28.9 C
Jakarta

Mengantisipasi Partai Teroris, Mencegah Ancaman untuk NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamMengantisipasi Partai Teroris, Mencegah Ancaman untuk NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepala BNPT RI, Boy Rafli Amar membuat pernyataan menarik bahwa pengurus salah satu partai politik (parpol) tidak lolos verifikasi KPU ternyata terafiliasi jaringan terorisme. Menurutnya, pengurus yang terafiliasi merupakan unsur pimpinan parpol itu sendiri. Tidak hanya itu, Boy juga menegaskan bahwa temuan tersebut menjadi bukti upaya penyusupan kelompok radikal melalui jalur demokrasi, dengan memanipulasi platform kebangsaan dalam internal partainya.

“Jadi memang benar ada. Itu sudah ada perubahan strategi dari peluru ke kotak suara. Ini adalah salah satu siasat jaringan-jaringan yang terafiliasi, termasuk kelompok intoleran untuk bisa menjadi bagian dalam pesta demokrasi kita. Makanya kita juga diminta klarifikasi bahwa ada partai yang pengurusnya ada afiliasi ke jaringan teroris. Satu partai. Kita harus jaga ke depan jangan sampai membentuk partai baru tetapi pengurusnya adalah kelompok intoleran, radikal, teroris,” tegas Boy.

Untuk diketahui, proses seleksi parpol peserta Pemilu 2014 dimulai pada 1-14 Agustus 2022 lalu dengan proses pendaftaran ke KPU. Sebanyak 40 partai politik menyodorkan dokumen pendaftaran agar dicacat sebagai peserta Pemilu. Dari 40 partai tersebut, KPU menyatakan 16 parpol gugur karena tidak lengkap dokumen administrasinya.Dan dari 24 partai lolos seleksi administrasi, enam di antaranya dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi.

Ketika muncul statement Kepala BNPT tentang potensi terorisme di tubuh suatu parpol, banyak yang bertanya; apakah isu tersebut valid dan, jika iya, mengapa Boy merahasiakan nama partai tersebut. Pada saat yang sama, teroris dikenal sebagai partisan anti-demokrasi. Bagaimana mungkin terorisme mengancam NKRI dari sisi antipati teroris terhadap demokrasi itu sendiri? Spekulasi pun tidak terhindarkan. Muaranya adalah bahwa NKRI tengah berada dalam ancaman.

Partai Jadi Strategi Terorisme

Dari Kotak Menjadi Peluru. Kalimat yang tidak asing, bukan? Ia berbicara perihal filantropi terorisme yang memanfaatkan kotak amal di masjid-masjid sebagai pendanaan kelompok teror. Niat ikhlas umat untuk beramal justru dimanfaatkan untuk menghidupi teroris dan operasi mereka, terutama untuk logistik senjata. Si pemberi niatnya tulus, si penerima niatnya jahat. Yang semula hanya kotak amal, ternyata jadi peluru. Tapi, memang strategi teroris selicik itu.

Sebagai kelompok bawah tanah atau organisasi tanpa bentuk, terorisme menggunakan taktik gerilya strategis untuk keberlangsungan organisasi mereka. Di Afghanistan, kelompok ekstremis bergantung pada opium. Tidak dipersoalkan apakah bisnis tersebut dilarang dalam Islam, teroris memiliki pembenarannya sendiri. Dari sini, maka masuk akal apa yang Kepala BNPT katakan bahwa hari ini teroris lokal menggunakan pesta demokrasi untuk aksi jangka panjang mereka.

BACA JUGA  Menunggu Tindakan Strategis Pemerintah terhadap Propaganda Khilafah

Ihwal kelompok teroris mana yang perlu diantisipasi, perlu digarisbawahi bahwa ancaman ini bersifat umum. Kelompok Islam transnasional, menurut sementara pengamat, menargetkan diri untuk terlibat di parlemen dan menjadikan otoritas legal-formal sebagai jalan kepentingan terselubung mereka. Artinya, bukan hal mustahil bahwa ke depan, terutama seiring dekatnya Pemilu 2024, ada partai-partai yang sengaja didesain untuk merusak NKRI dari dalam. Ini yang harus diantisipasi.

Sebagai respons terhadap potensi partai jadi strategi terorisme, langkah KPU untuk mengetatkan seleksi sangat tepat dan patut diapresiasi. Namun, untuk memaksimalkan pencegahan ancaman untuk NKRI, stakeholder seperti BNPT krusial untuk dilibatkan dalam mengawasi seluruh parpol, baik yang lolos untuk Pemilu 2024 atau tidak. Dengan begitu, NKRI aman dari upaya perusakan jalur dalam—dan parpol kembali kepada prinsip idealnya terhadap rakyat dan negara.

Pemilu 2024 dan Ancamannya

Semakin dekat tahun 2024, suasananya memang semakin ngeri-ngeri sedap. Selain gugatan penundaan Pemilu yang sempat viral beberapa waktu oleh sebuh parpol, Pemilu 2024 kerap diprediksi menjadi puncak chaos jika polarisasi yang ada hari ini tidak juga selesai. Jadi, ancaman demi ancaman sudah banyak dikhawatirkan sejak tahun kemarin. Apalagi tahun tersebut dianggap momentum satu abad runtuhnya khilafah. Ancaman terhadap NKRI semakin nyata.

Menanggapi itu, tentu saja masyarakat tidak perlu panik. Tugas publik hanyalah mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan mengiringi pesta demokrasi. Jangan sampai ada partai yang terafiliasi terorisme atau bahkan partai teroris itu sendiri. Sekalipun teroris tidak akan pernah mengaku bahwa mereka bergerilya melalui parpol, misalnya, masyarakat mesti jeli melihat parpol mana yang anti-NKRI dan bercita-cita mengganti sistem pemerintahan—harus dilawan.

Jika ada yang hendak menyanggah dan mengatakan bahwa partai teroris hanyalah isu belaka, itu juga perlu diwaspadai. Boleh jadi ia termasuk di antara teroris sendiri, yang sedang menyamar untuk mengelabui masyarakat hingga tidak lagi percaya statement pemerintah—termasuk penyataan Boy Rafli. Mengantisipasi partai teroris adalah bagian dari pencegahan dini terorisme, sekalipun ancaman Pemilu tidak terbatas di situ melainkan juga mencakup seluruh bentuk intoleransi.

Atas semua itu, masyarakat dan pemerintah penting untuk mengoptimalisasi sinergisitas sebagai antisipasi tumbuh dan berkembangnya partai teroris dan mencegah ancaman terhadap NKRI. Negara tidak boleh kecolongan oleh para musuh demokrasi yang memanfaatkan celah demokrasi itu sendiri. Karenanya, bersamaan dengan tersingkapnya fakta tentang strategi baru teroris yang menjadi tantangan kontra-terorisme, langkah preventif perlu juga menyasar segala aspek sehingga NKRI aman.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru