25.6 C
Jakarta
Array

Mengais Amal Jariyah di Jalanan

Artikel Trending

Mengais Amal Jariyah di Jalanan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Minta sumbangan amal dijalanan seakan menjadi trend masa kini. Bagaimana sesungguhnya fikih mencermati praktek tersebut?

Hampir setiap hari kita disuguhi tontonan yang kurang sedap dipandang. Lebih-Iebih jika dirasakan. Puluhan masjid, pesantren dan panti asuhan dibangun dengan mengais sumbangan di jalanan. Caranya, mereka memasang rambu-rambu tertentu (seperti bendera, papan atau drum) agar pengendara mengurangi kecepatannya. Saat itulah petugas menyodorkan kaleng amal kepada para pengendara. Mengais sumbangan amal jariyah seikhlasnya. Di dekatnya, sayup-sayup terdengar seruan terhadap pengguna jalan agar tidak lupa menyisihkan uangnya. Bahkan sesekali mereka menyitir ayat atau hadis bak seorang da’i di atas podium. Manakala terlihat ada kaleng yang terisi, sontak mereka mengucapkan terima kasih dan memanjatkan seribu doa untuk sang pemberi amal. Meski yang masuk recehan lima puluh atau seratus perak sekalipun.

Sepintas, fenomena di atas terlihat sederhana. Tapi jika ditelusuri secara mendalam, persoalan ini terasa cukup dilematis. Di tengah krisis seperti ini, mencari dana memang bukan persoalan gampang. Masyarakat sudah pontang-panting dengan urusan perutnya sendiri. Para aghniya’ (orang kaya) juga mulai banyak gulung tikar. Karena itulah, salah satu solusi yang efektif adalah memobilisasi dana dengan mengumpulkan uang recehan di jalanan. Akan tetapi, hal ini juga mengundang persoalan yang patut untuk dipertimbangkan. Pertama, kedua teknik tersebut berpotensi mengganggu kenyamanan pengguna jalan atau penumpang. Lalu yang kedua, praktek itu terkesan menjatuhkan ‘prestise’ Islam di hadapan kaum Muslimin maupun di hadapan agama lain.

Dari spektrum di atas, muncul berbagai macam persoalan, Bagaimana pandangan fikih terhadap usaha menjaring sumbangan di jalanan tersebut? Termasuk dalam akad apakah sumbangan tersebut? Bolehkah sang penarik sumbangan mengambil prosentase sebagai ‘uang lelah’ dirinya?

Untuk menjawab persoalan ini, kita perlu tahu terlebih dahulu pandangan Islam terhadap meminta-minta. Berkaitan dengan persoalan Ini Rasulullah Saw. Bersabda:

 

Barang siapa yang meminta-minta kepada orang lain, untuk memperkaya dirinya, maka ia meminta siksaan neraka. Karena itu silahkan memperbanyak atau mempersedikit, [Sunan Ibn Majah [1837] 589:I)

Sabda Nabi di atas memberikan kecaman terhadap orang yang meminta-minta. Menanggapi persoalan ini, para ulama sepakat bahwa hukum meminta-minta bagi orang yang mampu pada saat kondisi normal (tidak ada darurat atau kebutuhan yang mendesak) adalah haram. Sekilas hal ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an :”Adapun kepada peminta-minta janganlah kamu menghardiknya” [Ad-Duha [931,101 demikian juga dengan hadis Nabi :”berilah orang yang memintaminta meskipun ia datang dengan mengendarai kuda ” [Faid alQadiri1162], 562: |]

Tapi jika ditelaah lebih lanjut, ternyata tidak. Sebab yang dimaksud ayat di atas adalah larangan kepada kita untuk menghardik atau mencaci maki kepada peminta-minta. Bukan berarti memperbolehkan meminta-minta. Sementara teks Hadis tersebut diarahkan kepada peminta-minta yang berpenampilan kaya, tapi mereka benar-benar membutuhkan. Bahkan menurut sejumlah pakar-pakar Hadis seperti as-Sakhawi, sanad Hadis ini dlo’if. Sehingga tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil.

Sementara tentang hukum meminta-minta bagi orang mampu bekerja ketika dalam kondisi darurat, terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Kelompok pertama, menegaskan bahwa hukum meminta-minta itu haram secara mutlak. Lain halnya dengan kelompok kedua. Mereka berpendapat bahwa hal itu boleh (tapi makruh) jika memenuhi tigi syarat. Pertama, tidak sampai merendahkan dirinya. Kedua, tidak ngotot dan merengek-rengek saat memintanya. Dan yang ketigra. menyakiti dan mengganggu orang yang dimintai. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka haram.

Berkaitan dengan persoalan ini, Imam Al-Ghazali mengemukakan penjelasan kenapa hal tersebut diharamkan. Menurut beliau, karena persoalan tersebut tidak akan bisa keluar dari tiga jebakan yang diharamkan. Pertama, menampakkan keluh kesah (as-Syakwa) terhadap Allah. Meminta-minta adalah pertunjukan yang mempertontonkan kefakiran yang berujung pada kesimpulan bahwa rahmat Allah kepada orang itu kurang. Inilah yang disebut esensi keluh kesah. Kedua, secara tidak langsung, meminta-minta tergolong merendahkan diri kepada selain Allah. lni dilarang keras agama. Seorang mukmin semestinya pantang merasa rendah kecuali di hadapan Allah. Ketiga, peminta-minta berpotensi menyakiti (memaksa) orang yang dimintai, sehingga ia kurang ikhlas. Jika ia memberi kepada si peminta-minta hanya termotivasi enggan atau riya’, maka hukum mengambil sumbangan itu haram. [Ihya’ Ulum ad-din, 179-180:lV, ltlaf ,302:I]

Jika kita cermati, keharaman tersebut ditujukan pada kasus meminta-minta untuk kepentingan pribadi. Lalu, bagaimana jika meminta-minta dipertunjukkan kepada kemaslahatan umum kaum Muslimin?

Menanggapi persoalan ini, nampaknya pendapat ulama telah menjadi dua. Kelompok pertama, menyatakan hal itu sah-sah saja. Masjid, pesantren dan panti asuhan merupakan syiar agama Allah. Membangun bangunan tersebut berarti sama dengan menegakkan syi’ar agama Allah. Karena itu apapun harus dilakukan. Ibaratnya, jangankan keringat, nyawa pun mesti dikorbankan.

Lebih-lebih jika hal itu dianggap sebagai cara paling efektif kenapa mesti dilarang. Sebab, masih menurut mereka, tidak ada dalil tegas yang menganjurkan ataupun melarang meminta sumbangan di jalanan. Nash yang ada hanya menyangkut meminta sumbangan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan untuk kepentingan umum, justru Rasulullah Saw. Melegitimasi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Sebuah riwayat hadis :

Diriwayatkan dari Abi Basyr Qubaidlah Ra. Beliau mengatakan ; ”saya mempunyai tanggungan utang (untuk kepentingan umum), kemudian sowan kepada Rasulullah untuk meminta sumbangan darinya. Geliau menjawab :’diamlah sejenak, sampai ada sedekah untukku Gunakanlah untuk menyelesaikan utangmu. Wahai Qubaidlah sesungguhnya meminta-minta tidaklah halal kecuali untuk tiga hal Pertama, seseorang yang menanggung beban (untuk kepentingan Umum). Ketika itu, halal baginya minta sumbangan. Jika lunas, maka dia wajib berhenti. Kedua, seseorang yang bangkrut karena tanaman (mata pencaharian)-nya terserang penyakit. Dalam kondisi demikian ia boleh meminta-minta hingga ia menemukan penopang kehidupan hidup Ketiga, orang yang betul-betul jatuh miskin, sehingga masyarakat (disimbolisasikan dengan ucapan 3 orang) mengakui :”si fulan sungguh jatuh miskin”. Dalam kondisi demikian, ia juga boleh meminta-minta sampai ia menemukan penopang kebutuhan hidup. Wahai Qubadlah, selain yang tiga ini jelas haram, peminta-minta itu makan barang haram“. [Syarh Shahih Muslim [109], 118-119:IV]

Beda halnya dengan kelompok kedua. Mereka mensinyalir dalam praktek itu terdapat unsur idza’ (mengganggu) lalu lintas atau kenyamanan pengendara. Sebagaimana diterangkan dalam Sulam Taufiq ; meminta-minta jika sampai menghinakan diri, atau dengan cara memaksa (ngotot), atau bahkan kalau sampai menyakiti yang diminta, maka hukumnya haram. Sekalipun ia membutuhkan. [Sullam Taufiq, 70, Syarah Shahih Muslim, 114: IV]

Di samping itu, praktek itu dapat menurunkan “harga diri“ lslam. Baik dihadapan kaum Muslimin sendiri maupun dihadapan agama lain. Ini jelas tidak layak. Karena Al-lslam Ya’lu Wala Ya’la Alaih.

Jadi, menurut kelompok kedua ini, meletakkan rambu-rambu (bendera, papan dan drum) di tengah jalan termasuk mengganggu pengendara. Di sisi lain, kedua praktik tersebut disinyalir dapat menurunkan harga (muru’ah) Islam. Karena hal itu mengesankan kaum muslimin tidak mampu membangun sarana ibadahnya sendiri. Sehingga harus merengek-rengek sumbangan kepada setiap orang. Padahal kadang kala yang dimintai belum tentu orang Islam.

Jika mencermati argumentasi kedua kelompok ini, sesungguhnya mereka sepakat bahwa : Pertama, minta sumbangan dengan mengumpulkan uang recehan itu boleh. Kedua, menyakiti atau mengganggu orang yang dimintai sumbangan adalah dilarang. Yang belum sepakat diantara mereka : Pertama, apakah meletakkan rambu-rambu termasuk mengganggu pengendara atau tidak?. Kemudian yang Kedua, apakah minta sumbangan dengan cara memungut uang recehar dijalan termasuk merendahkan martabat Islam atau tidak?

Lalu untuk masalah kedua, mengganggu (idza’) atau tidaknya kepada penderma. Masalah ini tidak bisa dihukum secara personal. Sebab, bisa jadi menurut yang satu mengganggu sedangkan yang lain tidak. Karena itu, sangat bergantung kesepakatan masyarakat dan pengguna jalan.

Tentang harga diri Islam, sebenarnya merupakan masalah budaya. Tidak ada ukuran secara pasti. Yang ada hanya ilustrasi. Karena litu, untuk mengukur menurunkan harga diri atau tidak tentu sangat tergantung pada penilaian budaya setempat.

Mencermati pertimbangan di atas, maka menjaring sumbangan di jalan boleh-boleh saja asal; pertama, tidak ada jalan lain yang ‘ dianggap efektif. Kedua, cara melakukannya penuh dengan kesopanan, selaras dengan etika Islam dan budaya bangsa. Ketiga, tidak ada unsur ‘memaksa’ untuk penyumbang. Keempat, menghindari peletakan rambu-rambu yang dapat mengganggu lalu lintas, karena secara yuridis tidak punya hak meletakkan hal itu.

Selanjutnya, bagaimana status sumbangan tersebut? Bisakah ia dikategorikan sebagai wakaf?. Jika kita merujuk kepada fikih, nampaknya hal itu tergolong sedekah biasa. Untuk masuk ke dalam wakaf sangat sulit. Sebab, barang yang diwakafkan harus terdiri dari benda yang bisa kekal. Lalu, bolehkah penarik sumbangan mengambil prosentase sebagai ”uang lelah” sebagaimana yang berlaku saat ini? Kalau boleh termasuk dalam akad apa? Secara fikih, model prosentase ini boleh-boleh saja dilakukan. Artinya, si penarik sumbangan boleh menerima ‘uang Ielah’ dari hasil sumbangan yang dipungut. Praktek ini lebih pas dikategorikan sebagai akad ju’alah. Dalam bahasa sederhananya mungkin sejenis sayembara. Yakni, akad penetapan upah tertentu terhadap siapa saja yang bisa melakukan suatu pekerjaan tanpa ada pembatasan jangka waktu. Ada beberapa syarat yang dipatok dalam akad ini. Pertama, kedua belah pihak harus terdiri dari orang mukallaf Kedua, upahnya harus jelas. Ketiga, manfaat dari pekerjaan harus jelas dan diperbolehkan oleh syara’. Jika melihat syarat-syarat ini, maka praktek penarikan sumbangan di jalan telah memenuhi syarat ini. Mungkin yang menjadi perdebatan, apakah sistem prosentase tergolong Upah yang jelas-sebagaimana syarat keduaatau tidak. Para ulama klasik belum pernah transparan menyinggung hal ini. Mereka umumnya mengilustrasikan dalam bentuk harta yang diketahui oleh kedua belah

Namun demikiln. model prosentase bisa Juga dikategorikan sebagai upah yang jeias. Karena si penarik sumbang sudah mengetahui berapa besar upah yang akan diterima. Bedanya ia hanya mengetahui prosentasenya. Dengan demikian. no problem kalau memasukkan praktek tersebut ke dalam akad Ju’alah. [ai-Fiqh“ ” we Adriiatuhu, 787:IV].

Dari paparan di atas. -meski dengan berbagai syarat- sah saja memungut sumbangan di jalan-jalan. Namun demikian, sudah saatnya kita mencari teknik lain yang lebih efektif dan terhormat. Dan yang lebih penting kita perlu menyadari bahwa itu merupakan tanggung jawab kita bersama. Betul nggak?

 

Sumber Fiqih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru