32.1 C
Jakarta
spot_img

Menelisik Wahabi dan Trajektori Terorisme: Segera Bumikan Moderasi!

Artikel Trending

Milenial IslamMenelisik Wahabi dan Trajektori Terorisme: Segera Bumikan Moderasi!
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Wahabi telah lama jadi topik kontroversial di dunia Islam. Pemikiran mereka merupakan penyimpangan yang mengancam citra Islam sebagai agama moderat. Penyelewengan mereka tidak saja dalam aspek teologis, tetapi juga praktik keberagamaan, yang membawa konsekuensi signifikan dalam sosial-kemasyarakatan, termasuk Indonesia. Dengan klaim sebagai penegak tauhid murni, mereka mengobok-obok Islam dari dalam.

Penting dicatat, ada dua tokoh sentral yang menjelma bak Nabi dalam doktrin Wahabi. Kelak, keduanya menjadi biang kerok semua kebrutalan atas nama Islam alias terorisme. Mereka adalah Muhammad bin Abdul Wahhab dan Nashiruddin al-Albani. Pemikiran-pemikiran mereka menjadi sumber inspirasi sekaligus kontroversi. Muhammad Ibnu Abdul Wahab, misalnya, memperkeruh dunia Islam lewat pemikirannya yang nyeleneh.

Ia memiliki pandangan radikal yang mencap Muslim yang berbeda dengannya sebagai kafir, bahkan mengharuskan hijrah bagi pengikutnya yang setia. Pandangan itulah yang kemudian memantik ketegangan di kalangan Muslim, membuat Wahabi terkuak sebagai ideologi pemecah-belah persatuan Islam. Jangankan ulama kontemporer, sahabat pun mereka anggap ahli syubhat, bid’ah, bahkan kafir jika tak sesuai selera mereka.

Sementara itu, Nashiruddin al-Albani, tokoh yang lebih kontemporer, telah menambah ketegangan dengan caranya sendiri, terutama dalam bidang ilmu hadis. Al-Albani ahli memanipulasi hadis demi mendukung pandangan pribadinya—tindakan durhaka yang benar-benar merusak diskursus hadis dan menodai syariat. Muhammad al-Ghazali, misalnya, mengatakan, al-Albani sangat sembrono dalam menilai status hadis.

Dari kedua ulama kunci itulah, Wahabi menjalar ke seluruh dunia ibarat kanker yang merusak sel-sel wasatiah Islam. Tidak hanya mengeksploitasi Al-Qur’an dan hadis, mereka juga memanipulasi turats Ahlusunah Waljamaah, mensyubhatkan dan membid’ahkan ulama, dan mengajarkan umat Islam tentang Islam palsu yang membenarkan aksi teror. Dari situlah trajektori Wahabi dengan terorisme menjadi sesuatu yang tak dapat disangkal.

Trajektori Wahabi dengan Terorisme

Adalah sesuatu yang ironis, bahwa Wahabisme telah bertransformasi dari sekadar doktrin keagamaan menuju legitimator anarkisme bagi teroris di seluruh dunia. Dari pemikiran awal yang literal-oriented, eksklusif, dan bernuansa purifikasi, Wahabi menegaskan identitasnya sebagai Salafi-Jihadis yang mengatasnamakan Islam untuk melakukan aksi kekerasan. Dari isu pemurnian, mereka bergeser ke al-wala’ wa al-bara’ hingga takfir.

Dalam framework-nya, al-wala’ wa al-bara’ dan takfir menegaskan bahwa perbedaan dalam pemahaman keislaman, terutama dalam aspek-aspek ritual dan doktrin, sangat cukup untuk menjustifikasi pemisahan diri dari kelompok lain dan pengkafiran. Dalam konteks tersebut, Wahabi bukan sekadar bersifat puritan, tetapi juga eksklusif dan suka menebar teror atas dalih jihad. Takfir tak cukup dalam ucapan belaka, namun menjelma sebagai aksi.

Selain itu, Wahabi menitikberatkan pada ritualitas dan kepatuhan mutlak yang dianggap ‘murni’, dan mengabaikan dimensi spiritualitas atau aspek esoteris yang terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri. Itulah yang kemudian menjadikan Wahabi sangat benci tasawuf, bahkan mengkafirkan para sufi. Kedok pemurnian, doktrin takfir, dan kebencian pada sesama Muslim itulah trajektori Wahabi dengan terorisme di dunia Islam.

BACA JUGA  Ironi Wahabi: Ustaznya Munafik, Jemaahnya Dungu

Al-Qaeda dan ISIS pun lahir, seiring waktu, yang orang-orangnya berasal dari ideolog Wahabi atau para kroconya. Setelah peristiwa 9/11, perhatian dunia terhadap Wahabi meningkat tajam. Banyak yang baru sadar bahwa ideologi Wahabi memiliki trajektori yang erat dengan jaringan terorisme global. Apakah setelah itu Wahabi dilarang? Tidak. Mereka terus diternak oleh rezim Arab Saudi lewat proyek Wahabisasi. Terorisme pun ikut mendunia.

Artinya, hari ini, Wahabi bukan soal sistem kepercayaan yang berbasis di Arab Saudi saja. Ia berkembang menjadi alat politik yang di satu sisi dilihat sebagai bentuk keislaman yang melanggengkan identitas Saudi, namun di sisi lain berfungsi sebagai sumber inspirasi bagi banyak gerakan militan alias teroris yang melakukan aksi-aksi ekstrem atas dorongan ajaran tersebut. Dengan menjarah label ‘Sunni’, Wahabi pun menebar teror ke seluruh dunia.

Bumikan Moderasi!

Di Indonesia, respons terhadap Wahabi terbilang signifikan, baik dari tokoh-tokoh maupun lembaga keislaman moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Mereka tegas menolak Wahabi karena merusak harmoni masyarakat plural di tanah air. Indonesia melihat pemikiran Wahabi kontradiktif dengan semangat persatuan dan kebhinekaan, yang dalam faktanya ternyata juga mengancam pilar-pilar kebangsaan.

Mengapa? Sebab di negara ini, Wahabi muncul dalam bentuk dakwah anti-lokalitas. Mereka menyerang praktik keagamaan tradisional yang telah lama menjadi kultur masyarakat. Mereka menentang peringatan maulid Nabi, tahlil, dan segala yang dianggap bid’ah, tanpa memedulikan dampaknya terhadap hubungan sosial masyarakat Muslim. Konfrontasi mereka sangat barbar dan tidak manusiawi—jauh dari esensi Islam.

Karena itu, membumikan moderasi secara masif merupakan taruhan terakhir bangsa Indonesia. Jika tidak, semua masyarakat akan menjadi Wahabi seiring waktu. Sebab, hari ini, di sejumlah masjid dan lembaga pendidikan, ajaran Wahabi telah disebarkan dengan menyasar generasi muda awam yang terpana dengan label palsu ‘Islam murni’ dan ‘manhaj salaf’. Pelan tapi pasti, jika dibiarkan, Wahabi akan merata di masyarakat.

Selain itu, membumikan moderasi Islam itu sebenarnya telah dilakukan sejak dahulu, oleh ulama lokal, lewat kontra-Wahabi. Baca saja, misalnya, buku Al-Wahhabiyah fi Shuratiha al-Haqiqiyyah dan Al-Dalil al-Kafi fi al-Radd ‘ala al-Wahhabi, yang banyak dikaji para ulama Indonesia sebagai sumber rujukan untuk meluruskan pandangan umat tentang ajaran Islam yang sesungguhnya, yakni tentang ajaran moderat.

Dalam konteks itu, peran ulama moderat sangat krusial dan menjadi penentu. Mereka mesti terus menyuarakan al-wasathiyah, menggelorakan persatuan yang diretakkan doktrin Wahabi, dan melawan perpecahan yang dinarasikan Wahabi lewat pemurnian palsunya. Jika moderasi diabaikan, atau digarap sebagai proyek belaka, maka bersiaplah untuk sesuatu yang meresahkan sebagai residu Wahabi, yaitu semaraknya terorisme.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru