di situ hadir pula Muhamad Ishak, yang berbicara masalah ekonomi keumatan khilafah. Hadir pula Agung Wisnu Wardana, aktivis ’98 yang kini menjadi khilafahers di IPB Bogor, juga hadir pula Wartawan Forum Network (FNN) Edy Mulyadi.

Penting dicatat, nama yang terakhir tadi, Edy Mulyadi, adalah Caleg gagal PKS yang beberapa bulan lalu sempat diperiksa polisi karena membuat konten vlog di kanal YouTube miliknya usai penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI). Selain mereka, hadir pula Azam Khan, Sekjend Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Dan yang paling penting, di situ hadir pula Anggota DPP HTI, Irwan Syaifullah, yang oleh moderator diperkenalkan sebagai ulama DKI Jakarta. Sangat menipu!

Kritik Palsu

Dalam keseluruhan video, para aktivis khilafah tersebut mengkritik kebijakan dan UU IKN dari berbagai sisi yang kesimpulannya buruk semua. Tidak ada satu pun analisis yang mengapresiasi IKN, bahkan merambah terhadap kampanye hitam rezim hari ini sebagai oligarki yang menyengsarakan rakyat. Sementara mereka memakai data akurat untuk memanipulasi fakta, mereka menyeret para pemirsa ke dalam tahapan paling dasar untuk membenci tatanan pemerintahan sekarang.

Lalu bagaimana dengan kritik mereka, apakah sama sekali tidak benar?

Satu sisi, harus diakui bahwa para aktivis HTI itu memiliki data faktual yang tidak mudah dibantah. Namun demikian, datanya bersifat sebelah pihak, tidak mencakup dua sisi (cover both side). Ini adalah permainan data belaka yang manipulatif. IKN baru, Nusantara, misalnya, mereka anggap sebagai sesuatu yang murni produk politik oligark yang punya tanah ratusan ribu hektar. Sepintas terlihat masuk akal, namun analisis yang kadung apologis justru memperlihatkan kecacatan mereka sendiri.

BACA JUGA  Menyetop Pemecah-Belah Umat di Aksi 212

Itulah yang disebut kritik palsu. Kritik yang sejak dalam pikiran sudah diproyeksikan untuk menyudutkan pihak tertentu. Maka jika ditanya apakah data mereka benar? jawabannya iya. Tetapi apakah analisis mereka baik dalam bidang politik, hukum maupun ekonomi sudah presisi, itu membutuhkan kajian ulang. Terlebih lagi para analis dan advokat yang hadir bukanlah advokat sungguhan. Mereka adalah para khilafahers yang sengaja dirancang hanya untuk memperkeruh keadaan.

Yang perlu menjadi catatan bersama ialah bahwa ternyata aktivis HTI sudah menjalar ke berbagai bidang. Mereka punya pegiat hukum, pegiat ekonomi, pegiat politik, dan pegiat media sosial. Tentu, ini merupakan perkembangan signifikan dari pergerakan HTI. Mereka telah lengkap secara formasi, ditambah lagi Felix Siauw sebagai panutan keagamaan yang sangat berpengaruh di kalangan internal mereka dan sebagian besar kaum milenial Indonesia.

Pada akhirnya kesimpulan bisa dibuat: esensi kritik para aktivis HTI bukanlah pada data yang mereka kutip, melainkan pada pemerintah yang mereka ingin hancurkan integritasnya di hati masyarakat. Kritik mereka adalah kritik palsu untuk memuluskan agenda lama, yakni menanamkan kerinduan akan khilafah yang selama ini di-branding sebagai yang penuh keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Kritik IKN dengan demikian adalah kritik demi tegaknya khilafah. Mereka tengah menginfiltrasi kepada masyarakat umum.

Infiltrasi Aktivis HTI

Seandainya tidak diulas, dalam tulisan ini, tidak ditelanjangi siapa mereka semua yang hadir dalam live Ahmad Khozinudin kemarin, maka mungkin tidak banyak yang tahu bahwa mereka semua adalah dedengkot HTI dan jajaran partisipannya. Tokoh utama seperti Ismail Yusanto, Jubir HTI memang tidak akan bicara langsung, namun dia memiliki kader dan sejawat di tubuh DPP HTI. Di tangan mereka semua HTI tetap eksis tanpa terdeteksi sehingga melahirkan infiltrasi.

Infiltrasi di sini tidak pada sebuah organisasi, sebagaimana HTI dulunya menyusup ke berbagai komunitas di bahkan kementerian. Yang terjadi hari ini adalah infiltrasi kepada masyarakat umum, secara keseluruhan, menggunakan taktik manipulasi analisis data, sehingga seolah-olah mereka bukan HTI melainkan para warga negara yang ingin melihat negaranya lebih baik. Para aktivis HTI meruntuhkan marwah demokrasi tanpa masyarakat sadari mereka tengah jadi korban.

Dengan melihat seluruh fakta ini, maka jawaban dari pertanyaan dalam judul menjadi jelas. Mengapa aktivis HTI tidak setuju ibu kota pindah? Alasannya dua. Pertama, mereka khawatir tidak bisa bergerak di ibu kota yang baru nanti, sehingga bagaimana pun caranya rencana pemindahan ibu kota harus dilawan. Bukankah mereka selama ini paling leluasa bergerak di ibu kota? Kedua, kritik dan ketidaksetujuan mereka hanya gimmick. Aslinya, mereka hanya ingin pemerintah menjadi sangat buruk dan sangat dibenci masyarakat.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru