27.4 C
Jakarta

Menelisik Polemik Revisi UU Pemilu: Bagaimana Sikap Kita?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenelisik Polemik Revisi UU Pemilu: Bagaimana Sikap Kita?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dari berbagai pewartaan yang ada, Senayan sedang dirundung polemik pembahasan atas usulan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dilansir dari Kompas.com (1/2). Sehingga, pro dan kontra pun tak dapat dihindari.

Dengan kata lain, sebagian fraksi ingin melaksanakan Pilkada sesuai amanat Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, yakni Pilkada serentak digelar November 2024. Kelompok ini di komandoi oleh PPP, PAN, PDI-P, PKB dan Gerindra. Sebagian fraksi lainnya justru mendorong pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan di dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.

Dari uraian tersebut maka timbul sebuah pertanyaan yang mendasar yakni, mengapa suara DPR RI ini bisa pecah? Kemudian, bagaimana sikap kita?

Memunculkan pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, sepanjang masa Pandemi, amat jarang DPR itu berselisih pendapat tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, jika memang tak mau disebut tak pernah terjadi polemik. Sehingga, dapat dikatakan bahwa polemik di tubuh DPR ini justru membawa angin segar.

Di lain sisi, harus diakui bahwa polemik revisi UU Pemilu itu cukup kompleks. Saking kompleksnya ia memiliki daya tarik kajian tersendiri karena kompleksnya kepentingan politik maupun kepentingan hukum yang menyertainya.

Jika kita ikuti perkembangan terkini, ada beberapa alasan yang menyebabkan usulan revisi UU Pemilu itu berimplikasi pada pecahnya suara di DPR. Pertama, perihal pilkada, sebagian DPR menginginkan pelaksanaan Pilkada sesuai dengan amanat yang diinginkan UU Pemilu. Yaitu, Pilkada serentak secara nasional dilaksanakan pada tahun 2024. Bukan Pilkada serentak tahun 2022 dan 2023 sebagaimana yang terdapat dalam draft revisi UU Pemilu.

Kedua, UU Pemilu yang berlaku saat ini, belum sepenuhnya diterapkan. Sehingga, melakukan revisi sebelum diimplementasikan itu merupakan suatu hal yang keliru. Sehingga, suara terbanyak di DPR tidak ingin mengubah UU Pemilu setiap lima tahun. Ketiga, dewasa ini, masyarakat Indonesia bahkan dunia masih diterjang oleh wabah Covid-19. Oleh sebab itu, semua energi harus dikerahkan untuk penanganan pandemi Covid-19.

Dari ketiga alasan tersebut, jika kita tarik benang merahnya maka polemiknya terdapat pada pembahasan normalisasi pelaksanaan pilkada tahun 2022 dan 2023. Alasan yang mengitari normalisasi pilkada yakni, pemisahan waktu pelaksanaan pilkada serentak dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (pileg dan pilpres). Bagi kelompok pro, disatuwaktukan pilkada dan pilpres akan berimplikasi pada membengkaknya anggaran dan terkurasnya energi kita.

BACA JUGA  Idulfitri dan Iptek

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bukankah pilkada yang dinormalisasi tahun 2022, 2023 dan kemudian disusul oleh pemilu 2024 ini yang justru membikin anggaran membengkak dan terkurasnya energi kita?

Perlu kita ketahui bersama bahwa disepakatinya pelaksanaan pilkada 2024 itu telah melalui proses pertimbangan yang panjang dan matang. Menurut Syamsuddin Haris (2017), paling tidak ada dua alasan mendasar pilkada dilakukan secara langsung dan serentak. Pertama, untuk meminimalkan cost, baik sosial, politik, maupun ekonomi, yang ditimbulkan oleh pilkada. Kedua, pilkada serentak diharapkan lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Dari segi waktu, tiap daerah memiliki dinamikanya sendiri sehingga pelaksanaan pilkada tentu akan menyita perhatian dan energi. Oleh karenanya, melalui pilkada serentak, segenap dinamika yang menyertai pilkada di satuwaktukan agar perhatian dan energi bangsa lebih fokus untuk pembangunan.

Sedang dari segi biaya, diharapakan terjadi efisiensi anggaran terkait pengeluaran untuk pesta demokrasi lokal tersebut. Harus diakui, pada saat menjelang pilkada, apalagi petahana maju dalam kontestasi politik periode berikutnya, APBD tersedot untuk keperluan atas nama keberhasilan pilkada. Atas dasar alasan inilah, pemerintah dan DPR bersepakat menyelenggarakan pilkada serentak sebelum akhirnya serentak secara nasional yang diharapakan bisa terselenggara pada 2024 mendatang.

Berpijak pada pandangan tersebut, tentu kita memiliki pandangan tsendiri. Dalam konteks ini, paling tidak ada dua perspektif yang layak untuk digunakan. Pertama, dalam perspektif politik Indonesia, pemilu merupakan konsekuensi logis dari sebuah negara yang menganut konsep demokrasi. Oleh karenanya, pelaksanaan pemilu harus senafas dengan regulasi yang ada. Misal, UU Pemilu mengatur pileg dan pilpres digelar tahun 2024 dan UU No. 10 Tahun 2016 mengatur pelaksanaan pilkada pada tahun 2024. Ini artinya, pemilu maupun pilkada harus tetap digelar pada tahun 2024 mendatang.

Sedang dalam perspektif hukum, usulan revisi UU Pemilu itu harus mencerminkan perkembangan dan pandangan dari masyarakat. Akan tetapi, sejuah yang saya ketahui, tak ada sosialisasi dari pihak DPR pengusul revisi UU Pemilu tersebut kepada masyarakat. Ini artinya, mereka telah terjebak pada prosedur hukum yang cacat.

Oleh karenanya, usulan revisi UU Pemilu itu tidaklah memiliki landasan hukum yang kuat. Sehingga, seharusnya sikap kita sama, yakni menolak pembahasan usulan revisi UU Pemilu.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru