33.2 C
Jakarta

Meneropong Ekstremisme UAS dalam Kacamata Birokratisasi Dakwah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeneropong Ekstremisme UAS dalam Kacamata Birokratisasi Dakwah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berita UAS dideportase (baca: dicekal) oleh otoritas imigrasi Singapura awal pekan lalu membuat heboh jagad media sosial di Indonesia. Kabar ini sontak memantik reaksi frontal dari kalangan umat Islam tanah air.

Bahkan taggar Islamophobia bertengger menjadi trending topik di twiter selama beberapa hari. Banyak kalangan menyayangkan sikap otoritas Singapura tersebut yang dinilai cenderung agitatif dan mengancam normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.

Merilis dari situs kementrian dalam negeri Singapura setidaknya ada 4 alasan UAS dicekal.  Pertama, sebagai pendakwah UAS memiliki ideologi ekstrimisme dan segragasi yang tidak bisa diterima oleh masyarakat Singapura yang multi ras dan multi agama. Kedua, UAS dinilai memiliki ideologi terorisme, dalam suatu kesempatan ceramahnya ia menghalalkan aksi bom bunuh diri yang dilakukan pejuang Palestina.

Ketiga, UAS dinilai mendiskreditkan agama lain dengan mengatakan non-muslim kafir. Keempat, UAS dinilai telah melakukan penistaan terhadap agama Kristen dengan mengatakan terdapat jin di patung salib yang disucikan oleh kaum Nasrani.

Beragam spekulasi muncul dalam menyikapi kasus ini. Sebagian memvonis Singapura sebagai Israelnya Asia Tenggara. Sebagian yang lain mengatakan kasus ini sebagai bentuk kepanikan Singapura terhadap pengaruh UAS yang notabene pendakwah kondang. Bahkan ada justifikasi bahwa kasus ini buah titipan rezim.

Entah reaksi yang menggebu-gebu ini merupakan interpretasi dari tingginya ghirah keIslaman umat Islam di negeri ini atau sebaliknya sebagai aktualisasi diri bahwa tingkat moderasi dan toleransi beragama hanya sekedar wacana belaka. Betapa moderasi menjadi obrolan renyah di kancah social-mikro akan tetapi dalam tataran makro entitasnya justru membuat (umat Islam) sang mpunya gagasan terengah-engah menahan amarah.

Bagaimana bisa suatu entitas yang menyerukan toleransi justru mengintervensi kedaulatan negara lain? intervensi diartikan sebagai sikap memaksakan realitas sosok UAS yang begitu diagung-agungkan di Indonesia untuk juga diterima di Singapura dengan segala disparitas masyarakatnya.

Cegah ekstrimisme dengan Birokratisasi dakwah

Sebagai negara yang multi ras dan multi agama Singapura memandang urgen terhadap proses birokratisasi agama. Dengan begitu negara memegang kendali penuh terhadap progresif development masing-masing agama di negeri Singa tersebut. Tak terkecuali Islam sebagai agama kedua yang sangat rentan dengan isu-isu Islamisme, ektstrimisme, radikalisme, dan terorisme.

Kendali terhadap agama yang dimaksud ialah untuk memastikan suatu agama tidak melakukan upaya-upaya resisten yang mengancam integrasi dan kedaulatannya. Realitas tersebut menjadi determinan otoritas setempat mengatur seapik mungkin regulasi dan aktifitas dakwah Islam.

Proses ini dalam bahasa Weber disebut birokratisasi yaitu sebuah sistem untuk membangun kepatuhan kepada otoritas dalam institusi modern, politik bahkan keagamaan. Penerapannya bertumpu pada prinsip legal-rasional; dimana masyarakat mematuhi suatu otoritas disebabkan adanya ketentuan hukum yang berlaku.

Apa yang terjadi pada UAS dalam kasus deportase ini adalah bagian dari birokratisasi dakwah yang diterapkan secara prerogatif di Singapura. Adapun pihak di luar kedaulatan negara tersebut tidak memiliki hak untuk mengintervensi dan tentu saja kontra-produktif.

BACA JUGA  Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Almanduri dalam jurnal yang berjudul Islamic Hegemony In Forming Religious Attitudes  mengatakan bahwa Islam adalah agama minoritas di Singapura. Maka harmonisasi umat Islam dengan penguasa setempat haruslah dijaga sehingga hal itu menjadi determinan sikap akomodatif umat Islam dengan segala kebijakan pemerintah yang otoritatif.

Meskipun kadangkala kebijakan tersebut cenderung bias dan diskriminatif, misalnya aturan penggunaan pengeras suara bagi masjid dan larangan adzan subuh menggunakan pengeras suara yang disinyalir mengganggu tidur umat beragama lainnya.

Bagian lain dari Kontrol penuh negara terhadap dakwah Islam ialah mengawasi para dai dan mengatur materi-materi dakwah yang disampaikan secara selektif baik dai domestik ataupun dai internasional yang hendak berdakwah di Singapura.

UAS salah satunya, kepiawaiannya dalam berdakwah dengan retorika yang rancak tak ayal membuat semangat umat Islam untuk berjihad seketika membuncah. Meskipun dalam kasus ini UAS dalam kunjungan sosial. Dirinya telah serta merta divonis oleh otoritas setempat sebagai sosok yang berideologi ekstremis dan segregasi disebabkan oleh ceramahnya sendiri.

Ibarat kata tak ada asap jika tak ada api. Oleh karenanya, kehadiran UAS di Singapura dikhawatirkan dapat berpotensi untuk membangkitkan ideologi ekstremis masyarakat setempat. lebih lanjut, tindakan protektif ini tidaklah berlebihan mengingat bahaya laten ekstremisme yang cenderung mengarah kepada kekerasan.

Mapannya birokratisasi dakwah di Singapura,  bagaimana dengan Indonesia?

Kasus pencekalan UAS hendaknya menjadi introspeksi bagi umat Islam khususnya para pendakwah untuk kembali merefleksikan nilai-nilai tribalisme (kekeluargaan) dalam berdakwah, bukan justru memrovokasi. Alih-alih bagi UAS pribadi, kasus ini seyogyaynya menjadi petilasan bagi pemangku kebijakan untuk berbenah dalam mengakomodir geliat dakwah di tanah air.

Pemerintah seyogianya menjadikan kasus ini sebagai kaca perbandingan betapa otoritas Singapura memandang serius dan tidak segan untuk tegas terhadap sesiapa yang berpotensi mendestruksi nilai-nilai multi ras dan multi agama.

Di indonesia, Kemetrian Agama telah berupaya melakukan birokratisasi dakwah melalui program peningkatan kompetensi mubaligh yang juga mengatur hal ihwal kegiatan dakwah di Indonesia. Akan tetapi kebijakan ini perlu di follow up secara berkesinambungan bahkan sampai level protektif.

Pemerintah harus selektif dalam memberikan izin pendakwah. Perlu dipastikan terlebih dahulu ceramahnya tidak dalam rangka menentang negara, menistakan agama lain, hate speech (ujaran kebencian), lebih-lebih mengandung ideologi ekstrimisme dan terorisme.

Syahdan, sebagai umat Islam yang rahmatan lil alamin kita tidak perlu beradu alis dalam menyikapi kasus UAS, anggap ini sebagai fenomena dakwah yang kaprah. Apalagi sampai melunturkan nilai-nilai rahmah dan ukhuwah yang selama ini menghiasi diri seorang muslim.

Jangan jadi muslim yang cengeng, kasus deportase UAS hanyalah seujung kuku dari pahit getir perjuangan dakwah jika dibandingkan dengan nabi yang pernah dilempari batu hingga giginya patah ketika berdakwah di Taif.

Wallahu a’lam

Moh Bashori Alwi Almanduri
Moh Bashori Alwi Almanduri
Mahasiswa Studi Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bamus Alim Ulama Nagari Sopan Jaya, Dharmasraya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru