27.7 C
Jakarta
spot_img

Menelisik Resistansi Kaum Ekstremis terhadap Pembaruan Hukum Islam

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenelisik Resistansi Kaum Ekstremis terhadap Pembaruan Hukum Islam
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Menuju Fiqh Baru, Penulis: KH Husein Muhammad, Penerbit: IRCiSoD, Tahun Terbit: 2020, Tebal: 252 Halaman, ISBN: 978-623-7378-65-5, Peresensi: Muhammad Asyrofudin.

Harakatuna.com – Salah satu pandangan yang diungkapkan oleh Abdul Hadi Abdurrahman (1993) menyebutkan bahwa:

Sejak pintu ijtihad ditutup pada masa Khalifah al-Manshur, dan para ulama serta fuqaha’ dilarang mengajarkan fikih selain dari empat mazhab—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—di Madrasah al-Mustansiriyah, pola pemikiran umat Islam mengalami stagnasi. Sejarah pemikiran mereka hanya berputar pada penghafalan fikih dari keempat mazhab tersebut, tanpa penelitian kritis terhadap pendapat-pendapat yang ada.”

Pandangan tersebut merupakan reaksi atas sebuah insiden yang menggelisahkan sebagian ulama dan umat Muslim, yakni pembatasan pemikiran yang berlangsung selama berabad-abad. Kebijakan tersebut tidak hanya membekukan dinamika intelektual, tetapi juga menutup kebebasan berpendapat. Kegelisahan serupa tampaknya juga dirasakan oleh Imam al-Suyuthi, yang mengutip hadis terkenal ketika konsensus tentang penutupan ijtihad digelorakan. Nabi bersabda:

Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini seseorang yang akan memperbarui agamanya pada setiap seratus tahun.” (HR. Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan Thabrani).

KH. Husein Muhammad, dalam bukunya Menuju Fiqh Baru: Pembaruan Pemikiran dan Hukum Islam Merupakan Keniscayaan Sejarah (2020), mengutip perkataan Amir Syakib Arselan, mengatakan bahwa agama dapat lenyap oleh kebekuan dan penolakan ekstrem terhadap ide-ide pembaruan. Kebekuan membuat orang lari, sementara sikap jumud menyebabkan mereka tersesat (hlm. 184).

Pendapat-pendapat tersebut merupakan reaksi terhadap kenyataan yang jelas terlihat di hadapan para ulama, di mana kejumudan intelektual telah memunculkan fanatisme mazhab yang mengakar kuat. Karena itu, pembaruan dalam hukum Islam tidak hanya diperlukan, tetapi juga merupakan sebuah keniscayaan.

Di sisi lain, pembaruan dalam hukum Islam tidak lepas dari berbagai pandangan yang beragam. KH. Husein Muhammad mengidentifikasi beberapa kelompok dengan pandangan yang berbeda terhadap pembaruan ini. Pertama, kelompok yang menolak pembaruan secara total. Bagi mereka, pembaruan adalah bid’ah yang menyesatkan. Kelompok ini terdiri dari golongan fanatik dan tekstualis-literal, yang cenderung mengabaikan ruh dan cita-cita agama. Mereka merasa cukup dengan keputusan dan pemikiran para ulama terdahulu, tanpa membuka ruang untuk penyesuaian terhadap konteks zaman.

Kedua, kelompok modernis ekstrem. Kelompok ini menghendaki pembaruan secara bebas, yang sering kali lebih condong ke arah westernisasi. Mereka tampaknya ingin menghapus jejak tradisi dan sejarah Islam, menggantinya dengan ide-ide yang dianggap baru dan berasal dari Barat. Kritik keras terhadap kelompok ini disampaikan oleh Muhammad Iqbal, seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20, yang mengatakan: “Ka‘bah tak mungkin dapat diganti begitu saja dengan batu dari Eropa.”

Ketiga, kelompok moderat. Kelompok ini menolak ekstremitas dari kedua kubu sebelumnya. Mereka mendukung pembaruan dalam Islam selama tetap berlandaskan pada ajaran dasar agama. Dengan sikap terbuka, mereka mempelajari berbagai disiplin ilmu dari berbagai sumber, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (hlm. 181–185).

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, pembaruan fikih tetap menjadi kebutuhan mendesak. Keputusan-keputusan hukum yang stagnan tidak selalu relevan dengan perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan perkembangan ekonomi. Hukum yang tidak adaptif justru cenderung membatasi umat dalam menjawab tantangan kontemporer. Sebagai contoh, persoalan zakat yang berkaitan dengan apartemen, industri, saham, atau surat-surat berharga belum memiliki keputusan tegas dari para ulama terdahulu. Kasus-kasus tersebut butuh ijtihad untuk menemukan solusi. KH. Husein Muhammad menyebutnya sebagai ijtihad insya’i atau ijtihad kreatif (hlm. 176).

Kebebasan Sebagai Dasar Pembaruan

Salah satu referensi penting dalam buku Menuju Fiqh Baru: Pembaruan Pemikiran dan Hukum Islam Merupakan Keniscayaan Sejarah karya KH. Husein Muhammad adalah Nahwa Fiqh al-Jadid yang ditulis oleh Jamal al-Banna, adik kandung pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna.

Basis utama pemikiran Jamal al-Banna adalah doktrin al-bara’ah al-ashliyah (kebebasan), yang diterapkannya dalam konteks kehidupan bersama di muka bumi. Doktrin tersebut sebenarnya sudah dikenal di kalangan ulama fikih melalui konsep al-ashlu bara’ah al-dzimmah, yang bermakna “pada dasarnya manusia bebas dari tanggungan kesalahan.”

BACA JUGA  Integrasi Ajaran Agama dan Isu Lingkungan Lewat Gerakan Pesantren

Namun, menurut KH. Husein Muhammad, kebanyakan ulama cenderung bersikap preventif dalam menetapkan hukum. Sikap semacam itu mengharamkan sesuatu untuk mencegah kemungkinan keburukan, meskipun hal tersebut memiliki manfaat dalam kondisi tertentu. Sebagai contoh, ganja medis yang terbukti dapat digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu tetap diharamkan oleh mayoritas ulama dengan alasan untuk menutup peluang penyalahgunaan. Ada dominasi prinsip pencegahan terhadap peluang keburukan daripada pengakuan manfaatnya dalam ranah medis.

Al-Ghazali mengkritik keras sikap semacam itu. Ia mengatakan: “Orang-orang bodoh mengira bahwa makanan yang halal telah hilang, dan jalan menuju ke sana tertutup. Seakan-akan makanan halal adalah rumput liar yang tumbuh di padang tandus, sementara selainnya tercampur dengan tangan-tangan kotor dan transaksi yang rusak. Padahal, tidaklah demikian.”

Di bawah paham tersebut, keputusan hukum yang lebih mengarah pada pelarangan, pengharaman, dan pembatasan ruang gerak manusia, baik dalam kehidupan individu maupun sosial, jauh lebih banyak daripada hukum yang membolehkan, membebaskan, dan memberikan kelonggaran bagi ruang gerak manusia.

Sebagai contoh, mereka mengharamkan pengucapan “Selamat Natal” kepada teman yang beragama Kristen. Pendekatan semacam itu mencerminkan cara pandang negatif, di mana perbedaan agama atau keyakinan lain kerap dianggap buruk, salah, bahkan sebagai ancaman atau musuh. Pendapat-pendapat semacam itu, pada akhirnya, menciptakan stagnasi dalam peradaban, sekaligus berpotensi besar menimbulkan kriminalisasi, permusuhan antarmanusia, dan pencabutan hak-hak dasar mereka (hlm. 195–204).

Dalam konteks itu, pendekatan kebebasan seperti yang ditawarkan oleh Jamal al-Banna menjadi relevan untuk memenuhi kebutuhan zaman modern. KH. Husein Muhammad menegaskan: “Sudah saatnya kita membaca teks keagamaan kita dari tekstual ke kontekstual, dari tafsir ke takwil, dari konservatisme ke progresivisme, dan dari langit ke bumi. Jika tidak, kita akan semakin terbelakang, semakin terpuruk, mudah marah, dan akan terus menjadi konsumen produk liyan.”

Pendekatan kebebasan yang ditawarkan oleh Jamal al-Banna dan pemikiran progresif KH. Husein Muhammad memberikan arah baru bagi pembaruan hukum Islam di era kontemporer. Namun, tidak bisa diabaikan bahwa resistansi kelompok ekstremis terhadap gagasan tersebut tetap menjadi hambatan signifikan. Kaum ekstremis memandang pembaruan sebagai ancaman terhadap kemurnian ajaran agama dan stabilitas keyakinan mereka.

Resistansi biasanya muncul dalam dua bentuk: penolakan teologis dan aksi nyata yang destruktif. Penolakan teologis didasarkan pada anggapan bahwa pembaruan adalah bentuk bid’ah, sebagaimana disebutkan oleh KH. Husein Muhammad tentang kaum fanatik yang hanya menerima pendapat ulama terdahulu tanpa mempertimbangkan konteks zaman. Sedangkan dalam bentuk aksi nyata, resistansi dapat berupa propaganda, ujaran kebencian, hingga ancaman teror terhadap tokoh pembaruan itu sendiri.

Kelompok ekstremis juga berupaya mengembalikan masyarakat kepada interpretasi tekstual yang sempit. Mereka bahkan mengharamkan berbagai interaksi sosial dengan pihak lain yang berbeda agama atau pandangan, seperti pengucapan “Selamat Natal” yang dianggap mencederai akidah. Cara pandang tersebut tidak saja merugikan hubungan antarmanusia, tetapi juga menciptakan potensi konflik dan menghambat upaya memperbaiki kualitas kehidupan umat Islam dalam konteks global.

Resistansi kaum ekstremis terhadap pembaruan hukum Islam adalah tantangan bagi para pemikir progresif sekaligus tantangan. Stagnasi pemikiran yang mereka pelihara menutup ruang dialog yang konstruktif, sehingga memperlambat respons hukum Islam terhadap kebutuhan zaman. Karena itu, upaya pembaruan harus terus diperjuangkan dengan pendekatan moderat, yang mengakar pada nilai-nilai dasar Islam namun tetap terbuka terhadap konteks kontemporer.

Seperti yang disampaikan oleh KH. Husein Muhammad, pembaruan bukan soal perubahan hukum belaka, tetapi juga tentang keberanian untuk membaca ulang teks keagamaan secara kontekstual. Jika resistansi kaum ekstremis terus dibiarkan tanpa diimbangi dengan wacana yang lebih inklusif, umat Islam akan semakin terjebak dalam keterbelakangan, sementara dunia terus bergerak maju.

Muhammad Asyrofudin
Muhammad Asyrofudin
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. Santri Pondok Pesantren Ngeboran dan Alumni Pondok Pesantren Dar Al Tauhid.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru