25.4 C
Jakarta

Menemukan Moderasi Beragama di Ayat Al-Qur’an yang Tampak Radikal

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenemukan Moderasi Beragama di Ayat Al-Qur’an yang Tampak Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Alquran diturunkan dalam konteks tempat dan waktu yang menuntut perang habis-habisan, antara dibunuh atau membunuh. Harus diakui, tidak sedikit Alquran memang menjelaskan tentang pelaksanaan perjuangan bersenjata. Namun perlu digarisbawahi, peperangan adalah urusan hidup dan mati di Semenanjung Arab kala itu. Sehingga, untuk diimplementasikan di Indonesia sekarang sangat tidak layak dan relevan. Inilah tantangan moderasi beragama.

Orang Islam memang diperintahkan oleh Allah SWT;”Bunuhlah mereka (musuh) di mana saja kamu menemui mereka!” (QS. Al-Nisa’: 89). Ayat inilah yang sering digunakan oleh para ekstrimis sebagai landasan teologis untuk melakukan berbagai macam aksi kekerasan atas nama agama. Tak heran, Mushonnif Alfi menyebutnya sebagai penyakit kronis dalam tubuh agama.

Untuk Indonesia, tamsil keberagaman memang tidak bisa dielakkan lagi. Di satu sisi dengan karakteristik plural; bahasa, budaya, suku bahkan agama, menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai ciri dan gaya tersendiri dibandingkan negara lain. Namun di sisi lain, dengan keberagaman yang ada, tidak menutup kemungkinan akan menjadi faktor utama pecahnya suatu negara. Oleh karena itu, sangat penting untuk menumbuhkan semangat moderasi beragama dengan sikap toleransi di tengah tamsil keberagaman yang ada dewasa ini.

Namun apa boleh buat, kita harus mengakui bahwa fakta di lapangan sangat jauh dari ekspektasi. Dengan kata lain, berbagai macam kasus kekerasan atas nama agama seringkali muncul dalam dinamika kehidupan warga bernegara. Sedikit manifestasi, di tahun 2021 saja telah tercatat ada dua kasus kekerasan atas nama agama. Pertama, saat terjadi di Gereja Katedral Makassar Sulawesi Selatan (28/03/2021); dengan model aksi bom bunuh diri. Kedua, terjadi di kompleks Mabes Polri Jakarta (31/03/2021); ketika seorang wanita menyerang dengan menggunakan senjata api.

Di tahun 2022 ini, setidaknya telah terjadi dua kasus tindak pidana terorisme. Pertama, Densus 88 Anti Teror Polri menembak mati seorang dokter tersangka teroris asal Sukoharjo Jawa Tengah kemarn (09/03/2022). Kedua, Densus 88 juga menangkap seorang PNS di Tangerang Banten kemarin (15/03/2022).

Tenggang waktu yang relatif berdekatan semua (baca: Maret), sudah cukup untuk menjustifikasi bahwa terorisme, masih menjadi problem terbesar terkait kekerasan atas nama agama. Oleh karenanya, hal ini kembali mengorek kesadaran kolekif kita, bahwa terorisme manjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Faktor Penyebab

Berdasarkan hasil penelitian, tindakan ini jelas dilatarbelakangi oleh kesalahan dalam beragama. Dalam artian, para pelaku terjebak dalam suatu dalil bernuansa radikal, kemudian diinterpretasikan dengan subjektif dan eksklusif. Hal ini pula yang saya rasa pemahaman suatu ayat menjadi fatal, dan seolah-olah “kebenaran sejati” ada dalam diri mereka.

Dalam hal ini, mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin ikut berkomentar dalam prolog buku Moderasi Beragama. Menurutnya, hal ini disebabkan dengan adanya tindakan mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Sikap inilah yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan dalam kehidupan beragama.

Dalam diskusi Forum Ahadan STAI Al-Anwar, Mantan Polri dan Jihadis Sofyan At-Tsaury juga mengatakan, bahwa hal ini dilatarbelakangi oleh terjebaknya pelaku dalam suatu ayat radikal, dan menafikan dalil-dalil yang mempunyai munasabah dengannya. Ditambah lagi, tidak bisa memadukan antara fiqih dalil dan fiqih realitas, asbabun nuzul, dan nasakh-mansukh ayat.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Menelisik Ayat Radikal

Melihat stimulus para ekstimis berupa landasan teologis surah An-Nisa’ ayat 89 di atas menarik untuk dibahas. Dalam surah An-Nisa’ ayat 89 Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berperang. Namun perlu didalami lagi, benarkah Allah secara terang-terangan memerintahkan untuk membunuh musuh (kafir) tanpa sebab apapun? Jawabannya tentu tidak. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk membunuh ketika dalam upaya membela diri. Ini bisa dilihat dari keterkaitannya dengan ayat setelahnya.

Seperti yang telah dijalaskan di muka, bahwa Alquran memang diturunkan dalam konteks tempat dan waktu yang menuntut perang habis-habisan. Pilihannya ada dua, antara dibunuh atau membunuh. Meskipun ada perintah untuk membunuh (An-Nisa’: 89), tetapi ada musabbab yang tidak boleh kita lupakan. Dengan kata lain, ayat ini masih mempunyai munasabah (korelasi) dengan ayat setelahnya, “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu, Allah tidak memberi jalan bagimu untuk menyakiti mereka (QS. An-Nisa’: 90).

Melihat apa yang terkandung dalam surah An-Nisa’ ayat 90 tadi, melahirkan istilah kafir dzimmi dan harbi. Namun untuk di Indonesia sendiri, yang kedua jelas tidak berlaku. Istilah ini lahir tidak lain sebagai upaya ulama dalam membedakan mana kafir yang harus dilindungi, dan mana yang harus dijauhi/dilawan.

Kritik Terhadap Pemahaman Ekstremis

Ketika dikaji secara mendalam, dengan melihat dalil yang digunakan para ekstrimis, saya mengakui bahwa dilihat secara tekstual, surah An-Nisa’ ayat 89 memang sebuah perintah untuk berperang. Namun, tidak seharusnya ditelan secara mentah-mentah. Dengan kata lain, jika memang terdapat sebuah ayat yang bernuansa radikal, perlu kiranya dilakukan verifikasi lebih lanjut (tabayyun) dan diskusi lebih mendalam.

Ditelan secara mentah-mentah, menjadikan pemahaman suatu ayat menjadi fatal, kaku dan cenderung ekstrim. Akibat aksi eksploitatif ini, akan berdampak terhadap dinamika kehidupan warga bernegara. Seakan-akan, tindakan ini secara tidak langsung telah mengancam eksistensi semua pemeluk agama, khsususnya di luar Islam. Cukup ironis, bukan?

Sebab kita tahu, bahwa proses turunnya ayat dilatabelakangi oleh dua hal; pertanyaan dan peristiwa. Kedua musabbab ini menjadi latar belakang kenapa Allah menurunkan sebuah surah/ayat. Maka dari itu, implementasi suatu ayat harus disesuaikan terhadap dinamika dan kultur kehidupan sekarang, apakah relevan ataukah malah sebaliknya?

Sebuah Ikhtiar

Sebagai upaya menemukan wajah Islam yang damai dan sejati, bisa ditarik kesimpulan bahwasanya tragedi-tragedi yang terjadi di atas disebabkan oleh adanya kesalahan dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an, terutama pada ayat-ayat yang bernuansa radikal. Kesalahan ini bisa dilihat ketika para ekstrimis menafsirkan suatu ayat dengan mengabaikan keterkaitan ayat tersebut dengan lainnya.

Mencari landasan teologis secara selektif, saya rasa merupakan kejahatan intelektual yang tidak bisa dimaafkan. Ini bisa dilihat ketika para ekstrimis tidak mengangkat ayat-ayat yang berisi desakan untuk berdamai, yang secara jelas tercantum setelah ayat yang garang tersebut (An-Nisa’: 89). Padahal jika ditafsirkan berdasarkan dengan keterkaitan ayat setelahnya, asbabun nuzul dan kapan ayat tersebut bisa diimplementasikan, maka di dalamnya akan ditemukan moderasi beragama.

Walhasil, implementasi ayat 89 surah An-Nisa’ di Indonesia dengan tamsil keberagaman yang ada; jelas berakibat fatal. Sehingga, dalil atas nama “jalan kebenaran” yang digaungkannya, menjadi koreksi bagi kita semua untuk dilakukan verfikasi dan diskusi secara mendalam. Wallahu A’lam.

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang/Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Beberapa tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru