27.9 C
Jakarta

Menerka Politik Domestik di Balik Pemilu Maroko 2021

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahMenerka Politik Domestik di Balik Pemilu Maroko 2021
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pemilu Maroko yang berlangsung tanggal 8 September 2021 merupakan pemilu ketiga kalinya yang dilaksanakan oleh pemerintah Maroko sebagai salah satu negara muslim di kawasan Maghreb (kawasan negara muslim di bagian barat Afrika Utara). Pemilu ini ditujukan untuk memilih 395 anggota House of Representative yang merupakan lembaga legislatif dibawah House of Council – sebagaimana sistem politik Maroko yang mengadopsi sistem bikameral  terkait kekuasaan legislatif – dan pemilu ini dilangsungkan tepat memperingati 10 tahun semenjak referendum konstitusi Maroko tahun 2011 dan pemilu ini turut menjadi penentu keberlangsungan rezim Saadeddine Othmani beserta partai PJD (Justice and Development Party) yang telah menjadi petahana atau disebut sebagai pelaksana pemerintahan sejak 10 tahun lalu.

Sebagaimana negara demokrasi lainnya di Afrika Utara, pemilu di Maroko digelar dalam kurun waktu lima tahun sekali sebagaimana amanat konstitusi Maroko 2011 yang mengatur pelaksanaan pemilu di Maroko dan pemilu ini telah berlangsung semenjak transisi politik dari sistem monarki absolut menuju monarki konstitusional yang membuka peluang pelaksanaan demokratisasi di Maroko. Demokratisasi di Maroko berlangsung hingga saat ini dengan berbagai implementasinya di tataran pemerintah maupun masyarakat, mulai dari pembatasan kekuasaan raja, kebebasan pers, keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, dan lain sebagainya, dan semua implementasi tersebut membawa dampak yang besar terhadap pembangunan sosial-politik di Maroko pasca Arab Spring.

Kendati demikian, pelaksanaan demokratisasi di Maroko selama 10 tahun belakangan tidak berjalan mulus dikarenakan terdapat beragam dinamika domestik yang turut mengancam pelaksanaan demokrasi di Maroko, terutama pembatasan kebebasan sipil, pandemi Covid-19, dan friksi antara Maroko dengan Front Polisario atas klaim Sahara Barat. Ketiga dinamika ini masih mewarnai politik domestik Maroko menjelang pemilu digelar tanggal 8 kemarin, dimana semua fenomena ini telah banyak dirasakan dampaknya oleh masyarakat Maroko dan dinamika ini turut menjadi ajang bagi semua partai politik untuk menarik dukungan publik dan menguasai sebagian besar alokasi kursi di DPR. Pertama ialah pembatasan kebebasan sipil, dimana sejak tahun 2014 Freedom House dari Amerika Serikat menempatkan Maroko berada pada skor “tidak bebas” untuk kebebasan pers, sementara tahun 2021 skornya meningkat menjadi “sebagian bebas” terkait kebebasan sipil dan hak politik.

Penilaian oleh Freedom House ini mengacu pada tujuh indikator utama dalam menilai demokratisasi di Maroko yaitu proses pemilihan, pluralisme politik dan partisipasi, pelaksanaan pemerintahan, kebebasan ekspresi dan kepercayaan, hak berserikat dan berorganisasi, rule of law, dan hak individu serta otonomi personal, dimana pelaksanaan semua indikator ini tidak sepenuhnya bebas dikarenakan adanya campur tangan dari kerajaan serta kebijakan rezim yang bertendensi ke arah otoritarianisme, seperti penggunaan kekerasan dalam menangani demonstrasi, tindakan koruptif elite politik, dan lain sebagainya. Kedua ialah pandemi Covid-19, dimana kasus pertama Covid-19 di Maroko mulai ditemukan pada tanggal 3 Januari 2020 dan jumlah kasus tersebut terus meningkat hingga hari ini, Mengutip data dari Worldometer per tanggal 12 September 2021, tercatat bahwa jumlah total kasus Covid-19 di Maroko telah mencapai 900 ribu kasus dan peningkatan kasus per harinya telah berdampak buruk pada kehidupan masyarakat Maroko selama 1 tahun belakang.

Semenjak pemberlakukan keadaan darurat dan serangkaian kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus Covid-19, pertumbuhan ekonomi masyarakatnya sedikit melambat pada tahun 2021 dikarenakan sebelumnya keadaan ekonomi Maroko sebelumnya telah mengalami kontraksi sebesar 5,9% pada tahun 2020 dan hal tersebut tidak lain disebabkan oleh pandemi Covid-19. Tidak hanya meningkatkan jumlah pengangguran, pandemi ini juga memaksa penutupan wisata lokal Maroko yang berpengaruh terhadap penerimaan negara, sehingga Maroko terpaksa membutuhkan dana darurat sebesar 3.460 miliar USD dari IMF dan Bank Pembangunan Afrika untuk me-restart kembali perekonomiannya. Ketiga dan yang terakhir ialah perselisihan antara Maroko dengan Front Polisario, dimana kedua pihak ini telah lama berselisih terkait terkait kepemilikan wilayah Sahara Barat dan sejak gencatan senjata diinisiasi oleh PBB tahun 1991, kedua pihak tersebut masih bersitegang dalam beberapa kesempatan terkait Sahara Barat yang belum diakui kepemilikannya oleh siapapun.

Tepat pada tanggal 13 November 2020 sampai pertengahan 2021, tensi kembali meningkat dengan pengiriman tentara Maroko ke Guergerat Sahara Barat untuk menangani demonstrasi orang-orang Sahrawi dan penggelaran yang ditentang oleh Front Polisario ini kemudian memicu konflik bersenjata di wilayah tersebut. Konflik di Sahara Barat yang dikenal sebagai terra nullius (tanah tak bertuan) ini menjadi permasalahan yang krusial bagi Maroko untuk memperkuat integritas wilayahnya terutama di Sahara Barat dan normalisasi hubungan Maroko-Israel yang sempat menuai respons internasional menjadi salah satu strategi Maroko untuk mendapatkan pengakuan atas Sahara Barat oleh Amerika Serikat sebagai sekutu dekat Israel dan adidaya dunia. Ketiga isu ini menjadi perhatian bersama bagi masyarakat Maroko dan komunitas internasional dalam menyikapi pemilu Maroko 2021 dan semua partai politik tak luput mempersiapkan isu tersebut sebagai kampanye dalam mendongkrak elektabilitas mereka dalam kontestasi elektoral ini

Terhitung sekitar 13 partai ikut serta dalam kontestasi tersebut – mulai dari partai USO berhaluan kiri hingga partai petahana PJD yang beraliran Islam konservatif – dan semua partai melakukan kampanyenya mulai tanggal 26 Agustus-7 September untuk mendapatkan suara publik. Kendati pemilu yang berlangsung ini bersifat monumental, penyelenggaraan pemilunya tidak lepas dari bayang-bayang tiga isu utama yang dijelaskan di atas dan kekhawatiran bahwa pemilu ini tidak mampu menarik partisipasi masyarakat lebih dari pemilu 2016 lalu. Kedua bayang-bayang ini sempat diprediksikan akan menjadi penghalang bagi kompetisi politik dalam pemilu tahun ini. Namun demikian, hal ini ditepis dengan perolehan voter turnout (prosentase jumlah pemilih yang menggunakan suaranya) sebesar 50,35 % saat pelaksanaan pemungutan suara dan perolehan ini merupakan yang terbesar sejak pemilu tahun 2002.

Hal tersebut menandakan bahwa partisipasi masyarakat Maroko cukup tinggi dalam mengikuti pemilu tahun ini dan partisipasi tersebut turut mempengaruhi perolehan suara yang didapatkan masing-masing partai untuk menduduki kursi parlemen dan menjalankan program yang telah mereka kampanyekan. Berdasarkan perhitungan resmi oleh Ministry of Interior atau dikenal sebagai Menteri Dalam Negeri, partai National Rally of Independents (RNI) berhaluan liberal-moderat memenangkan pemilu dengan perolehan sebesar 102 kursi parlemen dan kemudian disusul dengan Authenticity and Modernity Party (PAM) berhaluan liberal-progresif yang memperoleh 87 kursi parlemen. Sementara Justice and Development Party (PJD) yang merupakan petahana sebelumnya justru mendapatkan 13 kursi parlemen – menurun drastis dibandingkan pemilu 2016 yang memperoleh 112 kursi – dan itu berarti PJD mengalami kekalahan mutlak atas partai RNI.

Kemenangan partai RNI menurut beberapa ahli dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu skeptisisme publik akan pemerintahan Saadeddine Othmani serta perubahan pandangan politik masyarakat Maroko. Seperti diketahui bahwa lanskap politik Maroko hingga tahun 2021 didominasi oleh kekuatan politik Islam dan kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi promotor utama dalam lanskap dari partai tersebut. Lanskap ini terlihat jelas dalam parlemen Maroko yang terbagi atas dua kelompok utama, yaitu faksi Islam yang diwakili PJD, Istiqlal, dan lain sebagainya serta faksi progresif yang diwakili RNI, PAM, dan lain sebagainya, dan hal tersebut tercermin dalam susunan pemerintahan Maroko sejak 2011. Namun kendati amandemen konstitusi 2011 telah membatasi kewenangan raja dalam mengatur parlemen, namun hingga saat ini kekuasaan raja masih dominan dalam menentukan arah kebijakan nasional, terutama kebijakan negara ditengah pandemi Covid-19 dan permasalahan lainnya.

Dominasi Raja Mohammed VI dalam kebijakan publik Maroko disatu sisi tidak banyak membawa perubahan pada masyarakat Maroko dikarenakan keputusan kerajaan kerapkali didasarkan pada keberpihakannya dengan kelompok Islam dan juga membatasi kebebasan pers serta hak-hak sipil dan politik yang membuat Maroko termasuk kategori flawed democracy.  Kendati untuk penanganan pandemi Maroko menuai sukses dengan lockdown bulan Maret 2020, namun hal tersebut tidak menyurutkan kekecewaan masyarakat dikarenakan pemerintahan Mohammed dan Othmani gagal memperbaiki taraf hidup masyarakat serta menjamin amanat demokratisasi pasca Arab Spring. Sebagian besar dinamika yang terjadi turut menurunkan pilihan masyarakat pada kelompok Islamis dan mengalihkan kepada kelompok progresif untuk menciptakan iklim politik baru yang mampu memenuhi kepentingan umum.

Tuntutan masyarakat inilah yang menjadi katalis bagi partai RNI dan PAM dalam meraup keuntungan politis dari masyarakat dan fenomena penurunan kekuatan politik Islam dalam lanskap politik domestik di Timur Tengah kembali terluang di Maroko sebagai akibat dari salah kelola rezim sebelumnya, sehingga saat ini tidak heran bahwa partai RNI menjadi petahana untuk periode 2021-2026. Aziz Akhannouch sebagai pemimpin partai RNI secara resmi dinobatkan oleh Raja Mohammed sebagai Perdana Menteri baru Maroko dan peralihan kepemimpinan tersebut selanjutnya akan diikuti dengan pembentukan formasi pemerintahannya beberapa waktu mendatang. Sebagai ketua partai liberal-moderat dan pebisnis, dapat diprediksi bahwa kepemimpinan Aziz kedepan akan berorientasi pada kebijakan nasional yang bersifat liberal, seperti pemulihan ekonomi nasional yang banyak melibatkan pihak swasta, mendorong pemenuhan hak-hak sipil dan politik, dan lain sebagainya oleh karena komposisi RNI yang didominasi oleh teknokrat, pebisnis, dan pejabat publik ternama.

Namun demikian, masih ada tantangan yang perlu diselesaikan oleh Aziz dalam membentuk pemerintahannya, yaitu menjamin adanya keseimbangan parlemen dengan oposisi. RNI sebagai petahana tentu akan berhadapan dengan PJD sebagai rival utama dan hal tersebut diperlukan untuk menjaga keseimbangan parlemen, namun resiko akan terbelahnya parlemen dapat menjadi penghalang bagi pembuatan kebijakan oleh parlemen sehingga kedepannya perlu adanya konsolidasi antar fraksi parlemen untuk menciptakan pemerintah yang stabil di Maroko dalam beberapa tahun mendatang.

Dhien Favian A, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru