Harakatuna.com – Siapa saja penulis, pasti memiliki angan-angan besar untuk melahirkan karya tulisan yang berkualitas. Setiap penulis berharap tulisannya bisa menjadi bagian yang diminati pasar pembaca. Segmen pasar memiliki variabel masing-masing dari ketertarikan dan minat pembaca. Maka menjadi penting bagi penulis untuk memilih pasar pembaca, agar hasil karyanya mendapat feedback (umpan balik), yang kemudian dalam simpulan kecil penulis memahami sejauh mana kualitas tulisannya.
Meski ini bukanlah narasi kuat, banyak penulis yang terjebak dalam teori kepenulisan. Tidak sedikit yang terdorong oleh nama besar mentor kelas menulis. Ini tentu tidak serta-merta menjadi legitimasi kuat bahwa seorang mentor yang sudah punya branding, bisa menjamin bahwa peserta kelas menulis bisa menjadi penulis berkelas seperti dirinya. Hanya saja, peserta kelas kepenulisan setidaknya mendapatkan pengalaman-pengalaman berharga. Dan ini menjadi stimulus kuat untuk mengasah keterampilannya dalam menulis.
Tentunya pada kelas menulis akan diajarkan bagaimana mengenali dan memahami teori dasar kepenulisan. Pada proses ini, peserta juga akan mendapat pengetahuan tentang karakteristik tulisan, membangun konstruksi tulisan, menyusun plot, dan sebagainya. Hingga pada titik tertentu, penulis akan memiliki keterampilan dalam kegiatan atau proses kreatif menulis. Sangat disarankan kepada para peserta, sebelum mengikuti kelas menulis, ada baiknya menelusuri rekam jejak mentor atau penyelenggara.
Pada masa kini, tentu tidak sulit untuk menelusuri profil penyelenggara kelas menulis, termasuk mentornya. Ini cukup penting, mengingat saat ini sangat banyak tawaran yang cukup menggiurkan. Hampir semua penyelenggara program atau event, selalu menampilkan sosok tokoh mentor yang dianggap sangat profesional.
Ini sering dilegitimasi akan menghasilkan penulis-penulis hebat, meski tidak serta-merta semua peserta bisa menjadi penulis. Seperti misalnya, jurusan pendidikan sastra tidak bisa menjamin semua lulusannya menjadi sastrawan atau penyair. Adalah persoalan terpenting, bagaimana proses kreatif seorang penulis untuk menghasilkan sebuah karya.
Kenapa kita sering terjebak dalam teori menulis? Pertanyaan ini acapkali muncul dalam situasi-situasi pertentangan bagi seorang penulis. Kenapa kita tidak belajar secara otodidak, jika memang kita memiliki kemampuan dan bakat dasar dalam menulis? Seiring berkembangnya aliran-aliran dalam proses menulis, terutama karya fiksi, apakah teori-teori menulis masih relevan? Seyogianya munculnya teori-teori dalam menulis sebagai telaah konsep yang didasarkan pada konsep empiris, yang kemudian diasumsikan sebagai teori. Perlu diingat, konsep menulis fiksi dan non-fiksi sangat berbeda dalam tekstur kalimatnya.
Kita tentu tidak menampik keberadaan teori-teori dalam penulisan. Hanya saja, secara individual masing-masing penulis harus memiliki bakat dan kemampuan untuk mendorong kebiasaan menulis. Sebab menulis itu melibatkan instrumen dan pemahaman dari olah pikir; olah rasa; hingga keterlibatan emosional secara totalitas. Ini yang menjadi proses kreatif seorang penulis untuk menjadikan tulisan itu berkualitas. Tidak sekadar menuangkan teks cerita atau narasi.
Dalam proses kreatif menulis, sangat penting menggabungkan ide dengan keseimbangan membaca, menganalisis, serta melakukan riset terhadap topik yang akan disajikan. Prinsip dasar dalam menulis adalah pemahaman dan penguasaan literasi. Kenapa masih banyak penulis yang gagal, meski telah memiliki lisensi atau sertifikat penulis dari kelas menulis? Karena menulis harus dilakukan secara konsisten. Apakah kita terjebak dalam lingkaran identifikasi sosial, menulis hanya karena ingin disebut sebagai penulis? Atau dalam beberapa kasus, kita belum mampu menginventarisir pasar pembaca yang lebih bagus.
Hampir sebagian besar penulis, lebih banyak termotivasi dalam menulis hanya karena ingin mencoba-coba dan lebih cenderung untuk mendapatkan predikat sebagai penulis—identifikasi sosial. Ada perspektif yang keliru, bahwa seseorang yang tulisannya dimuat oleh media online akan berdampak pada peningkatan kualitasnya. Pernahkah terbayang, apakah semua media online, selalu terjangkau dan dikunjungi oleh pembaca.
Sementara persaingan media juga begitu ketat. Media mainstream dan memiliki rating bagus tentu menjadi kepercayaan bagi pembaca. Bisa jadi, media tersebut kurang dikenal secara luas, tetapi karena memiliki rubrik khusus yang cukup populer di masyarakat, lama-kelamaan akan mengalami peningkatan pembaca yang signifikan. Inilah yang harus diperhatikan oleh penulis dalam proses kreatifnya. Apalagi media tersebut memberlakukan sistem kurasi ketat, maka secara otomatis karya atau naskah penulis makin berkualitas dan objektif.
Tak dapat dipungkiri, dengan makin pesatnya teknologi informasi, platform digital kian menjamur. Ini makin mengukuhkan opini seseorang, bahwa pasar pembaca dan ruang kreatif makin besar dan pilihan menjadi penulis akan menjanjikan. Jika kita menelisik lebih jauh, dalam proses kreatif seorang penulis, tentu tidak terlepas dari beberapa aspek penting. Antara lain, penguasaan dan pemahaman terhadap objek tulisan; syarat-syarat yang ditetapkan; aspek psikologis; rutinitas yang dilakukan dalam kegiatan menulis, hingga bisa mencapai tingkat konsistensi penulis; bahan-bahan referensi terutama memiliki literasi yang kuat, serta banyak lainnya.
Bagaimana penulis bisa bertahan di tengah derasnya persaingan, baik kualitas karya atau mungkin juga persaingan pasar pembaca yang tidak sehat? Belum lagi munculnya persaingan antarpenulis yang terkadang dengan cara-cara yang tidak bermartabat. Jadi, proses kreatif menulis itu seyogianya tidak sesederhana seperti orang berangan-angan menjadi kaya raya.
Derasnya persaingan kini, langsung atau tidak langsung, seorang penulis harus mampu melewati fase-fase berat. Tidak ada proses yang terjadi secara instan. Tetapi seorang penulis sejati, adalah orang-orang yang kuat dalam mengalahkan tantangan. Perjalanan memang tidak untuk menunda kekalahan. Sepintas, proses menulis kelihatan mudah, apalagi penulisan karya sastra yang kian banyak diminati pasar pembaca, meski sampai saat ini belum mampu menjadi sebuah industri.
Derasnya pencetakan buku karya sastra, tidak diimbangi dengan angka pertumbuhan minat baca. Artinya, proses transisi, transformasi dan edukasi ke era digitalisasi juga belum menciptakan iklim yang sehat. Bagaimana ekosistem literasi yang kuat juga sangat bergantung pada proses kreatif masing-masing penulis. Apakah ini sebuah kekalahan tertunda bagi penulis? Meski sangat prismatik, penulis harus mampu mengubah ide ke dalam bentuk-bentuk pemikiran inovatif. Jika perlu, melakukan revolusi logika untuk bisa bersaing di era globalisasi. Semoga bermanfaat!