Harakatuna.com – Langit malam Magdeburg, Jerman, Jumat (20/12) kemarin, seketika menjadi kelam. Suhu dingin bulan Desember membalut kota dengan kesyahduan khas musim Natal. Lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi kios-kios pasar; penuh aroma manis kacang panggang dan kayu manis dari anggur panas. Thi Linh Chi Nguyen berdiri di depan sebuah kios, menimbang sebuah hiasan Natal kecil yang hendak ia beli untuk sang putri di kampungnya, Vietnam.
Namun, suara keras itu tiba-tiba memecah suasana. “Aku sempat mengira itu ledakan,” ujar Linh, dilansir dari CNBC. Tangannya gemetar ketika mengingat kembali detik-detik mencekam malam itu. Dia memutar tubuhnya, mencari sumber suara. Sebuah mobil melaju kencang di tengah pasar, menghantam apa saja di jalurnya. Orang-orang menjerit. Suara kaca pecah, barang dagangan beterbangan, bercampur dengan pekikan histeris para pengunjung pasar.
Linh melihat seorang anak kecil melambung ke udara. “Dia… dia seperti boneka. Tidak ada yang bisa dilakukan,” katanya dengan mata berkaca-kaca. André Gleissner, bocah 9 tahun yang seharusnya menikmati cokelat panas bersama keluarganya malam itu, menjadi salah satu korban pertama yang merenggut perhatian Linh. Gleissner jadi satu-satunya korban dari kalangan anak-anak. Empat korban lainnya adalah wanita berusia 45, 52, 67, dan 75 tahun. Mencekam.
Mobil itu terus melaju, menerobos celah penghalang beton yang sengaja didesain untuk melindungi area pasar dari serangan teror semacam itu. Setelah melintasi kios demi kios, sang teroris berbelok ke Jln. Ernst-Reuter-Allee, lalu berhenti secara tiba-tiba di halte trem. Tersangka pun ditangkap, namun parahnya, kekacauan telah terjadi dan menjadi sorotan dunia dengan memilukan. “Islam memang teroris,” kata miliarder Elon Musk, di akun X-nya.
Hari Minggu, suasana pasar kembali dibuka. Namun, hiruk-pikuk khas Pasar Natal berubah jadi keheningan duka warga. Penduduk berjalan perlahan di antara kios-kios yang tetap tutup. Seorang pria tua berdiri di depan tugu peringatan darurat, tangannya memegang setangkai bunga mawar putih. Di sampingnya, seorang anak kecil menarik lengan ayahnya, menunjuk lilin-lilin kecil yang berkelip di dekat foto korban.
“Ayah, apakah mereka akan pulang ke rumahnya di surga?,” suara polos anak itu memecah keheningan. Sang ayah mengangguk dengan mata yang berair. Di rumah sakit terdekat, kondisi tetap sibuk. Dari 200 orang yang terluka, 41 orang masih dirawat dengan kondisi serius. Beberapa keluarga korban enggan beranjak dari ruang tunggu, menanti kabar terbaru dari dokter yang keluar-masuk dengan raut tegang. Sungguh, Pasar Natal menyisakan pilu bersama.
Hari ini, di Pasar Natal Magdeburg, jejak darah para korban telah dibersihkan. Tetapi, duka tetap membekas dan menjadi atensi dunia. Di X, Elon Musk coba mengeruk untung untuk mempromosikan X sebagai pers terpercaya, dan mengolok-olok pers Jerman yang telah menegaskan bahwa pelaku teror di Pasar Natal adalah islamofobis, imigran asal Arab Saudi yang telah murtad dari Islam. Lagi-lagi, di sini, Islam tercoreng karena peristiwa teror.
Terorisme Mencoreng Islam
Teror di Pasar Natal Magdeburg memantik narasi penuh prasangka atas Islam. Sejumlah pihak terang-terangan melabeli Islam sebagai biang keladi aksi teror tersebut. Ironisnya, fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang bertolak belakang: pelaku adalah seorang islamofobis, imigran asal Arab Saudi yang murtad dan beberapa tahun teakhir terang-terangan menyatakan kebenciannya terhadap islamisasi di Jerman. Terjadi perang pers yang sama-sama menyorot Islam. Ironi.
Dalam hitungan jam, medsos berubah jadi arena spekulasi liar. Maral Salmassi, artis DJ kelahiran Iran yang berbasis di Berlin, di X, menuding sang teroris adalah Muslim Syiah radikal yang menggunakan konsep taqiyyah untuk mengelabui masyarakat Jerman. Pernyataan Salmassi menghidupkan kembali stigma lama tentang Islam di Barat sebagai agama kekerasan. Statement Salmassi pun di-repost Musk untuk mendukung AfD, partai sayap kanan Jerman yang punya agenda anti-imigran dan anti-Islam.
Islam benar-benar telah tercoreng. Saat ini di Barat, ketika seorang Muslim terlibat aksi kekerasan, identitas agamanya langsung dijadikan dalih menyalahkan Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, ketika pelaku adalah non-Muslim, narasi yang muncul adalah gangguan mental, masalah pribadi, atau ideologi politik belaka. Bias dan berbahaya. Hal semacam itu merampas ruang masyarakat untuk memahami akar masalah teror itu sendiri.
Peristiwa di Magdeburg selaiknya jadi pengingat bahwa terorisme tidak memiliki agama, ras, atau kebangsaan. Teror adalah tindakan kekerasan untuk menciptakan ketakutan dan chaos, terlepas dari ideologi yang mendasarinya. Menjadikan Islam sebagai kambing hitam, seperti dilakukan Salmassi dan termasuk Musk, merupakan cermin ketidakadilan yang mencoreng Islam secara keseluruhan. Partai AfD pun diuntungkan perihal stigma bahwa eksistensi Muslim di Eropa adalah ancaman.
Taleb Al Abdulmohsen, sang teroris Pasar Natal di Magdeburg bukan Muslim. Justru, ia simpatisan AfD yang benci Islam. Islam tak pernah menjustifikasi kekerasan apa pun; ia mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan akhlak atau respek pada sesama. Menyalahkan Islam atas aksi seorang ekstremis-islamofobis adalah bentuk pembalikan fakta yang tidak saja mencoreng Islam di masyarakat global, melainkan juga mengkhianati kemanusiaan.
Sekali lagi, Islam tidak mengajarkan apalagi membenarkan aksi teror. Terorisme—apa pun bentuknya—adalah kejahatan kemanusiaan; pelakunya harus dihukum seberat-beratnya, tanpa menyeret identitas Islam secara stigmatis. Kenahasan di Magdeburg adalah duka bersama. Maka, stop mencoreng Islam lewat terorisme. Dan pada saat yang sama, sebagai Muslim, ada tugas moral yang tak boleh ditinggal, yaitu melawan terorisme. Hukumnya jelas: fardu ain.
Lawan Teroris Adalah Fardu Ain
Dalam maqāshid al-syarī’ah, ada beberapa prinsip urgen (dharūrī) yang mesti dipegang semua Muslim, di antaranya adalah menjaga jiwa (hifhz al-nafs). Nasnya banyak, misalnya, surah al-Maidah [5]: 32 yang menyatakan, bahwa membunuh satu jiwa tanpa alasan syar’i sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh umat manusia. Artinya, tindakan teroris menyalahi secara fundamental prinsip urgen dalam Islam.
Maka, melawan terorisme adalah fardu ain, kewajiban individual setiap Muslim. Mengambil peran aktif mencegah radikalisasi, membangun masyarakat moderat, dan mendidik generasi muda agar memahami konsep Islam rahmatan lil alamin adalah sesuatu yang niscaya. Hari ini, polanya dapat berupa kontra-narasi intoleransi, kontra-propaganda ekstremisme, dan menawarkan solusi atas masalah sosial yang menjadi akar radikalisasi itu sendiri.
Sekali lagi, melawan teroris adalah fardu ain. Sebagai Muslim, kita memiliki tanggung jawab moral menegakkan keadilan, melindungi sesama, dan memastikan bahwa dunia melihat wajah Islam yang sesungguhnya—moderat, damai, dan mengajarkan kasih sayang. Dan di atas segala luka yang dilegasi peristiwa di Magdeburg, ada keniscayaan aktual yang tak boleh masyarakat Indonesia abaikan, yaitu mewaspadai terorisme di sekitar. Selamat merayakan Hari Natal bagi umat Kristen. Salam damai.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…